Mandat Britania di Palestina, Awal Mula Konflik Israel-Palestina

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 22 Mei 2021 | 19:00 WIB
Petugas Batalyon 1 The Loyal Regiment (Lancashire Utara) di kereta troli melewati gerobak kereta api yang penuh dengan pria dari Perusahaan 'B'. Resimen ini kemudian terlibat dalam tugas perlindungan kereta api terhadap kelompok-kelompok Arab militan yang menentang Mandat Inggris dan imigrasi Yahudi yang berkembang. (National Army Museum)

Sementara itu, muncul pula gerakan Zionisme sejak akhir abad ke-19 lewat organisasi Hibbat Zion. Zionisme muncul sebagai respon sentimen anti-Yahudi di Eropa (Cohen, Michael J. 1989).

Sentimen membuat banyak orang Yahudi di Eropa—khususnya Rusia—melarikan diri. Beberapa di antaranya memilih untuk Palestina dalam Aliyah Pertama, dan ke Inggris. Migrasi ke Inggris dilakukan oleh Chaim Weizmann yang merupakan presiden organisasi Zionis sejak 1904. Ia juga kelak akan menjadi presiden pertama Israel.

Arthur Balfour pada 1917 menjabat Menteri Luar Negeri Inggris. 22 Maret tahun itu, ia bertemu dengan Weizmann dan menerima gagasan Zionis untuk menciptakan negeri untuk orang Yahudi di Palestina.

Alasan Balfour menerimanya karena Zionis mendukung Inggris menguasai Palestina, daripada kawasan itu harus di bawah protektorat Amerikat Serikat, Prancis, atau lembaga internasional. Kawasan Palestina itu sendiri sebelumnya masih simpang siur dalam batas kuasa Inggris-Prancis dalam perjanjian Sykes-Picot (1916), tulis Schneer. 

Baca Juga: Gerakan Partai Komunis Palestina, Perlawanan Zionis dan Lika-Likunya

Gerbang Damaskus, Yerusalem sekitar 1990. (Photograpium)

Maka lewat perjanjian Clemanceau-Lloyd George (1918) Palestina secara resmi dipegang Inggris, sebagai Mandat Britania di Palestina. Pertimbangan Prancis menerima mandat itu juga karena Inggris kerap bertempur dengan Ottoman dari selatan melalui Mesir yang merupakan jajahannya.

Selain itu alasan mengapa Inggris menyetujui keinginan Zionis, menurut Alexander Scholch dalam Journal of Palestine Studies (Vol 22(1), 1992), menganggap Yahudi bisa menjadi kelompok yang dapat 'diayomi' untuk mempengaruhi Palestina berada dalam kuasanya.

Hal ini merupakan cara yang sama dengan Prancis dengan meluaskan pengaruhnya di sana pada Katolik, dan Rusia lewat Kristen Ortodoks Timur.

Maka, lewat Deklarasi Balfour pada 2 November 1917 disepakati. Isi deklrasi itu mebahas hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi di Palestina, serta status politik bagi orang Yahudi di negara lain.

Baca Juga: Bangkai Kapal di Israel Ditemukan dengan Artefak Kristen dan Muslim