Saat Penentuan Kalimantan

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 17:25 WIB

“Tak ada yang lebih penting dari rasa lapar,” ujar Albertus dari Green Borneo, kelompok yang berbasis di Pontianak. “Lembaga donor perlu mengubah cara berpikir mereka tentang hal ini. Kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik, kondisi ekonomi yang lebih baik—itu yang akan membantu melindungi hutan.”

Bahkan saat memperlihatkan ekosistem dan ekonomi Kalimantan Barat yang hancur akibat pembalakan tak berkelanjutan, Dessy Ratnasari memastikan bahwa saya memahami manfaat yang dibawanya. “Banyak orang di Kalimantan Barat dibesarkan dengan uang dari perusahaan kayu,” ujarnya. “Saya menikmati imbasnya karena ayah saya memiliki kios pakaian dan uang yang dibelanjakan orang di kios itu berasal dari kayu. Itulah mengapa saya dapat bersekolah dan mengenyam pendidikan.”

Salah satu dari sedikit frasa bahasa Indonesia yang saya pelajari adalah hati-hati, sebagaimana tertera pada papan petunjuk di sepanjang jalan tanah yang tidak rata ini, yang berbunyi “Hati-Hati Logging". Pagi itu cuaca panas di Kalimantan Timur dan saya naik truk bersama Erik Meijaard, seorang ilmuwan pelestarian lingkungan warga Belanda di The Nature Conservancy yang telah bekerja di Kalimantan selama 15 tahun, serta rekan kerjanya Nardiyono. Kami melintasi berkilo-kilometer semak belukar, tetapi bentang alam belum memperlihatkan tanda akan segera berubah. Kawasan yang dulu merupakan hutan hujan daratan rendah ini dibabat habis dan tak pernah dihutankan kembali. Saat kebakaran tahun 1997-98, kawasan ini termasuk dalam 2,6 juta hektare hutan yang terbakar di Kalimantan Timur. Sekarang kawasan ini hanya berupa semak, pepohonan kecil, pakis, dan rerumputan, yang terbungkus tumbuhan merambat. Saat menatap pemandangan yang kami lintasi, saya berpikir, paling tidak, pemerintah yang bertanggung jawab dalam membiarkan ini terjadi bersalah karena telah bertindak abai.

“Menyedihkan, ya?” tanya Meijaard yang seolah membaca pikiran saya. “Meski begitu,” lanjutnya,

“inilah jenis hutan tempat saya dan Nardi menemukan jumlah orangutan terbanyak.” Kata

“menemukan” di sini maksudnya adalah mereka menghitung sarang yang dibuat orangutan setiap malam atau menemukan tanda lain yang menandakan kehadiran satwa itu. Orangutan merupakan kera besar yang paling penyendiri dan sulit ditemukan sekalipun di lokasi yang jumlah orangutannya bagus. Meijaard sudah menceritakan bahwa sebenarnya dia baru melihat dua orangutan liar selama dua setengah tahun terakhir di kerja lapangan reguler.!break!

Truk sampai di puncak tanjakan kecil di jalan dan—saya hampir merasa harus menjelaskan bahwa saya tidak mengarang-ngarang—ada sosok cokelat kemerah-merahan di jalan di depan kami. Saya melihatnya, tetapi pikiran seperti buntu. Tengah hari... belukar tak berharga... binatang di tengah jalan... Apa? Ungka?

“Orangutan!” teriak Erik dan Nardi bersamaan. Truk direm mendadak dan kami semua melompat keluar sementara orangutan itu kabur ke hutan di lereng landai di samping jalan. Saya mengikutinya melalui teropong sementara orangutan itu berlari menjauh, beberapa kali berhenti untuk melihat ke arah kami, sampai kera tersebut menuruni lereng dan hilang dari pandangan.

Nardi yang biasanya pendiam lepas kendali. “Anda sungguh beruntung!” ujarnya berulang-ulang. “Orangutan, di jalan!” Berbagai ungkapan dan pujian ramai terlontar. Pengunjung di Kalimantan jarang melihat orangutan liar; kebanyakan melihat binatang setengah jinak di pusat rehabilitasi terkenal seperti Sepilok di Sabah atau Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah.

Sebenarnya ada makna yang lebih di balik peristiwa ini, selain nasib saya yang sangat baik. Apa yang baru saya lihat mencerminkan salah satu isu penting keanekaragaman hayati Kalimantan—dan harapan tipis untuk melestarikannya. “Hutan industri merupakan masa depan kehidupan liar di Kalimantan,” ujar Siew Te Wong, yang bekerja dalam pelestarian beruang madu yang terancam punah.!break!

“Di Kalimantan, spesies dalam kawasan luas tidak punah oleh satu, bahkan dua, atau mungkin tiga pembalakan,” ujar Junaidi Payne dari kantor WWF Sabah. “Keseimbangan spesies berubah secara drastis, tetapi bahkan burung yang khusus, epifit, atau anggrek masih tetap ada jika kita cari di lembah-lembah kecil atau kawasan basah. Jadi, kita dapat membalak hutan dan tetap melestarikan keanekaragaman hayati. Namun, yang tak dapat dilakukan adalah mengubah semuanya menjadi perkebunan monokultur,” seperti kelapa sawit. “Dengan begitu, kita kehilangan semuanya. Itu adalah gurun biologis.”

Ahli geografi WWF Raymond Alfred mengajak saya berkeliling Hutan Lindung Ulu Segama milik pemerintah Sabah, tempat di mana rimba sepenuhnya—dan secara legal—dibalak, menyisakan hutan yang tampak sangat kerdil bila dibandingkan dengan hutan hujan pencakar langit di Lembah Danum yang letaknya tak jauh dari situ. Meski demikian, para peneliti menemukan konsentrasi orangutan terpadat di sini dan spesies itu berkembang biak di kawasan yang serupa di seluruh pulau. Alfred dan para pelestari lingkungan lainnya di Sabah berhasil membujuk pemerintah untuk menyelamatkan hutan terdegradasi ini yang sebelumnya direncanakan dikonversi menjadi lahan kebun sawit. Moratorium penebangan selama sepuluh tahun memberi mereka waktu untuk mempelajari orangutan dan mereka berharap dapat mendirikan penginapan dan menarik wisatawan yang mengunjungi pusat rehabilitasi Sepilok di Sungai Kinabatangan yang letaknya tak jauh dari situ.