Jejak Jalur Rempah, Tradisi Pinang Sirih dan Migrasi Manusia

By National Geographic Indonesia, Minggu, 13 Juni 2021 | 15:00 WIB
Pekinangan atau wadah yang terbuat dari kuningan, digunakan sebagai tempat menyimpan bahan-bahan untuk menginang yang berisi tembakau, gambir, kapur, dan pinang ini biasanya disuguhkan untuk para tamu yang datang. Koleksi Museum Nasional Indonesia (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

 

Pemakaian tembakau secara populer kala itu ialah mengisap cerutu yang dikenal orang Melayu dengan istilah “bungkus” pada abad ke-17. “Bungkus” itu merujuk pada cara membuatnya, yakni rajangan tembakau bersaus yang dibung­kus daun jagung atau nipah. Istilah ini sudah merebak di Jawa pada 1658. Cara mengisap tembakau dengan cerutu pun mulai populer di kalangan pria dan wanita, bahkan anak-anak. Tembakau kian populer pada akhir abad ke-18 ketika menjadi salah satu bahan pelengkap pinang sirih.

Selanjutnya, Anthony Reid mengisahkan tentang perjalanan pinang sirih dalam “From Betel-Chewing to Tobacco-Smoking in Indonesia” yang dipublikasikan oleh The Journal of Asian Studies. Reid memaparkan bahwa setelah tembakau berhasil menjadi bahan campuran untuk pinang sirih, penggunaan tembakau pun akhirnya secara perlahan benar-benar berubah fungsi menjadi rokok.

Pada akhir abad ke-19, merokok telah dikaitkan dengan transformasi ke sikap modern, yang dengan cepat menggantikan tradisi atau kebiasaan pinang sirih. Apalagi, tembakau memiliki efek relaksasi dan obat penenang mirip sirih. Kenikmatan menyirih mudah tergantikan.

Baca Juga: Nasib Kapal-Kapal Kuno yang Tenggelam di Jalur Rempah Nusantara

Menurut sejarawan JJ Rizal, yang membuat pengaruh tembakau dan kegiatan merokok bisa menyebar dan memengaruhi masyarakat begitu masif adalah kampanye besar-besaran dari industri rokok serta liberalisasi hingga meluasnya perkebunan tembakau pada masa itu.

Apalagi, kegiatan merokok saat pertama kali diperkenalkan langsung menyasar para elite kera­jaan. Tahun 1603, tercatat penguasa Aceh sudah mengonsumsi tembakau. Pada 1604 kalangan elite Banten pun mulai gemar mengisap tembakau sebagai rokok. Di istana-istana Jawa pun menyediakan tembakau sebagai rokok untuk menjamu orang Eropa.

Saat teknologi cetak mulai masuk, tembakau dengan industri rokoknya pun mulai menguasai pasar iklan di surat kabar. Sedangkan tradisi pinang sirih tidak memiliki iklan sama sekali.

“Kita bisa lihat iklan surat kabar bagaimana priyai-priyai dengan gaya necis yang sedang merokok, bukan lagi nyirih. Ini pengaruhnya tentu sangat besar,” ungkap Rizal.

Baca Juga: Temuan Peti Harta Karun Kapal Rempah VOC yang Berlayar ke Batavia 1740

Tempat sirih dari manik manik dan daun pandan yang berasal dari Kepulauan Sangir Talaud, Sulawesi Utara ini biasanya digunakan pada saat upacara perkawinan. Koleksi Museum Nasional Indonesia. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Bagaimana tradisi pinang sirih saat ini? Truman mengatakan bahwa saat ini, di Indonesia bagian Timur, tradisi pinang sirih masih ba­nyak dilakukan warganya. Di Papua, pinang sirih masih dianggap sebagai simbol pergaulan. Tidak hanya orang tua, anak muda pun menggemarinya. Pada 2019, penelitian James J. Watopa dari Universitas Klabat, terbit berjudul Betel Nut Chewing Behavior among Adolescents in Papua Province, Indonesia. Dia menemukan bahwa remaja dengan rentang usia 17 hingga 29 tahun jauh lebih gemar pinang sirih daripada kelompok usia lainnya.

Truman meyakini, salah satu faktor dominan yang memengaruhi remaja Papua menggemari pinang sirih adalah budaya yang diwariskan sejak era pertukaran tradisi orang-orang Australomelanesid dengan penutur Austronesia.

Sementara itu di Indonesia barat, tradisi ini sudah mulai menghilang, bahkan kalangan orang tua. Kini, kita tidak mudah menjumpai orang-orang yang sedang berkumpul, bercengkerama, dan bersosial sembari mengunyah pinang sirih.

Itu persis seperti kisah Purnimawati, generasi terakhir yang menggemari pinang sirih. Dia adalah ibu saya.

Baca Juga: Saat Pulau Run di Maluku Ditukar dengan Manhattan di Amerika