Selidik Gedung Algemeene, Cagar Budaya Surabaya yang Kini Dijual

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 17 April 2021 | 06:13 WIB
Gedung Algemene atau yang akrab dijuluki 'Gedung Singa' di jantung kota tua Surabaya. Arsiteknya, Hendrik Petrus Berlage, Bapak Arsitektur Modern di Belanda. (Begandring Soerabaia)

 

Yudha mengatakan bahwa sejak akhir abad ke-19, Berlage telah membangun satu ciri arsitektur sendiri. "Pendekatan desain arsitekturnya modern. Tidak mengandalkan semata-mata style lama dalam pengertian abad 19, tapi berangkat dari kekuatan material, yakni batu bata. Dan kemudian dengan mudahnya dia membangun satu plastisitas arsitektur, bukan cuma fasad, tapi juga kedalaman, sampai ke ruang dalam itu dibangun dengan pemahaman yang sangat kental terhadap perilaku dari batu bata."

Oleh karena itu karya-karya Berlage kemudian selalu disebut juga sebagai bagian dari awal arsitektur modern di Eropa. "Jadi dia pioner arsitektur modern," ucap Yudha. Berlage adalah salah satu bapak arsitekur modern Belanda yang mempengaruhi dunia arsitektur Eropa, bahkan dunia.

Baca Juga: Singkap Jejak Kediaman Sang Mayor yang Meraja Gula di Surabaya

Beurs van Berlage (Begandring Soerabaia/Facebook)

"Nah Hendrik Petrus Berlage punya dua karya di Indonesia. Satu di Surabaya, satu lagi di Jakarta," ucap Yudha. "Dia cuma punya dua karya di Indonesia (dulu Hindia Belanda)," tegas Yudha mengulanginya lagi.

Karya Berlage yang pertama di Indonesia adalah Gedung Algemeene di Jalan Jembatan Merah, Surabaya, yang kini milik PT Asuransi Jiwasraya. Karya keduanya adalah Gedung NV Assurantie Maatschappij de Nederlanden van 1845 di Pintu Besar, kawasan Kota Tua Jakarta, yang kini dimiliki oleh PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo).

Hal yang saat ini menjadi perhatian banyak orang, termasuk Yudha, Jiwasraya sedang berusaha menjual Gedung Algemeene di Surabaya. Perkara yang perlu dikhawatirkan, bagaimana nasib gedung itu setelah pindah ke tangan pemilik yang lain? Siapa pemilik itu? Bagaimana sikap dan perlakuan pemilik baru nantinya terhadap bangunan cagar budaya miliknya?

Gedung ini memiliki nilai arsitektur yang penting. Yudha menjelaskan bahwa Gedung Algemeene menampilkan gaya arsitektur Art Nouveau. Semangat Art Nouveau ini khas mewakili gaya arsitektur pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Baca Juga: Awal Perjalanan Benteng Kedungcowek Menjadi Pusaka Kota Surabaya

 

Gedung NV Assurantie Maatschappij de Nederlanden van 1845 di Pintu Besar, kawasan Kota Tua Jakarta, kini dimiliki oleh PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo). Didesain oleh Hendrik Petrus Berlage. (Ya, saya inBaliTimur/Flickr)

 

Dua patung singa bersayap yang berada di depan gedung ini juga mewakili zaman pembangunan gedung tersebut. Menurut Yudha, desain dua patung singa bersayap—penyebab gedung Algemeene kini lebih dikenal sebagai Gedung Singa—yang dibuat Berlage itu "sangat dipengaruhi dengan kemunculan penemuan-penemuan arkeologi di Mesir" pada masa tersebut.

"Karena temuan hasil eksplorasi-eksplorasi Eropa ke Mesir itu kemudian menimbulkan eksotisme baru di Eropa. Bukan cuma dari sisi pengetahuan, tapi juga kebudayaan Mesir kuno itu muncul di museum-museum di Eropa."

Hal penting lainnya, arsitektur gedung ini juga menggambarkan kemampuan Berlage dalam merancang ruang dalam bangunan yang indah. "Dengan ruang terbatas dia (Berlage) mampu menciptakan ruangan yang monumental," kata Yudha. "Floor to ceiling-nya (jarak lantai ke atapnya) kan tinggi di lantai pertama."

Selain itu, Berlage juga meninggalkan jejak khasnya dengan memanfaatkan batu bata merah untuk menyusun gedung tersebut, termasuk pada semua arch atau bagian lengkungannya. Yudha berkata, "Dia masih pake struktur bata. Makanya semua bukaan-bukaan besarnya itu pakai pelengkung, ya."

 

Baca Juga: Mengunjungi Kampung Pandean, Tempat Sukarno Dilahirkan Pada 1901

Singa bersayap di pintu masuk gedung Algemeene, karya Joseph Menders da Costa (1863-1939). Ia merupakan seniman Belanda yang banyak membuat patung dan ornamen bangunan dengan garis tegas dan simbolisme. Mengapa menampilkan dua singa bersayap? (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)