Berebut Ladang Minyak, Lelakon Perang Dunia Kedua di Kilang Palembang

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 11 Juli 2021 | 10:00 WIB
Sekelompok pasukan Inggris, Australia, India dan Cina ditangkap oleh pasukan Jepang selama jatuhnya Singapura, 15 Februari 1942. (Paul Popper)

Nasionalisme masyarakat Indonesia berbuah pada proklamasi kemerdekaan sebulan berikutnya. Dengan cepat, pasukan Indonesia mulai mengambil alih semua ladang minyak di Sumatra Selatan dari tangan Jepang.

Pejuang kemerdekaan sendiri dengan cepat mendirikan serikat buruh minyak dengan semi militer, seperti Persatoean Pegawai Minyak (PPM). Jalan yang buntu bagi Belanda untuk mendapatkan kembali kekuasaan dengan bantuan Sekutu. Tak ada cara lain bagi mereka selain lewat Agresi Militer I dan II.

Tetapi, de Vries menjelaskan, bahwa diam-diam BPM tidak mendukung aksi militer Belanda ke Sumatra, lantaran takut merusak dan menyabotase instalasi minyaknya.

Baca Juga: Peristirahatan Terakhir Bagi Sang Kapitan Cina Terakhir di Palembang

Kapal tanker memuat dari tangki penyimpanan kilang Bataafsche Petroleum Maatschappij di Pladjoe, Palembang. (KITLV)

Perumahan Bataafsche Petroleum Maatschappij di Pladjoe dekat Palembang, sekitar 1931. (KITLV)

Baca Juga: Jejak Kuburan Massal Korban Pembantaian Perang Dunia II di Singapura

"Sebaliknya, BPM membayar 5.000 dolar kepada pasukan kemerdekaan di ladang minyak, dan instalasi di dekat Jambi untuk mencegah kehancuran," tulisnya.

Meski demikian, pada dasarnya BPM bersama politisi Belanda ingin pusat kilang minyak ini kembali di tangannya.

Ambisi perebutan kilang minyak ini juga dilatarbelakangi oleh bisnis. Sebab, perusahaan Amerika Cowie & Co INC sangat ingin membeli konsesi lokal dari Indonesia seharga satu juta dolar, apabila situasi telah kondusif.

Maka, militer Belanda berkomitmen untuk meminimalisir kerusakan, dan memilai pekerjaan perbaikan.

Baca Juga: Nyaris Terlupakan, Balikpapan Menandai Pertempuran Akbar Penutup PD II