Nationalgeographic.co.id - Saat ini ada 10 negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia, yang mayoritas berada di kawasan Timur Tengah. Meskipun demikian, di masa lampau, Indonesia yang saat itu masih disebut Hindia Belanda adalah salah satunya.
Saking berharganya, pemerintah kolonial harus mati-matian menjaga industri yang membantu perekonomian negara dari pihak lain, termasuk Jepang pada Perang Dunia II.
Terdapat satu kilang minyak yang terbesar di Hindia Belanda—bahkan menjadi paling produktif dan modern di Asia Tenggara pada masanya. Kilang tersebut berlokasi di Plaju, Sumatra Selatan, dan dimiliki perusahaan Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) atau kini dikenal sebagai Royal Dutch Shell.
Ben de Vries dari Cultural Heritage Agency of the Netherlands, menulis makalahnya yang berjudul The Battle for Oil in the Dutch East Indies: Pladjoe, the Pearl in the Crown of the Bataafsche Pteroleum Maatschappij (Shell), in the Trumoil of the 1940s.
"Ladang minyak dapat dengan mudah berubah menjadi medan perang," tulisnya. "Ini terjadi lebih dari sekali di koloni Hindia Belanda (Indonesia) pada tahun 1940-an." Ketika itu pasukan Jepang, Belanda, Sekutu, dan Indonesia bertempur sengit untuk menguasai fasilitas minyak. "Alasannya, karena pada masa itu Hindia Belanda merupakan salah satu pengekspor minyak terbesar dunia," ungkap de Vries.
Dia menulis, Belanda dituntut Jepang untuk mendapat bagian yang lebih besar dari ekspor minyak di Hindia Timur. Pada saat ini, Jepang sendiri membutuhkan pasokan minyak penyimpannanya untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya.
Minyak Sumatra amat penting bagi Jepang. Bahkan 38 persen impor minyak yang dilakukan Jepang berasal dari Hindia Timur. Maka, serdadu mulai dikirimkan sekitar Mei 1940, dan diperintahkan untuk menguasai pusat-pusat minyak terpenting seperti Plaju.
Khawatir akan jatuhnya kilang minyak ke tangan musuh, pemerintah Belanda memerintahkan serdadunya untuk menghancurkan fasilitasnya sebelum pasukan Jepang masuk.
Otoritas Batavia mengancam dan berbohong bahwa saat ini mereka memiliki 500.000 ton minyak di penyimpanan Palembang. Apabila Jepang tetap bersikeras beroperasi, Belanda tak segan-segan melepaskan 10.000 ton minyak per harinya ke Sungai Musi untuk membakar rombongan Jepang di Sungai.
Baca Juga: Koninklijke Olie, Perusahaan Minyak Kerajaan Belanda Kelahiran Langkat
Baca Juga: Nagari Sijunjung: Emas Hitam Tuan De Greve sampai Jejak Jepang
"Sementara itu, setelah jatuhnya Prancis, Jepang menduduki pangkalan udara dan Angkatan Laut di Indocina Prancis," tulis de Vries. "Segera, Presiden Amerika Roosevelt mengumumkan pada Agustus 1941 embargo ekspor minyak, termasuk pembekuan semua transfer bank."
Perekonomian Jepang pun tergencet. Diperparah, Inggris Raya dan pemerintah Belanda yang berada di pengasingan London, segera melakukan hal serupa.
Tindakan selanjutnya, pemerintah koloni di Batavia menyatakan perang pada 8 Desember 1941--sehari setelah Pearl Harbor dibabat Jepang.
11 Januari 1942 tanpa menghiraukan pernyataan perang, angkatan laut Jepang mulai menaklukan tempat kilang minyak Hindia Belanda. Dimulai dari Tarakan, dan dilanjutkan hingga Balikpapan.
Baca Juga: Sejarah Perusahaan Global dalam Eksplorasi Minyak di Hindia Belanda
Sedangkan pada 14 Februari, armadanya yang berhasil mengalahkan Inggris di Singapura, Jepang melanjutkannya pelayaran menuju Sumatra Selatan. Target operasi mereka adalah kilang minyak di Plaju dan Sungai Gerong, dan merebut kawasan Talang Betutu di dekat Palembang.
Pemerintah Hindia Belanda tidak diam, melainkan mengirim 2.000 tentara ke Palembang untuk mempertahankan. Mereka juga dibantu oleh pasukan Australia dan Inggris. KNIL yang dipimpin Letkol L.N.W Vogelgesang mempersiapkan untuk melakukan penghancuran kilang.
Barulah keesokan harinya, pemerintah di Batavia secara tiba-tiba menginstruksi untuk menghancurkan kilang.
Akibatnya, Vogelgesang bersama pasukannya terburu-buru meledakan, tetapi tangki besar bersama produk minyak tidak rusak sama sekali. Sedangkan kilangnya hanya mengalami sedikit kerusakan.
Baca Juga: Palembang Pernah Memiliki Dua Benteng Kembar. Di Manakah Itu?
Terburu-burunya serdadu kolonial Belanda membuat Plaju dan Sungai Gerong segera jatuh di tangan Jepang. Mereka dengan segera menyelamatkan kilang dan memadamkan api di ketel, hingga melucuti sebagian besar pembongkaran yang ditelantarkan Belanda.
"Kilang Sungai Gerong, sebaliknya, berhasil dipertahankan oleh pasuikan Belanda. Setelah perintah Vogelesang, unit militer dengan sengaja menghancurkan 80 persen kilang, termasuk tangki minyak, dan meliputi pembongkaran yang tertunda," terang de Vries.
"Meski demikian, kerusakan yang terjadi pada kilang dan bagian-bagian mesin dengan mudah diperbaiki sekelompok awak pengeboran, dan insinyur minyak Jepang, melanjutkan produksi setelah enam bulan tersendat."
Baca Juga: Berhasil Lepas dari Jugun Ianfu Karena Menyamar Sebagai Lelaki
Kilang minyak itu kemudian dikelola oleh perusahaan Nihon Sekiyu (kini Nippon Oil). Namun penggunaan teknis di ladang minyak ini tidak berlangsung optimal.
Jepang yang mengalami masalah ekonomi, harus mempekerja secara paksa masyarakat lokal yang sebenarnya tidak mampu memlihara mesin-mesin modern.
Pekerjaan yang kurang profesional itu menyebabkan produksi yang menurun drastis. Meski demikian, kilang minyak di sekitar Palembang ini berguna untuk memasok setengah kebutuhan mereka, dan tiga perempat dari sumber bahan bakar pesawat tempurnya.
Kondisi berubah pada Agustus 1944 hingga awal 1945. Saat itu Sekutu memborbadir Palembang. Bahkan angkatan udara Inggris dengan tepat menghajar kilang kembar milik Jepang yang sangat vital.
Baca Juga: Asal Usul Nama Pempek, Olahan Ikan yang Awalnya Bernama Kelesan
Tak tanggung-tanggung, Sekutu juga menghantam kapal tanker minyak Jepang dalam Serangan Palembang. Akibatnya, mesin perang Jepang banyak yang tak bisa beroperasi.
Kendati demikian, upaya Belanda untuk menguasai kilang minyak ini bukanlah hal yang mudah di akhir Perang Dunia II. Tanah koloni yang sempat dirampas 3,5 tahun itu mulai muncul gerakan nasionalis Indonesia yang kuat.
Melihat perjuangan kemerdekaan itu, Sir Philip Christison bersama kelompok Sekutu menyarankan agar kilang Plaju dan Sungai Gerung tetap berada di pengawasan Jepang pada September 1945.
Nasionalisme masyarakat Indonesia berbuah pada proklamasi kemerdekaan sebulan berikutnya. Dengan cepat, pasukan Indonesia mulai mengambil alih semua ladang minyak di Sumatra Selatan dari tangan Jepang.
Pejuang kemerdekaan sendiri dengan cepat mendirikan serikat buruh minyak dengan semi militer, seperti Persatoean Pegawai Minyak (PPM). Jalan yang buntu bagi Belanda untuk mendapatkan kembali kekuasaan dengan bantuan Sekutu. Tak ada cara lain bagi mereka selain lewat Agresi Militer I dan II.
Tetapi, de Vries menjelaskan, bahwa diam-diam BPM tidak mendukung aksi militer Belanda ke Sumatra, lantaran takut merusak dan menyabotase instalasi minyaknya.
Baca Juga: Peristirahatan Terakhir Bagi Sang Kapitan Cina Terakhir di Palembang
Baca Juga: Jejak Kuburan Massal Korban Pembantaian Perang Dunia II di Singapura
"Sebaliknya, BPM membayar 5.000 dolar kepada pasukan kemerdekaan di ladang minyak, dan instalasi di dekat Jambi untuk mencegah kehancuran," tulisnya.
Meski demikian, pada dasarnya BPM bersama politisi Belanda ingin pusat kilang minyak ini kembali di tangannya.
Ambisi perebutan kilang minyak ini juga dilatarbelakangi oleh bisnis. Sebab, perusahaan Amerika Cowie & Co INC sangat ingin membeli konsesi lokal dari Indonesia seharga satu juta dolar, apabila situasi telah kondusif.
Maka, militer Belanda berkomitmen untuk meminimalisir kerusakan, dan memilai pekerjaan perbaikan.
Baca Juga: Nyaris Terlupakan, Balikpapan Menandai Pertempuran Akbar Penutup PD II