Saat Penentuan Kalimantan

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 17:25 WIB

“Ada sejumlah perusahaan besar dan beberapa kilang kecil di sekitar Pontianak,” ujar Harun.

“Kini hanya tinggal satu perusahaan besar yang masih beroperasi.”

Bagaimana bisa hampir sepertiga hutan hujan yang ada di Kalimantan pada 1985 musnah pada 2005? Jawaban yang mudah dan agak terlalu menyederhanakan dapat ditemukan dalam singkatan yang digunakan orang Indonesia sebagai penjelasan atas berbagai masalah di negara itu: KKN, korupsi, kolusi, nepotisme. Selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto sampai dia dilengserkan pada 1998, hutan Indonesia termasuk salah satu sumber daya yang dianggapnya sebagai harta pribadi, keluarganya, atau pejabat militer yang mendukung agar dia tetap berkuasa. Setelah era Soeharto, kekuatan politik terdesentralisasi dan penentuan kebijakan tentang sumber daya alam jatuh ke tangan daerah. Sayangnya, seringkali hasilnya adalah yang disebut pelestari lingkungan sebagai “demokratisasi korupsi.”!break!

Pejabat daerah, setelah melihat bagaimana Soeharto dan kroni-kroninya merampok negara tersebut selama sekian dasawarsa, mulai ikut ambil bagian. Banyak gubernur, bupati, dan polisi yang dengan senang hati menerima suap: dari perusahaan kayu untuk memberi izin penebangan di kawasan yang resminya hutan lindung; dari pembalak liar agar dibiarkan memasuki taman nasional; dan dari perusahaan kelapa sawit agar diizinkan membabat habis dan membakar hutan untuk perkebunan. Masalah kepemilikan lahan dan yurisdiksi yang centang-perenang memperparah keadaan. Walaupun pemerintah pusat mengklaim telah menegakkan hukum kehutanan, provinsi dan kabupaten kerap menerbitkan hak guna tanah secara mandiri, sementara keputusan pengadilan yang bertentangan menambah suasana hukum rimba.

Di seberang perbatasan, di Kalimantan Malaysia, negara bagian Sarawak telah diperintah selama 27 tahun oleh Ketua Menteri Abdul Taib Mahmud, yang pemerintahannya secara umum dianggap sebagai lalim dan korup. Pembalakan tak terkendali demikian menggembosi hutan Sarawak, sehingga sebagian besar pelestari lingkungan yang berusaha menyelamatkan keanekaragaman hayati Kalimantan telah, berdasarkan prioritas lingkungan, pada dasarnya menyerah dan memusatkan perhatian ke tempat lain di pulau itu. Setelah menjarah hutannya, Sarawak kini mengalihkan perhatian ke kawasan hutan rawa gambutnya yang luas di pesisir, dengan cepat mengubah petak demi petak menjadi kebun kelapa sawit, tanpa mengindahkan keberatan para pakar lingkungan mengenai emisi karbon.

Alam liar bernasib lebih baik di Sabah, negara bagian Malaysia di Kalimantan bagian timur laut. Walaupun perkebunan sawit berkembang di sini, lebih dari setengah Sabah masih merupakan hutan. Sebagian besar hutan ini dibalak secara intensif, dan semakin banyak hektare dialihfungsikan menjadi perkebunan tanaman komersial, tetapi Sabah terus menopang beberapa contoh hutan hujan kualitas tinggi yang masih bertahan: Kawasan Konservasi Lembangan Maliau dan Lembah Danum. Sementara itu, Brunei Darussalam memiliki begitu banyak uang dari minyak bumi sehingga tidak perlu mengeksploitasi hutannya. Negara itu masih memiliki sebagian hutan hujan terbaik di Kalimantan, tetapi, karena luasnya tak sampai satu persen pulau itu, kontribusinya terhadap konservasi secara keseluruhan bisa diabaikan.

“Tata kelola pemerintahan” merupakan frasa birokratis yang sering digunakan oleh diplomat dan lembaga swadaya masyarakat yang bekerja di Indonesia dan Malaysia. Maksudnya dalam bahasa sederhana adalah mengenyahkan tangan politikus dan kroninya dari kantong masyarakat miskin, serta mengizinkan masyarakat mengawasi kebijakan pemerintah dan memperdebatkannya secara bebas. Semua orang yang bekerja dalam lingkungan konservasi di Kalimantan sepakat bahwa tidak ada upaya—baik peraturan, taman nasional atau hutan lindung baru—yang akan efektif tanpa hal itu.!break!

“Pengelolaan pemerintahan nyaris menentukan semuanya, yang bermakna jika kita salah melaksanakannya, hal lain tak ada artinya,” ujar Frances Seymour dari Center for International Forestry Research (CIFOR), satu organisasi internasional yang bermarkas di Indonesia dan menekuni pelestarian hutan dan perbaikan kehidupan masyarakat di daerah tropik. Sudah ada tanda-tanda kemajuan yang membesarkan hati di Indonesia—setidaknya di tingkat atas pemerintahan—terutama sejak 2004, ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden. Langkah besar lainnya dimulai pada 2000 saat Polri, organisasi yang terkenal korup yang sejak lama terkait dengan penyelundupan dan pembalakan liar, memisahkan diri dari ABRI. Berita yang lebih baik muncul pada 2005, ketika Jenderal Sutanto ditunjuk sebagai Kapolri. “Tidak ada kepala penegak hukum lain di dunia yang membuat kemajuan seperti dia,” tutur seorang staf senior AS di Jakarta kepada saya.

Ratusan penangkapan terhadap kegiatan pembalakan liar telah dilakukan sejak saat itu, tidak hanya membidik pekerja lapangan (yang mungkin hanya menerima delapan belas ribu rupiah sehari), namun juga, terkadang, pejabat pemerintah dan pembeli kayu tingkat menengah, termasuk mantan gubernur Kalimantan Timur dan banyak pegawai di Departemen Kehutanan yang tercoreng korupsi. Taman Nasional Gunung Palung di Kalimantan Barat yang dulu pernah menjadi cerita seram tentang perburuan dan pembalakan liar telah mengalami perubahan besar berkat direkturnya yang jujur dan berdedikasi, dengan pasukan jagawana yang berpatroli dengan pesawat ultraringan dan perahu motor.

Pada tingkat nasional, banyak menteri Indonesia yang mendapat nilai tinggi, atau setidaknya lulus pas-pasan, dalam hal dedikasi mereka bagi reformasi. “Namun begitu, saya jamin di desa ini pasti mustahil meminta aparat polisi melakukan sesuatu tanpa dimintai sogokan,” tutur seseorang yang terkait dengan kelompok konservasi kecil kepada saya. (Saat saya berbicara dengan aktivis, sering saya diminta untuk tidak menyebutkan namanya.) “Bupati punya teman-teman di Jakarta yang bisa membubarkan kami,” ujar pekerja LSM yang lain. “Kami harus hati-hati melangkah. Kalau mau, mereka dapat menghancurkan kami.”

Di beberapa ibukota kabupaten yang saya kunjungi, hasil paling nyata dari otonomi daerah yang meningkat adalah kompleks kantor pemerintahan baru yang mentereng; berikutnya yang paling terlihat adalah rumah baru yang mentereng milik bupati. “Tantangannya,” ujar Frances Seymour, “adalah bagaimana cara membantu masyarakat dan pemerintah daerah mengambil keputusan yang lebih baik untuk jangka panjang karena yang terjadi sekarang hanyalah masa panen uang yang singkat, sementara sepuluh tahun dari sekarang pekerjaan tak akan lagi tersedia dan sumber pendapatan juga akan mengering.” Sementara pedalaman Indonesia akan tetap miskin seperti sediakala.!break!

Jalan raya berkelok-kelok melalui barisan bukit batu gamping di Kalimantan Timur, mengikuti rute yang lima tahun sebelumnya adalah jalan tanah untuk mengangkut kayu. Kini sejauh mata memandang, tak ada apa-apa selain belukar. Kurang lebih setiap satu kilometer, saat jalan raya melintasi jurang, ada amblesan kecil yang menyebabkan bagian jalan di tepi tebing longsor. Namun, kami jarang harus memperlambat kecepatan karena hampir tak ada kendaraan lain. Terkadang, lubang sebesar bus ini ditandai dengan ranting-ranting yang ditumpuk di jalan, tetapi terkadang tidak.