Anthony Reid dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah Angin, menceritakan bahwa tradisi pinang sirih merupakan tradisi pergaulan sehari-hari bagi masyarakat Asia Tenggara. Tradisi ini merupakan lambang sopan santun dan keramah-tamahan, sehingga arwah leluhur pun tidak luput dari pemberian sajian ini.
Buku “Feeding the Dead: Reformulating Sasak Mortuary Practices” yang ditulis oleh Kari G. Telle, mengungkapkan bahwa pemberian sirih kepada leluhur yang telah mati merupakan sebuah penghormatan dan wujud rasa sayang.
Tradisi pinang sirih memiliki posisi sangat sakral. Mengunyah pinang sirih atau menyajikannya telah menjadi bagian di upacara kematian, kelahiran, dan penyembuhan. Utamanya, pada upacara pertunangan dan perkawinan.
Reid menjelaskan mengapa mengunyah pinang sirih menjadi kebiasaan di Jawa dan Nusantara pada saat itu. Dalam bukunya, Reid mengatakan bahwa sirih memiliki kandungan narkotik lunak yang memerlukan campuran tiga bahan pokok untuk mengaktifkannya: buah pinang, daun sirih, dan kapur.
Baca Juga: Misi Jalur Rempah, KRI Dewaruci Akan Kunjungi 13 Titik di Nusantara
Kapur—diperoleh dari kerang yang dihancurkan—akan bereaksi secara kimiawi saat bertemu dengan buah pinang. Hasilnya, zat alkaloid yang menenangkan otak dan sistem saraf sentral.
Tradisi pinang sirih bisa dikatakan sebagai kebiasaan yang muncul dan mampu bertahan karena menimbulkan efek ketagihan. Hingga akhirnya orang-orang Eropa datang membawa tembakau ke Asia Tenggara.
Tanaman tembakau diperkirakan dibawa dari Meksiko ke Filipina pada 1570-an. Lalu, mulai menyebar ke tanah Jawa pada 1601. Reid percaya bahwa teks Babad ing Sangkala, yang ditulis pada 1738, sudah menunjukkan praktik merokok di Keraton Mataram sejak awal abad ke-17.
Perlahan, tembakau berangsur-angsur mengambil alih peran daun sirih dan pinang sebagai alat pergaulan, alat penenang, dan bahan obat.