Saat Penentuan Kalimantan

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 17:25 WIB

Namun, adalah satwa yang lebih berkarisma—orangutan—yang menjadi simbol Kalimantan. Matanya yang ekspresif menatap dari lembaran laporan berkala dan permohonan dana kelompok konservasi di seluruh dunia. Mengingat keanekaragaman hayati pulau itu yang tiada bandingannya—dari orangutan dan badak hingga lumut daun dan kumbang kecil yang belum ditemukan—serta laju penyusutan hutan, masa depan Kalimantan mungkin menjadi masalah pelestarian paling kritis di planet kita.!break!

Dari sudut pandang satelit, ancaman penggundulan hutan Kalimantan mungkin tampak berlebihan. Pulau ini setengahnya masih diliputi hutan dan di dataran tinggi pedalamannya terbentang ratusan kilometer persegi hutan perawan yang hampir tak pernah didatangi siapa pun selain pemburu pribumi, pemburu liar, dan pencari gaharu. Untuk mencapai beberapa kawasan tertentu, perlu menumpang perahu selama beberapa hari atau terseok-seok menembus belantara yang tak memiliki jalan setapak.

Namun ceritanya sungguh berbeda dan semakin memilukan untuk hutan dataran rendah yang merupakan habitat utama sebagian besar kekayaan keanekaragaman hayati Kalimantan, termasuk orangutan dan gajah. Dalam dua dasawarsa terakhir, diperkirakan 8.000 kilometer persegi hutan dataran rendah dibuka setiap tahun, sebuah kawasan yang nyaris satu setengah kali Pulau Bali. Sebuah makalah dalam majalah Science pada 2001—dengan judul yang mengancam “Akhir Hutan Dataran Rendah Indonesia?”—memperingatkan “konsekuensi buruk” akibat “kondisi anarki sumber daya saat ini” dan mengutip kajian yang memperkirakan bahwa hutan dataran rendah di Kalimantan Indonesia akan hancur total pada 2010. Walau tindakan tegas pemerintah telah mengurangi pembalakan liar dan ekspor ilegal, hasilnya hanya menunda ramalan kiamat.

Faktor-faktor lain dapat ikut mempercepat tingkat deforestasi. Dalam 20 tahun terakhir, perkebunan homogen kelapa sawit yang luas tersebar di seluruh Kalimantan untuk memenuhi permintaan minyak serba guna (dan sangat menguntungkan) tersebut yang dihasilkan dari buahnya. Minyak sawit digunakan untuk memasak dan menjadi kandungan kosmetik, sabun, penganan ringan, serta produk lain yang daftarnya seperti tak ada habis-habisnya, termasuk bahan bakar hayati. Indonesia dan Malaysia menyumbang 86 persen pasokan dunia minyak sawit; sementara kondisi pertumbuhan emas hijau itu sempurna di Kalimantan. Bahkan saat pelestari lingkungan menyebarkan berita tentang kontribusi kelapa sawit terhadap deforestasi global—beberapa mengimbau pemboikotan produk minyak sawit—Indonesia malah menjadi negara produsen terbesar di dunia, dengan 60.000 kilometer persegi yang dibudidayakan, angka yang dapat berlipat dua sebelum 2020.

Seakan monokultur kelapa sawit saja tidak cukup, Kalimantan juga memiliki sumber daya lain yang memberi berkah ekonomi sekaligus bahaya lingkungan, yaitu sisa-sisa tumbuhan berusia 300 juta tahun yang dulu tumbuh di tempat yang kini ada di perut Kalimantan, berubah menjadi batubara. Tambang permukaan—untuk mencari emas dan juga batubara—tersebar di seluruh Kalimantan timur dan selatan seperti bopeng, menggantikan hutan dan mencemari sungai dengan limbahnya.!break!

Dalam dunia yang baru menyadari bahaya perubahan iklim, Kalimantan menarik perhatian dunia karena alasan yang lain, yaitu ekosistem khas yang disebut hutan rawa gambut yang meliputi sekitar 11 persen pulau tersebut. Dalam ekosistem ini, pepohonan tumbuh di atas tanah organik yang terbentuk akibat berabad-abad akumulasi bahan tumbuhan yang jenuh air. Tanah gambut yang terkadang mencapai kedalaman 20 meter ini merupakan persediaan raksasa karbon dunia. Jika pepohonannya ditebang dan lahannya dikeringkan, gambut tropis akan melapuk dan melepaskan karbonnya ke atmosfer, dan saat kering gambut sangat mudah terbakar, baik disengaja ataupun tidak. Pembakaran tahunan besar-besaran yang sengaja dilakukan untuk membuka lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit baru—dan diperparah oleh seringnya musim kemarau—menjadi tak terkendali dan memenuhi langit Kalimantan dengan asap, menutup bandara, serta menyebabkan gangguan pernapasan bagi jutaan orang hingga sampai ke Asia daratan. Karbon yang dilepaskan oleh tanah gambut yang membusuk, api, dan deforestasi telah mendorong Indonesia menjadi negara sumber gas rumah kaca ketiga terbesar, hanya kalah oleh negara industri China dan Amerika Serikat.

Waktu sudah hampir habis bagi hutan hujan Kalimantan. Model konvensional tak memberi banyak harapan. Menyisihkan sejumlah kawasan luas sebagai taman nasional atau cagar alam, yang menjadi praktik umum di AS dan negara-negara lain, kebanyakan tidak efektif, setidaknya di Kalimantan bagian Indonesia karena digerogoti oleh kekurangan dana, kurangnya dukungan penduduk lokal, serta korupsi di pemerintahan. Namun, banyak pelestari lingkungan mengatakan bahwa pembalakan, yang sering dicap sebagai kutukan bagi alam liar, sebenarnya dapat, jika dilaksanakan secara berkelanjutan, membantu melindungi sebagian besar keanekaragaman hayati pulau tersebut.

“Hutan hujan perawan adalah konsep yang sudah mati di Kalimantan,” ujar Glen Reynolds, ilmuwan kepala di Pusat Kajian Lapangan Lembah Danum di Sabah. “Semua belantara hutan dataran rendah yang bisa dikonservasi telah dikonservasi. Memang sulit, tetapi yang harus dilakukan sekarang adalah meyakinkan masyarakat bahwa yang dianggap sebagai hutan terdegradasi ini dapat melestarikan keanekaragaman hayati."

Pesannya kompleks, tetapi sangat jelas. Untuk melindungi hutan dan margasatwa Kalimantan, kita perlu merenungkan ulang gagasan lama, menerima kebenaran baru, dan menggunakan model pelestarian yang baru. Dan pada akhirnya, nasib Kalimantan mungkin ditentukan di tempat yang jauh dari hutan, di kantor pemerintahan dan ruang rapat direktur dari New York hingga Jenewa. Karena banyaknya jumlah karbon yang terikat oleh tanah dan tanaman, harapan terbaik yang terakhir bagi masa depan Kalimantan mungkin tidak terletak pada imbauan emosional melalui tampang orangutan, tetapi pada fakta nyata perubahan iklim—dan tekad serta kemampuan kita sendiri untuk melindungi diri dari bencana.!break!

Di seberang Sabah, di provinsi Kalimantan Barat yang masuk Indonesia, jalan aspal sempit memanjang dari Pontianak, sebuah kota di dekat Laut China Selatan. Jalan yang dipadati truk dan sepeda motor yang bising itu melewati toko dan rumah kayu di desa-desa kecil yang dipisahkan oleh sawah. Panen baru mulai dan di mana-mana terlihat orang mengempaskan padi ke bidai kayu atau menampi beras untuk membuang sekam. Hampir tak ada jejak hutan yang dulu tumbuh di sini.

Saya ditemani Dessy Ratnasari, seorang ilmuwan dari organisasi riset setempat, pemilik wajah penuh semangat yang berkerudung biru muda. Sopir kami, Harun—yang seperti banyak orang Indonesia, namanya hanya satu kata—mengatakan sesuatu ketika kami melewati bangunan besar yang ditumbuhi rumput liar.

“Ini penggergajian tempat dia dulu bekerja,” terjemah Ratnasari. “Kilang ini bangkrut karena tak ada lagi pohon untuk bahan kayu. Pabrik ini memiliki 1.300 pekerja dan membayar gaji 800 juta rupiah sebulan”. Beberapa kilometer kemudian kembali kami melewati dua tempat penggergajian, gerbangnya terkunci, jendelanya pecah, tempat parkirnya kosong melompong.