Jejak Jalur Rempah, Tradisi Pinang Sirih dan Migrasi Manusia

By National Geographic Indonesia, Minggu, 13 Juni 2021 | 15:00 WIB
Pekinangan atau wadah yang terbuat dari kuningan, digunakan sebagai tempat menyimpan bahan-bahan untuk menginang yang berisi tembakau, gambir, kapur, dan pinang ini biasanya disuguhkan untuk para tamu yang datang. Koleksi Museum Nasional Indonesia (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

 

Penelitian ini dilakukan pada 1992. Saat itu Truman bersama Francois Semah, peneliti geologi dengan spesialis stratigrafi dan pertanggalan dari Perancis. Keduanya memimpin eksplorasi tim gabungan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama Museum National d’Histoire NaturÃlle Paris, Perancis.

Kemudian Truman menulis makalah berjudul Kronologi Hunian dan Prasejarah di Gua Braholo dan Song Keplek, Gunung Sewu pada 2001.

Dia menjelaskan bahwa Song Keplek merupakan salah satu situs prasejarah yang menjadi tempat hunian manusia ras Australomelanesid yang hidup pada 8.000-4.500 tahun lalu.

Truman juga menemukan jejak gigi yang sama pada temuan kerangka manusia di Gua Harimau, Sumatra Selatan pada 2008 hingga 2012. Bahkan, temuan jejak menginang di Gua Harimau diakuinya lebih banyak dibandingkan dengan temuan di Song Keplek. Truman me­nga­takan, berdasarkan lapisan stratigrafinya, kerangka manusia di Gua Harimau ini lebih muda dari di Song Keplek, yaitu berusia sekitar 2.000-an tahun.

Baca Juga: Orang Cina dalam Cerita Sebutir Kacang di Jalur Rempah Nusantara

Tas berbahan lontar yang berasal dari timor ini digunakan untuk menyimpan sirih agar mudah dibawa kemana pergi. Koleksi Museum Nasional Indonesia. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

“Teman-teman yang bergerak di bidang paleoantropologi telah mencoba menganalisis jejak warna cokelat kemerahan pada gigi kerangka itu dan mereka cenderung mengatakan bahwa itu adalah jejak sirih,” ungkapnya.

Berdasarkan data-data arkeologi baik dari Indonesia maupun di luar Indonesia, Truman menduga, kebiasaan pinang sirih bisa dikatakan milik penutur Austronesia atau paling tidak terjadi pada masa neolitik. Lalu, dalam perkembang­annya, justru yang memperta­hankan kebiasaan itu bukanlah orang Austronesia melainkan Non-Austronesia—yaitu ras Australomelanesid. “Mereka meminjam budaya nyirih yang dibawa oleh orang-orang Austronesia dan mempertahankannya hingga sekarang,” tutur Truman.

Dalam buku terbarunya berjudul Manusia-manusia dan Peradaban Indonesia, Truman me­nying­gung sedikit tentang tradisi yang dipin­jam ras Australomelanesid dari orang-orang Austronesia; dan sebaliknya, termasuk kebiasaan pinang sirih. Pinjam meminjam tradisi ini terjadi saat orang Austronesia datang ke Nusantara, sekitar 4.000-an tahun silam. Me­reka menemukan populasi asli yaitu orang Australomelanesia. Saat itulah terjadi perjumpaan, pertukaran budaya dan perka­winan campur.