Kilang minyak itu kemudian dikelola oleh perusahaan Nihon Sekiyu (kini Nippon Oil). Namun penggunaan teknis di ladang minyak ini tidak berlangsung optimal.
Jepang yang mengalami masalah ekonomi, harus mempekerja secara paksa masyarakat lokal yang sebenarnya tidak mampu memlihara mesin-mesin modern.
Pekerjaan yang kurang profesional itu menyebabkan produksi yang menurun drastis. Meski demikian, kilang minyak di sekitar Palembang ini berguna untuk memasok setengah kebutuhan mereka, dan tiga perempat dari sumber bahan bakar pesawat tempurnya.
Kondisi berubah pada Agustus 1944 hingga awal 1945. Saat itu Sekutu memborbadir Palembang. Bahkan angkatan udara Inggris dengan tepat menghajar kilang kembar milik Jepang yang sangat vital.
Baca Juga: Asal Usul Nama Pempek, Olahan Ikan yang Awalnya Bernama Kelesan
Tak tanggung-tanggung, Sekutu juga menghantam kapal tanker minyak Jepang dalam Serangan Palembang. Akibatnya, mesin perang Jepang banyak yang tak bisa beroperasi.
Kendati demikian, upaya Belanda untuk menguasai kilang minyak ini bukanlah hal yang mudah di akhir Perang Dunia II. Tanah koloni yang sempat dirampas 3,5 tahun itu mulai muncul gerakan nasionalis Indonesia yang kuat.
Melihat perjuangan kemerdekaan itu, Sir Philip Christison bersama kelompok Sekutu menyarankan agar kilang Plaju dan Sungai Gerung tetap berada di pengawasan Jepang pada September 1945.