Jejak Jalur Rempah, Tradisi Pinang Sirih dan Migrasi Manusia

By National Geographic Indonesia, Minggu, 13 Juni 2021 | 15:00 WIB
Pekinangan atau wadah yang terbuat dari kuningan, digunakan sebagai tempat menyimpan bahan-bahan untuk menginang yang berisi tembakau, gambir, kapur, dan pinang ini biasanya disuguhkan untuk para tamu yang datang. Koleksi Museum Nasional Indonesia (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

 

Rusyad Adi Suriyanto, peneliti di Bioantropologi dan Paleoantropologi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, bercerita kepada tim National Geographic Indonesia. Sekitar 1980-an, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama dengan tim peneliti dari Australia melakukan ekskavasi di sekitar Ulu Leang atau gua Leang-leang di Maros, Sulawesi Selatan.

Pada penelitian itu, ujar Rusyad, tim peneliti menemukan sekitar 700-an gigi manusia de­­ngan asosiasi umur sekitar 4.000 hingga 2.000 tahun lalu atau pada masa neolitik. Pada masa itulah gelombang kebudayaan Austronesia sedang memasuki Nusantara. Dari temuan geligi, lebih dari 200 gigi memiliki jejak berwarna cokelat kemerahan atau jejak bekas menyirih.

Rusyad dan Toetik Koesbardiati—peneliti di Laboratorium Antropologi Fisik, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga—memberi­kan bukti jejak pewarnaan gigi juga ditemukan di banyak daerah lain seperti di Sumatra, Nias, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Madura, Bali, Flores, Timor, Papua, dan daerah terpencil lainnya. Laporan keduanya terbit di Jurnal Kedokteran Gigi, Juni 2010.

Baca Juga: Mencari Kembali Peradaban laut dan Jalur Budaya Rempah Nusantara

Tempat sirih kuningan yang berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Digunakan untuk peralatan menyirih oleh kelompok masyarakat berstatus sosial tinggi. Koleksi Museum Nasional Indonesia. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Modifikasi pewarnaan ini menggunakan kapur dari kulit moluska atau kerang, pinang, gambir, dan sirih. Percampuran dari sirih pinang dengan air liur menghasilkan warna cokelat kemerahan pada gigi.

“Jadi bisa dibilang bahwa tradisi “nyirih” pada masa lampau sebagai tradisi modifikasi gigi yang terus berlangsung hingga saat ini,” ungkap Rusyad.

Pada 1412, pelaut Cina bernama Ma Huan dipercaya Kerajaan Ming untuk mene­mani Laksamana Cheng Ho berlayar. Dalam masa perjalanannya, Ma Huan banyak mencatat. Pada tahun 1416, catatan tersebut terbit berjudul “Ying-yai Sheng-lan”. Catatan ini menceritakan tentang apapun yang Ma Huan lihat di banyak lokasi persinggahan selama pelayaran.

Ma Huan memberi­kan deskripsi terpe­rinci tentang laki-laki dan perempuan di Jawa yang tidak pernah lepas dari kegiatan mengunyah pinang dengan daun sirih yang ditambahkan sedikit limau.