Oleh Dani Kosasih
Kebiasaan menginang atau menyirih telah menjadi bagian dari budaya Nusantara. Inilah tradisi yang mengiringi arah perjalanan umat manusia dari daratan Asia Tenggara hingga kepulauannya. Bagaimanakah riwayatnya?
Nationalgeographic.co.id—Sore itu, langit Bekasi tampak gelap. Hujan turun tidak terlalu deras, tetapi cukup membuat suhu di dapur ini terasa dingin. Purnimawati, ibu beranak empat, terlihat lihai melipat daun sirih berwarna hijau.
Purni, Panggilan akrabnya. Dia menunjukkan bagaimana cara meracik pinang sirih. Di dalam lipatan daun sirih, dia memasukkan potongan kecil gambir, pinang, dan secuil kapur. Lalu, ia memasukkan ke mulut, mengunyahnya laksana permen karet. Beberapa saat berselang, warna cokelat kemerahan menghiasi gigi dan bibirnya.
Kebiasaan itu telah dilakukannya sejak bersekolah dasar di Tanjungbalai sekitar awal 1970-an. “Dahulu, saya sering sekali melihat ibu dan teman-temannya nyirih. Jadi penasaran mau coba juga,” kenang Purni. “Memang rasanya getir dan pahit tapi membuat ketagihan.”
Padahal, saat itu hanyalah para orang tua yang berkebiasaan pinang sirih. Pada saat itu pun sudah tidak banyak orang yang gemar pinang sirih. Pun, bukan tradisi pergaulan di kampungnya.
Tradisi mengunyah pinang sirih hanya dilakukan oleh orang tua saat ritual tertentu seperti pengajian, pernikahan, bahkan pengobatan spiritual.
Di kampungnya, penyebutan untuk kegiatan pinang sirih bisa menjadi identitas etnis. Biasanya kata “nyirih” hanya diucapkan oleh orang-orang dari etnis Melayu. Sedangkan untuk orang-orang dari etnis Batak Toba menyebutnya dengan kata “nginang”.
Darimana tradisi pinang sirih bermula? Sejak kapan manusia gemar mengunyahnya? Sampai saat ini, asal mula tradisi ini masih belum diketahui secara pasti. Namun, banyak sumber yang bisa digunakan sebagai referensi untuk mempelajari tradisi ini. Buku Betel Chewing Traditions in South-East Asia karya Dawn F. Rooney, beberapa kebiasaan berpinang sirih telah ditemukan di Asia Tenggara sejak lebih dari 2.000 tahun silam, dan bertahan hingga abad ke-20.
Baca Juga: Selidik Jalur Rempah, Seteguk Riwayat Minuman Beralkohol Nusantara
Sejauh ini bukti arkeologi paling awal terdapat di Gua Roh di barat laut Thailand. Di sana ditemukan sisa-sisa pinang atau Areca catechu yang diyakini berasal dari 10.000 SM. Namun, Profesor Riset Harry Truman Simanjuntak, seorang arkeolog yang telah purnakarya dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional meragukan temuan tersebut. Menurutnya, tidak ada bukti kuat untuk menyimpulkan apakah sisa-sisa pinang tersebut benar-benar digunakan untuk tradisi pinang sirih pada masa itu.
Selain di Thailand, temuan gigi pada kerangka yang menunjukkan bukti kunyahan sirih, dengan usia sekitar 3.000 tahun juga sempat ditemukan di Gua Duyong di Filipina. Indonesia pun tidak ketinggalan, Truman bercerita bahwa dirinya sempat menemukan jejak-jejak yang diduga sebagai bukti adanya kebiasaan menginang di beberapa situs.
Temuan yang paling tua sejauh ini, ungkapnya, adalah kerangka manusia di Song Keplek dengan jejak menginang pada gigi yang berwarna cokelat kemerahan. Menurut hasil penanggalan, kemungkinan kerangka tersebut berusia sekitar 3.000-an tahun.
Penelitian ini dilakukan pada 1992. Saat itu Truman bersama Francois Semah, peneliti geologi dengan spesialis stratigrafi dan pertanggalan dari Perancis. Keduanya memimpin eksplorasi tim gabungan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama Museum National d’Histoire NaturÃlle Paris, Perancis.
Kemudian Truman menulis makalah berjudul Kronologi Hunian dan Prasejarah di Gua Braholo dan Song Keplek, Gunung Sewu pada 2001.
Dia menjelaskan bahwa Song Keplek merupakan salah satu situs prasejarah yang menjadi tempat hunian manusia ras Australomelanesid yang hidup pada 8.000-4.500 tahun lalu.
Truman juga menemukan jejak gigi yang sama pada temuan kerangka manusia di Gua Harimau, Sumatra Selatan pada 2008 hingga 2012. Bahkan, temuan jejak menginang di Gua Harimau diakuinya lebih banyak dibandingkan dengan temuan di Song Keplek. Truman mengatakan, berdasarkan lapisan stratigrafinya, kerangka manusia di Gua Harimau ini lebih muda dari di Song Keplek, yaitu berusia sekitar 2.000-an tahun.
Baca Juga: Orang Cina dalam Cerita Sebutir Kacang di Jalur Rempah Nusantara
“Teman-teman yang bergerak di bidang paleoantropologi telah mencoba menganalisis jejak warna cokelat kemerahan pada gigi kerangka itu dan mereka cenderung mengatakan bahwa itu adalah jejak sirih,” ungkapnya.
Berdasarkan data-data arkeologi baik dari Indonesia maupun di luar Indonesia, Truman menduga, kebiasaan pinang sirih bisa dikatakan milik penutur Austronesia atau paling tidak terjadi pada masa neolitik. Lalu, dalam perkembangannya, justru yang mempertahankan kebiasaan itu bukanlah orang Austronesia melainkan Non-Austronesia—yaitu ras Australomelanesid. “Mereka meminjam budaya nyirih yang dibawa oleh orang-orang Austronesia dan mempertahankannya hingga sekarang,” tutur Truman.
Dalam buku terbarunya berjudul Manusia-manusia dan Peradaban Indonesia, Truman menyinggung sedikit tentang tradisi yang dipinjam ras Australomelanesid dari orang-orang Austronesia; dan sebaliknya, termasuk kebiasaan pinang sirih. Pinjam meminjam tradisi ini terjadi saat orang Austronesia datang ke Nusantara, sekitar 4.000-an tahun silam. Mereka menemukan populasi asli yaitu orang Australomelanesia. Saat itulah terjadi perjumpaan, pertukaran budaya dan perkawinan campur.
Rusyad Adi Suriyanto, peneliti di Bioantropologi dan Paleoantropologi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, bercerita kepada tim National Geographic Indonesia. Sekitar 1980-an, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama dengan tim peneliti dari Australia melakukan ekskavasi di sekitar Ulu Leang atau gua Leang-leang di Maros, Sulawesi Selatan.
Pada penelitian itu, ujar Rusyad, tim peneliti menemukan sekitar 700-an gigi manusia dengan asosiasi umur sekitar 4.000 hingga 2.000 tahun lalu atau pada masa neolitik. Pada masa itulah gelombang kebudayaan Austronesia sedang memasuki Nusantara. Dari temuan geligi, lebih dari 200 gigi memiliki jejak berwarna cokelat kemerahan atau jejak bekas menyirih.
Rusyad dan Toetik Koesbardiati—peneliti di Laboratorium Antropologi Fisik, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga—memberikan bukti jejak pewarnaan gigi juga ditemukan di banyak daerah lain seperti di Sumatra, Nias, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Madura, Bali, Flores, Timor, Papua, dan daerah terpencil lainnya. Laporan keduanya terbit di Jurnal Kedokteran Gigi, Juni 2010.
Baca Juga: Mencari Kembali Peradaban laut dan Jalur Budaya Rempah Nusantara
Modifikasi pewarnaan ini menggunakan kapur dari kulit moluska atau kerang, pinang, gambir, dan sirih. Percampuran dari sirih pinang dengan air liur menghasilkan warna cokelat kemerahan pada gigi.
“Jadi bisa dibilang bahwa tradisi “nyirih” pada masa lampau sebagai tradisi modifikasi gigi yang terus berlangsung hingga saat ini,” ungkap Rusyad.
Pada 1412, pelaut Cina bernama Ma Huan dipercaya Kerajaan Ming untuk menemani Laksamana Cheng Ho berlayar. Dalam masa perjalanannya, Ma Huan banyak mencatat. Pada tahun 1416, catatan tersebut terbit berjudul “Ying-yai Sheng-lan”. Catatan ini menceritakan tentang apapun yang Ma Huan lihat di banyak lokasi persinggahan selama pelayaran.
Ma Huan memberikan deskripsi terperinci tentang laki-laki dan perempuan di Jawa yang tidak pernah lepas dari kegiatan mengunyah pinang dengan daun sirih yang ditambahkan sedikit limau.
Anthony Reid dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah Angin, menceritakan bahwa tradisi pinang sirih merupakan tradisi pergaulan sehari-hari bagi masyarakat Asia Tenggara. Tradisi ini merupakan lambang sopan santun dan keramah-tamahan, sehingga arwah leluhur pun tidak luput dari pemberian sajian ini.
Buku “Feeding the Dead: Reformulating Sasak Mortuary Practices” yang ditulis oleh Kari G. Telle, mengungkapkan bahwa pemberian sirih kepada leluhur yang telah mati merupakan sebuah penghormatan dan wujud rasa sayang.
Tradisi pinang sirih memiliki posisi sangat sakral. Mengunyah pinang sirih atau menyajikannya telah menjadi bagian di upacara kematian, kelahiran, dan penyembuhan. Utamanya, pada upacara pertunangan dan perkawinan.
Reid menjelaskan mengapa mengunyah pinang sirih menjadi kebiasaan di Jawa dan Nusantara pada saat itu. Dalam bukunya, Reid mengatakan bahwa sirih memiliki kandungan narkotik lunak yang memerlukan campuran tiga bahan pokok untuk mengaktifkannya: buah pinang, daun sirih, dan kapur.
Baca Juga: Misi Jalur Rempah, KRI Dewaruci Akan Kunjungi 13 Titik di Nusantara
Kapur—diperoleh dari kerang yang dihancurkan—akan bereaksi secara kimiawi saat bertemu dengan buah pinang. Hasilnya, zat alkaloid yang menenangkan otak dan sistem saraf sentral.
Tradisi pinang sirih bisa dikatakan sebagai kebiasaan yang muncul dan mampu bertahan karena menimbulkan efek ketagihan. Hingga akhirnya orang-orang Eropa datang membawa tembakau ke Asia Tenggara.
Tanaman tembakau diperkirakan dibawa dari Meksiko ke Filipina pada 1570-an. Lalu, mulai menyebar ke tanah Jawa pada 1601. Reid percaya bahwa teks Babad ing Sangkala, yang ditulis pada 1738, sudah menunjukkan praktik merokok di Keraton Mataram sejak awal abad ke-17.
Perlahan, tembakau berangsur-angsur mengambil alih peran daun sirih dan pinang sebagai alat pergaulan, alat penenang, dan bahan obat.
Pemakaian tembakau secara populer kala itu ialah mengisap cerutu yang dikenal orang Melayu dengan istilah “bungkus” pada abad ke-17. “Bungkus” itu merujuk pada cara membuatnya, yakni rajangan tembakau bersaus yang dibungkus daun jagung atau nipah. Istilah ini sudah merebak di Jawa pada 1658. Cara mengisap tembakau dengan cerutu pun mulai populer di kalangan pria dan wanita, bahkan anak-anak. Tembakau kian populer pada akhir abad ke-18 ketika menjadi salah satu bahan pelengkap pinang sirih.
Selanjutnya, Anthony Reid mengisahkan tentang perjalanan pinang sirih dalam “From Betel-Chewing to Tobacco-Smoking in Indonesia” yang dipublikasikan oleh The Journal of Asian Studies. Reid memaparkan bahwa setelah tembakau berhasil menjadi bahan campuran untuk pinang sirih, penggunaan tembakau pun akhirnya secara perlahan benar-benar berubah fungsi menjadi rokok.
Pada akhir abad ke-19, merokok telah dikaitkan dengan transformasi ke sikap modern, yang dengan cepat menggantikan tradisi atau kebiasaan pinang sirih. Apalagi, tembakau memiliki efek relaksasi dan obat penenang mirip sirih. Kenikmatan menyirih mudah tergantikan.
Baca Juga: Nasib Kapal-Kapal Kuno yang Tenggelam di Jalur Rempah Nusantara
Menurut sejarawan JJ Rizal, yang membuat pengaruh tembakau dan kegiatan merokok bisa menyebar dan memengaruhi masyarakat begitu masif adalah kampanye besar-besaran dari industri rokok serta liberalisasi hingga meluasnya perkebunan tembakau pada masa itu.
Apalagi, kegiatan merokok saat pertama kali diperkenalkan langsung menyasar para elite kerajaan. Tahun 1603, tercatat penguasa Aceh sudah mengonsumsi tembakau. Pada 1604 kalangan elite Banten pun mulai gemar mengisap tembakau sebagai rokok. Di istana-istana Jawa pun menyediakan tembakau sebagai rokok untuk menjamu orang Eropa.
Saat teknologi cetak mulai masuk, tembakau dengan industri rokoknya pun mulai menguasai pasar iklan di surat kabar. Sedangkan tradisi pinang sirih tidak memiliki iklan sama sekali.
“Kita bisa lihat iklan surat kabar bagaimana priyai-priyai dengan gaya necis yang sedang merokok, bukan lagi nyirih. Ini pengaruhnya tentu sangat besar,” ungkap Rizal.
Baca Juga: Temuan Peti Harta Karun Kapal Rempah VOC yang Berlayar ke Batavia 1740
Bagaimana tradisi pinang sirih saat ini? Truman mengatakan bahwa saat ini, di Indonesia bagian Timur, tradisi pinang sirih masih banyak dilakukan warganya. Di Papua, pinang sirih masih dianggap sebagai simbol pergaulan. Tidak hanya orang tua, anak muda pun menggemarinya. Pada 2019, penelitian James J. Watopa dari Universitas Klabat, terbit berjudul Betel Nut Chewing Behavior among Adolescents in Papua Province, Indonesia. Dia menemukan bahwa remaja dengan rentang usia 17 hingga 29 tahun jauh lebih gemar pinang sirih daripada kelompok usia lainnya.
Truman meyakini, salah satu faktor dominan yang memengaruhi remaja Papua menggemari pinang sirih adalah budaya yang diwariskan sejak era pertukaran tradisi orang-orang Australomelanesid dengan penutur Austronesia.
Sementara itu di Indonesia barat, tradisi ini sudah mulai menghilang, bahkan kalangan orang tua. Kini, kita tidak mudah menjumpai orang-orang yang sedang berkumpul, bercengkerama, dan bersosial sembari mengunyah pinang sirih.
Itu persis seperti kisah Purnimawati, generasi terakhir yang menggemari pinang sirih. Dia adalah ibu saya.
Baca Juga: Saat Pulau Run di Maluku Ditukar dengan Manhattan di Amerika