Jejak Jalur Rempah, Tradisi Pinang Sirih dan Migrasi Manusia

By National Geographic Indonesia, Minggu, 13 Juni 2021 | 15:00 WIB
Pekinangan atau wadah yang terbuat dari kuningan, digunakan sebagai tempat menyimpan bahan-bahan untuk menginang yang berisi tembakau, gambir, kapur, dan pinang ini biasanya disuguhkan untuk para tamu yang datang. Koleksi Museum Nasional Indonesia (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

 

Oleh Dani Kosasih

 

Kebiasaan menginang atau menyirih telah menjadi bagian dari budaya Nusantara. Inilah tradisi yang mengiringi arah perjalanan umat manusia dari daratan Asia Tenggara hingga kepulauannya. Bagaimanakah riwayatnya?

 

Nationalgeographic.co.id—Sore itu, langit Bekasi tampak gelap. Hujan turun tidak terlalu deras, tetapi cukup membuat suhu di dapur ini terasa dingin. Purnimawati, ibu beranak empat, terlihat lihai melipat daun sirih berwarna hijau.

Purni, Panggilan akrabnya. Dia menunjukkan bagaimana cara meracik pinang sirih. Di dalam lipatan daun sirih, dia memasukkan potongan kecil gambir, pinang, dan secuil kapur. Lalu, ia memasukkan ke mulut, mengunyahnya laksana permen karet. Beberapa saat berselang, warna cokelat kemerahan menghiasi gigi dan bibirnya.

Kebiasaan itu telah dilakukannya sejak bersekolah dasar di Tanjungbalai sekitar awal 1970-an. “Dahulu, saya sering sekali melihat ibu dan teman-temannya nyirih. Jadi penasaran mau coba juga,” kenang Purni. “Memang rasanya getir dan pahit tapi membuat ketagihan.”