Jejak Jalur Rempah, Tradisi Pinang Sirih dan Migrasi Manusia

By National Geographic Indonesia, Minggu, 13 Juni 2021 | 15:00 WIB
Pekinangan atau wadah yang terbuat dari kuningan, digunakan sebagai tempat menyimpan bahan-bahan untuk menginang yang berisi tembakau, gambir, kapur, dan pinang ini biasanya disuguhkan untuk para tamu yang datang. Koleksi Museum Nasional Indonesia (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Anthony Reid dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah Angin, menceritakan bahwa tradisi pinang sirih merupakan tradisi pergaulan sehari-hari bagi ma­sya­rakat Asia Tenggara. Tradisi ini meru­pakan lambang sopan santun dan keramah-tamahan, sehingga arwah leluhur pun tidak luput dari pemberian sajian ini.

Buku “Feeding the Dead: Reformulating Sasak Mortuary Practices” yang ditulis oleh Kari G. Telle, mengungkapkan bahwa pemberian sirih kepada leluhur yang telah mati merupakan sebuah penghormatan dan wujud rasa sayang.

Tradisi pinang sirih memiliki posisi sangat sakral. Mengu­nyah pinang sirih atau menyaji­kannya telah menjadi bagian di upacara kematian, kelahiran, dan penyembuhan. Utamanya, pada upacara pertunangan dan perkawinan.

Reid menjelaskan mengapa me­­ngunyah pinang sirih menjadi kebiasaan di Jawa dan Nusantara pada saat itu. Dalam bukunya, Reid mengatakan bahwa sirih memiliki kandung­­an narkotik lunak yang memerlukan campuran tiga bahan pokok untuk mengaktifkannya: buah pinang, daun sirih, dan kapur.

Baca Juga: Misi Jalur Rempah, KRI Dewaruci Akan Kunjungi 13 Titik di Nusantara

Kacip atau alat untuk membelah dan mengupas buah pinang yang biasanya terbuat dari tembaga.Koleksi Museum Nasional Indonesia. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Kapur—diperoleh dari kerang yang dihancurkan—akan bereaksi secara kimia­­wi saat bertemu dengan buah pinang. Hasilnya, zat alkaloid yang menenangkan otak dan sistem saraf sentral.

Tradisi pinang sirih bisa dikatakan sebagai kebiasaan yang muncul dan mampu bertahan karena menimbulkan efek ketagihan. Hingga akhirnya orang-orang Eropa datang membawa tembakau ke Asia Tenggara.

Tanaman tembakau diperkirakan dibawa dari Meksiko ke Filipina pada 1570-an. Lalu, mulai menyebar ke tanah Jawa pada 1601. Reid percaya bahwa teks Babad ing Sangkala, yang ditulis pada 1738, sudah menunjukkan praktik merokok di Keraton Mataram sejak awal abad ke-17.

Perlahan, tembakau berangsur-angsur meng­ambil alih peran daun sirih dan pinang sebagai alat pergaulan, alat penenang, dan bahan obat.