Selidik Gedung Algemeene, Cagar Budaya Surabaya yang Kini Dijual

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 17 April 2021 | 06:13 WIB
Gedung Algemene atau yang akrab dijuluki 'Gedung Singa' di jantung kota tua Surabaya. Arsiteknya, Hendrik Petrus Berlage, Bapak Arsitektur Modern di Belanda. (Begandring Soerabaia)

 

 

Nationalgeographic.co.id—Pada Rabu, 13 Maret 1901, sebuah surat kabar menulis: "Di lokasi terbuka di Willemskade, yang telah dibeli oleh Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, sebuah bangunan besar yang indah dengan satu lantai akan muncul."

Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, atau  Perusahaan Umum Asuransi Jiwa dan Tunjangan Hidup Amsterdam. Orang biasa menjulukinya 'De Algemeene', atau 'Gedung Singa' karena menampilkan patung singa bersayap. Adapun Willemskade adalah toponimi sebuah jalan tepian sungai, yang kini lebih dikenal sebagai Jalan Jembatan Merah. Kata "kade" merujuk pada dermaga atau jalan yang dibatasi oleh sungai. Gedung ini menempati Willemskade 3.

Pemandangan Willemskade di Surabaya sekitar 1910. Tampak gedung Algemeene menjadi tengara ikonik kawasan Jembatan Merah. (KITLV)

Berita dari surat kabar berbahasa Belanda itu dikutip oleh Obbe Norbruis dalam bukunya yang berjudul Alweer een sieraad voor de stad: Het werk van Ed. Cuypers en Hulswit-Fermont in Nederlands-Indië 1897-1927.

Baca Juga: Mosaik Gedung Algemeene di Surabaya: Memecahkan Teka-Teki Jan Toorop

Dalam buku itu, Norbruis juga mencatat bahwa rancang bangun Gedung Algemeene itu mulanya didesain oleh arsitek bernama Marius J. Hulswit (1862-1921). Namun proposal desain Hulswit ditolak, sehingga arsitek lain bernama Hendrik Petrus Berlage (1856-1934) ditunjuk sebagai perancangnya.

Desain kedua yang diajukan oleh Marius Hulswit untuk 'De Algemeene' di Surabaya, yang menempati kaveling sempit, 8 Januari 1898. Arsip di buku Obbe Norbruis yang berjudul 'Alweer een sieraad voor de stad: Het werk van Ed. Cuypers en Hulswit-Fermont in Nederlands-Indië 1897-1927'. (Obbe Norbruis)

Berlage adalah seorang arsitek kelas dunia yang karya-karya bangunannya masih kokoh berdiri hingga saat ini dan terus dikagumi banyak orang, termasuk oleh para arsitek masa kini.

"Di dunia arsitektur kan ada nama-nama besar. Salah satu yang dikenal dan diakui dan nggak usah diperdebatkan lagi adalah Hendrik Petrus Berlage," kata Bambang Eryudhawan, arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung yang memiliki perhatian pada bangunan-bangunan tua bersejarah.

Baca Juga: Segepok Uang Melayang-Layang di Kembang Jepun Sejak 1941, Siapa Punya?

Berlage diizinkan untuk membangun di atas petak yang lebih luas, yang memungkinkannya memberi fasad simetris pada 'De Algemeene', yang ia salin pada bagian kanan proposal desain Marius Hulswit. Sumber dari buku Obbe Norbruis yang berjudul 'Alweer een sieraad voor de stad: Het werk van Ed. Cuypers en Hulswit-Fermont in Nederlands-Indië 1897-1927'. (Obbe Norbruis)

Yudha, sapaan akrabnya, menceritakan bahwa Berlage memiliki beberapa karya arsitektur megah nan menawan. Salah satu masterpiece Berlage, menurut Yudha, adalah Beurs van Berlage yang berada di Amsterdam, Belanda.

Beurs van Berlage dulu dipakai sebagai gedung bursa saham di Amsterdam. "Sekarang jadi tempat pameran," ujarnya.

Hal menarik dari Beurs van Berlage, fasad gedung besar tersebut mengekspos kekhasan batu bata merah. "Dia (Berlage) memberikan inspirasi pada arsitek besar dunia lainnya, namanya Mies van der Rohe. Jadi Mies van der Rohe melihat gedung (Beurs van Berlage) itu waktu diajak bapaknya pergi ke Amsterdam. Dia terpukau bahwa ada sebuah arsitektur yang disusun dari batu bata."

Baca Juga: Selisik Gaya Arsitektur Rumah Raden Achmad Soebardjo di Cikini Raya

Hendrik Petrus Berlage (1856-1934), Bapak Arsitektur Modern di Belanda. Dua jejak karya arsitekturnya masih bisa dijumpai di Jakarta dan Surabaya. (Wikimedia Commons)

 

Yudha mengatakan bahwa sejak akhir abad ke-19, Berlage telah membangun satu ciri arsitektur sendiri. "Pendekatan desain arsitekturnya modern. Tidak mengandalkan semata-mata style lama dalam pengertian abad 19, tapi berangkat dari kekuatan material, yakni batu bata. Dan kemudian dengan mudahnya dia membangun satu plastisitas arsitektur, bukan cuma fasad, tapi juga kedalaman, sampai ke ruang dalam itu dibangun dengan pemahaman yang sangat kental terhadap perilaku dari batu bata."

Oleh karena itu karya-karya Berlage kemudian selalu disebut juga sebagai bagian dari awal arsitektur modern di Eropa. "Jadi dia pioner arsitektur modern," ucap Yudha. Berlage adalah salah satu bapak arsitekur modern Belanda yang mempengaruhi dunia arsitektur Eropa, bahkan dunia.

Baca Juga: Singkap Jejak Kediaman Sang Mayor yang Meraja Gula di Surabaya

Beurs van Berlage (Begandring Soerabaia/Facebook)

"Nah Hendrik Petrus Berlage punya dua karya di Indonesia. Satu di Surabaya, satu lagi di Jakarta," ucap Yudha. "Dia cuma punya dua karya di Indonesia (dulu Hindia Belanda)," tegas Yudha mengulanginya lagi.

Karya Berlage yang pertama di Indonesia adalah Gedung Algemeene di Jalan Jembatan Merah, Surabaya, yang kini milik PT Asuransi Jiwasraya. Karya keduanya adalah Gedung NV Assurantie Maatschappij de Nederlanden van 1845 di Pintu Besar, kawasan Kota Tua Jakarta, yang kini dimiliki oleh PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo).

Hal yang saat ini menjadi perhatian banyak orang, termasuk Yudha, Jiwasraya sedang berusaha menjual Gedung Algemeene di Surabaya. Perkara yang perlu dikhawatirkan, bagaimana nasib gedung itu setelah pindah ke tangan pemilik yang lain? Siapa pemilik itu? Bagaimana sikap dan perlakuan pemilik baru nantinya terhadap bangunan cagar budaya miliknya?

Gedung ini memiliki nilai arsitektur yang penting. Yudha menjelaskan bahwa Gedung Algemeene menampilkan gaya arsitektur Art Nouveau. Semangat Art Nouveau ini khas mewakili gaya arsitektur pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Baca Juga: Awal Perjalanan Benteng Kedungcowek Menjadi Pusaka Kota Surabaya

 

Gedung NV Assurantie Maatschappij de Nederlanden van 1845 di Pintu Besar, kawasan Kota Tua Jakarta, kini dimiliki oleh PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo). Didesain oleh Hendrik Petrus Berlage. (Ya, saya inBaliTimur/Flickr)

 

Dua patung singa bersayap yang berada di depan gedung ini juga mewakili zaman pembangunan gedung tersebut. Menurut Yudha, desain dua patung singa bersayap—penyebab gedung Algemeene kini lebih dikenal sebagai Gedung Singa—yang dibuat Berlage itu "sangat dipengaruhi dengan kemunculan penemuan-penemuan arkeologi di Mesir" pada masa tersebut.

"Karena temuan hasil eksplorasi-eksplorasi Eropa ke Mesir itu kemudian menimbulkan eksotisme baru di Eropa. Bukan cuma dari sisi pengetahuan, tapi juga kebudayaan Mesir kuno itu muncul di museum-museum di Eropa."

Hal penting lainnya, arsitektur gedung ini juga menggambarkan kemampuan Berlage dalam merancang ruang dalam bangunan yang indah. "Dengan ruang terbatas dia (Berlage) mampu menciptakan ruangan yang monumental," kata Yudha. "Floor to ceiling-nya (jarak lantai ke atapnya) kan tinggi di lantai pertama."

Selain itu, Berlage juga meninggalkan jejak khasnya dengan memanfaatkan batu bata merah untuk menyusun gedung tersebut, termasuk pada semua arch atau bagian lengkungannya. Yudha berkata, "Dia masih pake struktur bata. Makanya semua bukaan-bukaan besarnya itu pakai pelengkung, ya."

 

Baca Juga: Mengunjungi Kampung Pandean, Tempat Sukarno Dilahirkan Pada 1901

Singa bersayap di pintu masuk gedung Algemeene, karya Joseph Menders da Costa (1863-1939). Ia merupakan seniman Belanda yang banyak membuat patung dan ornamen bangunan dengan garis tegas dan simbolisme. Mengapa menampilkan dua singa bersayap? (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

 

 

Ada juga kolaborasi seni rupa pada Gedung Algemeene, berupa mosaik porselen bergambar Raja Firaun bersama ibu Eropa dan ibu Jawa, yang masing-masing menggendong anak.

"Ada karya-karyanya Jan Toroop. Jan Toroop itu seniman kelahiran Purworejo. Jan Toroop juga terkenal. Disebut sebagai salah satu seniman modernis awal yang memberikan kontribusi pada dunia seni rupa di Eropa, tapi dia orang Belanda kelahiran Purworejo," beber Yudha.

Seorang pemerhati sejarah arsitektur Hindia Belanda asal Delft, Olivier Johannes Raap, turut memberikan pemeriannya tentang gedung Algemeene. Hampir setahun sekali dia menjelajahi kota-kota di Jawa berdasar koleksi kartu pos zaman Hindia Belandanya.

Dia mengatakan kepada National Geographic Indonesia bahwa gedung ini mewakili tiga disiplin keahlian: seni arsitektur, seni patung, dan seni lukis. "Di sebelah kiri-kanan pintunya terdapat dua patung singa bersayap hasil karya pematung Belanda Joseph Mendes da Costa, yang memperlihatkan bahwa uang dari pelanggannya dijaga dengan aman," ungkap Olivier. "Di atas pintu dipasang lukisan keramik hasil karya pelukis Jan Toorop dengan gambaran alegoris yang memuliahkan misi perusahaannya."

Olivier menambahkan bahwa sang arsitek Hendrik Petrus Berlage membuat rancangan tanpa melihat lokasi dengan mata kepalanya sendiri. "Karena baru pada 1923 ia mengunjungi Hindia Belanda untuk pertama kalinya."

Baca Juga: Nasib Penerbang RAF yang Pesawatnya Tertembak Jatuh di Surabaya

Tampak depan gedung Algemeene. (Mahandis Yoanata Thamrin)

 

Berlage menerima pesanan untuk merancang kantor ini karena sebelumnya ia sudah mendesain bangunan lain untuk perusahaan Algemeene di Belanda, ungkapnya. Kantor Algemeene di Surabaya mengikuti konsep tradisional khas Belanda: sederet bangunan  yang menghadap ke kanal, dengan fasad indah yang representatif untuk status pemiliknya.

Gedung Algemeene, ungkapnya, merupakan transisi dari gerakan historisme ke gerakan modernisme. "Sebagai gaya utama, kantor Algemeene memakai arsitektur Rasionalisme, sebuah gaya desain bangunan dalam gerakan modernisme awal," ujar Olivier. "Yang diutamakan adalah kejelasan dan kesederhanaan dalam keteraturan serta kesatuan, tanpa menerapkan banyak ornamen."

Senada dengan pemaparan Yudha, Olivier juga mengungkapkan bahwa ciri khusus Berlage adalah lengkungan batu-bata ada dindingnya. "Lengkungan tersebut bisa dianggap sebagai pengembangan lanjutan dari pintu berbentuk ladam yang terinspirasi dari gerbang bulan tradisional Tionghoa."

Dalam gedung Algemeene, kata Olivier, elemen yang dipinjam dari historisme adalah bidang simetris ketat khas Neoklasik. Sementara itu rangka batang kayu pada fasad depannya terinspirasi dari gaya arsitektur lama di Eropa. Berkait hiasan besi di atas atap dengan nama perusahaan, dia berkomentar bahwa hiasan itu merupakan "manifestasi dari tren penggunaan besi, sebuah epilog dari revolusi industri pada abad ke-19."

Lalu apa makna dua patung singa karya Mendes dan mosaik besutan Toorop di fasad depan Algemeene? "Patung singa dan lukisan keramik yang menghias bangunannya masing-masing memperlihatkan elemen dari Mesopotamia dan Mesir kuno, yang melambangkan keabadian," ungkap Olivier. "Pesannya: uang pelanggan akan aman untuk selamanya."

 

 

Betapa pentingnya nilai budaya dan sejarah arsitektur yang melekat pada Gedung Algemene ini diketahui pula oleh Begandring Soerabaia, forum komunitas-komunitas warga yang memiliki perhatian pada budaya dan sejarah Surabaya. Mereka terkejut saat mengetahui gedung ini terancam berpindah tangan pemilik karena ada spanduk informasi di depan gedung yang menunjukkan sedang dilelang secara umum melalui website Jiwasraya.

Mereka kemudian mendengungkan wacana penjualan Gedung Algemeene yang berstatus sebagai bangunan cagar budaya Surabaya. Tujuannya, supaya proses ini menjadi perhatian banyak pihak. "Kami berupaya untuk menggagalkan pelelangan tersebut," kata Kuncarsono Prasetyo, Pendiri dan Koordinator Begandring Soerabaia, pada Jumat, 16 April 2021.

 

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Kho Ping Hoo, Maestro Cerita Silat Indonesia

Mosaik porselen karya Jan Toorop di gedung tinggalan Algemeene. (Mahandis Yoanata Thamrin)

 

Alasan Kuncar, sapaan Kuncarsono, Gedung Algemeene adalah bangunan yang memiliki sejarah yang tinggi bagi arsitektur di dunia. "Cara untuk menggagalkan lelang itu macam-macam. Salah satunya, yang paling utama adalah Perda (Peraturan Daerah) Cagar Budaya Kota Surabaya yang mewajibkan pemilik bangunan cagar budaya di Surabaya untuk menawarkan ke pemerintah kota sebelum menjualnya ke publik. Jadi itu yang harus dilalui," ungkapnya kepada National Geographic Indonesia. "Jika itu tidak dilalui, seharusnya upaya lelang tersebut batal demi hukum."

Namun demikian, Yudha, yang juga merupakan anggota Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi DKI Jakarta, mempunyai pendapat agak berbeda terkait upaya penggagalan penjualan gedung ini.

Baca Juga: Cerita Sisi Lain Surabaya: Desa, Kota, dan Sepincuk Semanggi

Nisan Marius Hulswitdi Kebon Jahe Kober, kini Museum Taman Prasasti di Jakarta. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Menurutnya, penjualan tak masalah dilakukan, yang terpenting nilai arsitektur dan sejarah bangunan Gedung Algemeene tetap terjaga. Sebab, bagaimanapun, gedung tua berlantai dua ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya Kota Surabaya.

"Dijual sih boleh, cuma kan sebagian orang merujuk pada undang-undang bahwa opsi pertama harus dibeli oleh pemerintah," jelas Yudha. Adapun bila pemerintah tak mau membelinya, "dijual kepada siapa pun boleh. Cuma kan karena sudah cagar budaya, pembelinya pun terikat dengan ketentuan untuk tetap menjaga keaslian bangunan tersebut."

 

Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon