Nationalgeographic.co.id—Sebuah foto koleksi Asia Maior mengisahkan panorama gedung-gedung di sekitar Jembatan Merah pada 1918. Tampak gerobak pedati yang ditarik dua sapi, kereta kuda, dan mobil Ford beratap terpal putih tengah melintas. Sebagai latar belakangnya deretan gedung-gedung perkantoran di Willemskade—kini Jalan Jembatan Merah. Namun ada satu gedung yang mencolok dengan kibaran merah-putih-biru dan susunan aksara besi di atapnya: “ALGEMEENE”.
Gedung Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente (Perusahaan Umum Asuransi Jiwa dan Tunjangan Hari Tua) dibangun pada 1901. Sang arsitek adalah Hendrik Petrus Berlage (1856-1934), juga sohor dengan julukannya sebagai “bapak arsitektur modern”.
Tampak depan gedung berlantai dua tersebut menyajikan gaya art-nouveau dengan lengkungan-lengkungan bata merah khas Berlage. Pintu depannya dijaga oleh penanda monumental: dua patung singa bersayap—yang terkesan horor, bahkan hingga hari ini.
Meskipun Algemeene sudah bangkrut pada tahun 1921, gedung tersebut masih kokoh sampai sekarang.
Kini gedung asuransi renta itu dibiarkan kosong tak terawat. Lantai satunya pernah digunakan PT Aperdi Java Maluku, sedangkan lantai dua pernah dipakai sebagai kantor PT Asuransi Jiwasraya.
Tampak depan gedung ini menyajikan mosaik porselen nan elok, sekaligus berselimut misteri: Raja Firaun bersama ibu Eropa dan Jawa, yang masing-masing menggendong anak, dan berhias bunga dan simbol masonik.
Ada dua pendapat tentang makna simbol dari mosaik persolen tersebut. Keduanya punya makna yang menarik untuk diselisik.
Pendapat pertama mengisahkan bahwa mosaik porselen itu mengingatkan pada pemirsanya tentang kisah Isis-Ra-El, kisah kuno yang dituturkan bangsa Sumeria-Babilonia.
Tersebutlah El, seorang ayah dari dewa-dewa. Dalam karya seni itu dia duduk di tengah. Sementara Isis (diperankan Ibu Eropa) dan Ra (diperankan Ibu Jawa) sedang mencoba menarik perhatian El untuk menerima anak mereka. Kaki kanan El mengarah ke Isis. Artinya, dia lebih memilih anak dari Isis (anak Eropa), ketimbang anak dari Ra (anak Jawa yang digambarkan menangis).
Baca Juga: Awal Perjalanan Benteng Kedungcowek Menjadi Pusaka Kota Surabaya
Mungkin bisa berarti bahwa Algemeene sebagai lembaga keuangan non-bank lebih mengutamakan pelayanannya kepada warga Eropa ketimbang warga pribumi. Pada zaman Hindia Belanda, kelas warga Eropa memang dipandang lebih terhormat dibandingkan kelas warga pribumi. Demikianlah nasib anak negeri koloni.
Sedangkan pendapat kedua mencoba menghubungkan mosaik porselen tersebut dengan kisah dalam Alkitab dan simbol-simbol yang biasa digunakan bangsa Eropa.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR