Mandat Britania di Palestina, Awal Mula Konflik Israel-Palestina

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 22 Mei 2021 | 19:00 WIB
Petugas Batalyon 1 The Loyal Regiment (Lancashire Utara) di kereta troli melewati gerobak kereta api yang penuh dengan pria dari Perusahaan 'B'. Resimen ini kemudian terlibat dalam tugas perlindungan kereta api terhadap kelompok-kelompok Arab militan yang menentang Mandat Inggris dan imigrasi Yahudi yang berkembang. (National Army Museum)

Nationalgeographic.co.id - Jumat 21 Mei 2021, Israel dan Palestina menyepakati gencatan senjata setelah 11 hari saling serang antar kedua kubu. Gencatan senjata ini adalah beberapa bagian dari kisah konflik berkepanjangan antar dua negara itu.

Permasalahan kedua negara ini sebetulnya sudah ada sejak penguasaan Inggris atas Palestina pada Perang Dunia I.

Menurut Jonathan Schneer dalam The Balfour Declaration: The Origins of the Arab-Israeli Conflict (2010), secara historis terjadi saat Kesultanan Ottoman terlibat dalam Perang Dunia I bersama Jerman, Austria-Hungaria, dan Bulgaria.

Di sisi lain, Kesultanan Ottoman sendiri memilih masalah internal berupa nasionalisme bangsa Arab yang ingin merdeka. Situasi ini dimanfaatkan Inggris dan Prancis untuk berpihak pada nasionalisme Arab. Sehingga pada 1918 kedua negara ini menyerang Ottoman, dan mendapatkan provinsi Levantine (kini Irak utara, Israel, Lebanon, Suriah, Palestina, dan Yordania).

Baca Juga: Lelakon Ambisi Ottoman Turki dalam Pengepungan Konstantinopel

Pembagian kuasa antara Inggris, Prancis, dan Italia atas sisa kekuasaan Kesultanan Ottoman di Timur Tengah. (British Library)

Sementara itu, muncul pula gerakan Zionisme sejak akhir abad ke-19 lewat organisasi Hibbat Zion. Zionisme muncul sebagai respon sentimen anti-Yahudi di Eropa (Cohen, Michael J. 1989).

Sentimen membuat banyak orang Yahudi di Eropa—khususnya Rusia—melarikan diri. Beberapa di antaranya memilih untuk Palestina dalam Aliyah Pertama, dan ke Inggris. Migrasi ke Inggris dilakukan oleh Chaim Weizmann yang merupakan presiden organisasi Zionis sejak 1904. Ia juga kelak akan menjadi presiden pertama Israel.

Arthur Balfour pada 1917 menjabat Menteri Luar Negeri Inggris. 22 Maret tahun itu, ia bertemu dengan Weizmann dan menerima gagasan Zionis untuk menciptakan negeri untuk orang Yahudi di Palestina.

Alasan Balfour menerimanya karena Zionis mendukung Inggris menguasai Palestina, daripada kawasan itu harus di bawah protektorat Amerikat Serikat, Prancis, atau lembaga internasional. Kawasan Palestina itu sendiri sebelumnya masih simpang siur dalam batas kuasa Inggris-Prancis dalam perjanjian Sykes-Picot (1916), tulis Schneer. 

Baca Juga: Gerakan Partai Komunis Palestina, Perlawanan Zionis dan Lika-Likunya

Gerbang Damaskus, Yerusalem sekitar 1990. (Photograpium)

Maka lewat perjanjian Clemanceau-Lloyd George (1918) Palestina secara resmi dipegang Inggris, sebagai Mandat Britania di Palestina. Pertimbangan Prancis menerima mandat itu juga karena Inggris kerap bertempur dengan Ottoman dari selatan melalui Mesir yang merupakan jajahannya.

Selain itu alasan mengapa Inggris menyetujui keinginan Zionis, menurut Alexander Scholch dalam Journal of Palestine Studies (Vol 22(1), 1992), menganggap Yahudi bisa menjadi kelompok yang dapat 'diayomi' untuk mempengaruhi Palestina berada dalam kuasanya.

Hal ini merupakan cara yang sama dengan Prancis dengan meluaskan pengaruhnya di sana pada Katolik, dan Rusia lewat Kristen Ortodoks Timur.

Maka, lewat Deklarasi Balfour pada 2 November 1917 disepakati. Isi deklrasi itu mebahas hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi di Palestina, serta status politik bagi orang Yahudi di negara lain.

Baca Juga: Bangkai Kapal di Israel Ditemukan dengan Artefak Kristen dan Muslim

Deklarasi itu menyebutkan "national home" yang memiliki makna ambigu, menurut beberapa sejarawan. Salah satunya adalah James Gelvin, sejarawan Timur-Tengah pada bukunya The Israel-Palestine Conflict: One Hundred Years of War (2002). Menurutnya, istilah ini tidak kuat secara hukum internasional untuk istilah 'negara'.

Deklarasi ini juga tidak melibatkan pihak Palestina. Hal itu diungkapkan sendiri oleh Balfour dalam memonya pada 1919. Akibatnya, deklarasi ini menyebabkan polemik awal antara bangsa Arab dan Yahudi.

Setahun sebelum Balfour menulis memonya, penduduk Arab mendirikan Asosiasi Muslim-Kristen, dan mengadakan kongres di Yerusalem pada 1919. Kongres ini membahas untuk mnentang deklarasi itu.

Pada Maret 1918 sendiri juga Komite Zionis dibentuk, dan mengampanyekan tujuannya atas Palestina. Ketika Deklarasi Balfour diberlakukan untuk Mandat Britania di Palestina, banyak Yahudi yang datang atas kampanye untuk bermigrasi sana.

Yerusalem, sekitar 1900. (Photograpium)

Pada 1920 kelompok Arab mulai menyerang kawasan Yahudi atas respons tindakan mereka. Serangan itu terjadi pada Maret di desa Tel Hai dan Yerusalem.

Selama 1920-an, kondisi Palestina kian memanas, terutama saat distribusi listrik masuk yang dibawakan oleh Pinhas Rutenberg yang merupakan pengusaha Yahudi, dan difasilitasi Inggris. Perlawanan terjadi tak hanya dilakukan oleh kalangan Arab tapi juga Yahudi sayap kiri.

Kerunyaman makin terbentuk pada 1930 ketika Syekh Izzaddin al-Qassam dari Suriah mengorganisir organisasi militan anti-Zionis dan anti-Inggris.

Al Qassam tewas pada 1935 setelah dibunuh polisi Inggris. Wafatnya al-Qassam membuat kemarahan komunitas Arab meluas. Komunitas Arab pun melakukan pemberontakan dari 1935 hingga 1940-an.

Pemberontakan Arab ini membuat Inggris membuat White Paper tahun 1939. White Paper ini menyetujui untuk mengatur pemukiman Yahudi di Palestina.

Pengaturan itu membuat kalangan Yahudi dibatasi membeli tanah kawasan Arab, kecuali di beberapa kawasan. Peraturan lainnya juga untuk membatasi jumlah imigran Yahudi ke Palestina. Akan tetapi, saat Perang Dunia II pecah, Holocaust yang dilakukan Nazi Jerman membuat orang Yahudi harus bermigrasi meninggalkan Eropa menuju Palestina.

Akibat regulasi itu, banyak Yahudi yang terlantar di kamp Eropa. Presiden Amerika Serikat, Hary S Truman meminta Inggris untuk membiarkan mereka masuk. White Paper pun ditentang oleh kalangan Zionis dan melakukan pemberontakan atas Inggris pada 1940-an.

Pemberontakan ini berhasil membunuh politisi Inggris, Lord Moyne. Pembunuhan ini membuat anti-Semit di Inggris naik, dan melawan zionisme. Bahkan sebagian besar perwira militer Inggris di Palestina menjadi pro-Arab.

Baca Juga: Operasi Badr, Serangan Mesir Saat Israel Merayakan Hari Yom Kippur

Kapal SS 'Exodus' (1928) yang merupakan pembawa pengungsi Yahudi dari Prancis yang hendak menetap di Palestina. Khawatir akan sikap Mesir dan Arab Saudi, pembatasan imigran ini diharapkan supya Inggris memenangkan hati kedua negara Arab tersebut. Akibatnya membuat pemberontakan dari kalangan Zionis. 'Exodus' disita oleh Angkatan Laut Kerajaan Inggris dan setelah berlabuh di Haifa, dikirim kembali ke Prancis dengan mayoritas penumpangnya masih berada di kapal. (National Army Museum)

Pemberontakan Arab dan Zionis, maupun permintaan Hary S Truman membuat Inggris hendak mengakhiri mandatnya di Palestina. Mereka menggelar pendapat 11 negara lewat UNSCOP (Komite Khusus PBB untuk Palestina) pada 15 Mei 1947.

Tujuh negara merekomendasikan pembentukan negara-negara Arab dan Yahudi yang merdeka, dengan Yerusalem di bawah adminstrasi internasional. Sedangkan tiga negara menyarankan pembentukan federal yang berisi negara-negara Arab dan Yahudi.

November 1947, Majelis Umum PBB melibatkan banyak negara merekomendasikan rencana pembatsan dan persatuan ekonomi. Masalah pembatan dibahas bagaima kedua negara akan dibentuk. Dengan demikian Inggris mengumumkan akhir mandatnya, dan menarik diri dari Palestina pada 14 Mei 1948.

Muslim dari India beribadah bersama orang Yahudi di Makam Raja Daud, di Gunung Sion di Yerusalem. (John Stanmeyer/ National Geographic)

Sejatinya, organisasai Liga Arab maupun beberapa organisasi Zionis menentang pembatasan itu. Pihak Zionis mengungkapkan keberatan bahwa kawasan Transjordan diklaim sebagai hak orang Yahudi atas kesepakatan Piagam PBB.

Akhirnya terjadilah perang saudara 1947-1948 di Mandat Briania di Palestina antara komunitas Arab dan Yahudi, bersamaan otoritas Inggris yang memudar. Selama perang saudara terjadi, berangsur-angsur pasukan, kuasa hukum, dan bagian administrasi Inggris meninggalkan Palestina. Meskipun di tahun itu hingga 1949, negara-negara Arab mulai memasuki Palestina, dan berbuntut Perang Arab-Israel.

Tentara Inggris yang tersisa berada di Haifa, dan kembali ke negara asalnya lewat RAF Ramat David. Akhirnya, Ramat David diserahkan pada Israel pada 26 Mei 1949.

Baca Juga: 24 April 1957, Terusan Suez Dibuka Kembali Setelah Krisis Sinai