Sumber Air Sungai Nil, Misteri yang Terbentang Selama 3.000 Tahun

By Utomo Priyambodo, Selasa, 11 Mei 2021 | 16:33 WIB
Salah satu sudut pusat kota Kairo di tepian Sungai Nil. (Gloria Samantha)

Nationalgeographic.co.id—Pencarian untuk menemukan sumber air Sungai Nil adalah salah satu pertanyaan ilmiah terpenting abad ke-19 di Eropa. Meskipun sulit untuk membayangkan teka-teki semacam itu ada di era Google Maps saat ini, upaya-upaya penelusurannya kala itu hampir sama mencekamnya dengan perlombaan untuk menempatkan manusia di bulan, karena terbungkus dalam cerita kepahlawanan dan intrik.

Ekspedisi-ekspedisi pencarian sumber air Sungai Nil itu mengarah pada pemuliaan tokoh-tokoh seperti David Livingstone, Henry Morton Stanley, dan Richard Francis Burton, tetapi dengan mengorbankan diri untuk mengalami cedera, penyakit, dan bahkan kematian dalam kasus Livingstone. Pada saat yang sama, pencarian geografis ini, dalam beberapa hal, memicu minat kolonial Eropa di Afrika. Hal itu terbukti terjadi salama bertahun-tahun kemudian.

Misteri sumber Sungai Nil telah menjadi tantangan selama tiga ribu tahun,” ujar Christopher Ondaatje, seorang penjelajah yang menulis buku Journey to the Source of the Nile, seperti dilansir Discover Magazine.

Sungai Nil telah memainkan peran kunci dalam beberapa peradaban paling kuno yang menghuni planet ini. Tanpa air dalam jumlah besar, orang-orang Mesir kuno kemungkinan besar tidak akan pernah mengumpulkan kekayaan dan kekuatan yang dibutuhkan untuk membangun piramida dan mengendalikan wilayah yang luas sejak 5.000 tahun yang lalu.

Herodotus, sejarawan Yunani terkenal dari abad ke-5 Sebelum Masehi, melakukan perjalanan dengan caranya sendiri, bertanya-tanya tentang sumber air dalam jumlah besar itu seperti yang dilakukan tokoh-tokoh seperti Alexander Agung, Cyrus Agung dan putranya, dan para pemimpin Romawi seperti Julius Caesar dan Nero.

“Nil caput quoerere adalah pepatah Romawi yang jika diterjemahkan secara longgar maksudnya adalah 'mencari kepala Sungai Nil,' atau untuk mencoba yang tidak mungkin,” kata Ondaatje.

Baca Juga: Olah Sampah oleh Warga Pinggir Citarum, Sungai Terkotor di Dunia

Firaun Ptolemeus II Philadelphus juga tertarik pada pencarian sumber air Sungai Nil ini. Pada abad ke-3 Sebelum Masehi ia mengirimkan ekspedisi cukup jauh untuk mencari tahu sumber ari Nil Biru yang mungkin berasal dari pegunungan Etiopia.

“Orang-orang Mesir juga tertarik untuk menemukan sumbernya karena itu mempengaruhi pertanian mereka,” kata Angela Thompsell, profesor sejarah di State University of New York yang memiliki spesialisasi keahlian dalam bidang sejarah kolonial Afrika dan Inggris.

Namun, tak satu pun dari upaya-upaya ini berhasil mencapai sumbernya.

Seperti banyak sungai dengan panjang yang sebanding, Sungai Nil memiliki sejumlah anak sungai utama, atau cabang-cabang sungai atas yang mengalir ke dalamnya. Dua sungai utamanya, Nil Biru dan Nil Putih, bertemu di Khartoum sebelum melanjutkan perjalanan ke utara melalui Sudan dan ke Mesir.

Penjelajah Skotlandia James Bruce mengklaim sebagai orang Eropa pertama yang menemukan sumber Sungai Nil Biru. Pada tahun 1770 ia berhasil mencapai rawa dan air terjun di Tis Abay di Ethiopia. Meski demikian, menurut Ondaatje, Jesuit Pedro Paez dari Spanyol sebenarnya telah 150 tahun lebih dulu tiba di Danau Tana pada 1618.

Baca Juga: 110 Makam Mesir Kuno Ditemukan di Delta Nil, Arkeolog Ungkap Isinya

Nil Biru, yang mengalir dari Danau Tana, sebenarnya menyediakan lebih dari 80 persen air dan sedimen yang mengalir ke Sungai Nil ketika dua bagian utama dari sungai Nil itu bertemu di Khartoum. Tetapi Sungai Nil Putih lebih panjang, dan sumbernya selalu kurang dipahami karena mengalir dari pedalaman yang lebih dalam.

Sebagian besar ekspedisi abad ke-19 yang terkenal berfokus pada upaya menemukan sumber air Sungai Nil Putih. Pencarian sumber air Nil Putih adalah misi yang melibatkan orang lebih banyak.

Penjelajah Inggris bernama Richard Francis Burton melakukan ekspedisi mencari sumber air Sungai Nil Putih. Burton adalah salah satu orang Eropa pertama yang mengunjungi Mekkah dengan menyamar sebagai Pashtun. Burton konon bisa berbicara dalam lusinan bahasa, yang kemudian dia gunakan untuk menerjemahkan edisi 16 jilid buku Seribu Satu Malam (sering dikenal sebagai The Arabian Nights) dan edisi tanpa sensor dari Kama Sutra dan The Perfumed Garden ke dalam bahasa Inggris.

Upaya pertama Burton untuk menemukan sumber Nil Putih diikuti oleh John Hanning Speke, seorang naturalis, penjelajah, dan perwira di British Indian Army. Pada tahun 1855, mereka berangkat dengan dukungan Royal Geographic Society (RGS) dan mempekerjakan banyak pembawa barang, pemandu, juru masak, dan penerjemah Afrika. Mereka nyaris tidak berhasil di lepas pantai dekat Berbera di Somaliland ketika mereka diserang oleh penduduk setempat. Speke ditangkap dan terluka sebentar sebelum melarikan diri, sementara Burton ditusuk di kedua pipinya.

Mereka kembali, dan legenda ekspedisi pertama mereka tumbuh di Inggris, meskipun mereka gagal. Mereka kemudian memulai perjalanan lain yang disponsori RGS pada tahun 1856, dan serupa dengan perjalanan pertama, "tidak dimulai dengan baik," ucap Thompsell.

Baik Burton dan Speke menderita malaria dan penyakit lainnya akibat ekspedisi tersebut. Selain itu, banyak dari staf sewaan mereka yang meninggalkan mereka.

Baca Juga: Volume Sungai Glasial Meningkat 50% Dalam 30 Tahun, Apa Dampaknya?

Meski demikian, tim mereka tetap melaju hingga ke Danau Tanganyika. Burton adalah orang Eropa pertama yang melihat danau itu, karena Speke sempat mengalami kebutaan sementara pada saat mencapai danau tersebut.

Mereka berdua kemudian memutuskan bahwa Tanganyika bukanlah sumbernya karena mereka menemukan sungai besar yang mengalir ke sana. Speke memulihkan penglihatannya, tetapi Burton terlalu sakit untuk melanjutkan ekspedisi. Speke kemudian melanjutkan perjalanan menuju Danau Victoria tanpa Burton. Begitu berhasil, Speke mengklaim danau itu sebagai sumber sebenarnya dari Sungai Nil Putih.

Burton membantah temuan Speke ketika mereka bertemu kembali, seraya meminta buktinya. “Pada dasarnya mereka saling membenci sejak saat itu,” kata Thompsell.

Speke melakukan ekspedisi lain ke Danau Victoria pada tahun 1860 dengan penjelajah Skotlandia James Grant, tetapi sekali lagi gagal memetakan seluruh area di sekitar Danau Victoria, yang dianggap sebagai sumber Sungai Nil Putih, untuk memastikan bahwa sungai itu sendiri tidak dialiri oleh anak sungai lain.

Baca Juga: Ekspedisi Ungkap 'Bom Panas' Berbahaya Telah Memasuki Samudra Arktik

Pada tahun 1864, tepat sebelum Speke dijadwalkan untuk mendebat Burton secara terbuka di Inggris, Speke menembak dirinya sendiri dalam apa kejadian yang mungkin merupakan kecelakaan atau mungkin bunuh diri. “Ini menjadi legenda yang dibangun di atas legenda,” kata Thompsell. Semuanya menyatu untuk memancing rasa penasaran publik terhadap sumber Sungai Nil ini.

Segera setelah itu, penjelajah Nil terkemuka lainnya mulai berupaya untuk menjawab pertanyaan tentang sumber Sungai Nil Putih. David Livingstone adalah misionaris abolisionis yang terkenal karena penjelajahannya melalui Afrika. Buku-bukunya tentang perjalanannya terjual puluhan ribu eksemplar di Inggris. Namun Livingstone mendapat masalah. Dia hilang selama ekspedisinya untuk melacak sumber Sungai Nil pada akhir 1860-an.

Pahlawan pemula lainnya, Henry Morton Stanley, seorang penjelajah Wales-Amerika, berangkat untuk menjelajahi wilayah tersebut dan menemukan Livingstone. Stanley menemukan Livingstone telah sakit selama bertahun-tahun Kesehatan Livingstone yang buruk akhirnya berkontribusi pada kematiannya beberapa tahun kemudian selama upaya terakhirnya untuk menemukan sumber Sungai Nil.

Stanley memulai ekspedisi lain pada pertengahan 1870-an. Dia akhirnya menyimpulkan bahwa Danau Victoria memiliki satu saluran keluar yang mengalir ke Sungai Nil Putih melalui Air Terjun Rippon dan Danau Albert. Dengan demikian, temuannya ini mengonfirmasi penemuan Speke sebelumnya. Dalam proses menjelajahi Danau-Danau Besar di Afrika, dia juga menemukan bahwa danau-danau itu adalah sumber Sungai Kongo.

“Pada hari itu, mereka (Stanley dan timnya) adalah selebriti, mereka adalah pahlawan nasional,” kata Thompsell.