Saat Penentuan Kalimantan

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 17:25 WIB

Hari itu bermula beberapa jam sebelum fajar menyingsing dengan riuh rendah bunyi ungka, jam weker khas hutan hujan. Kekasih dan seteru saling merayu dan mengancam dari puncak pepohonan dalam bahasa monyet yang kepepet, bahasa yang hanya dapat saya tebak-tebak, sebagai kerabatnya yang hidup di atas tanah.!break!

Dari kemah saya, jalan di tepi anak sungai membentang ke dalam hutan, melalui pepohonan yang batang besarnya menjulang 30 meter hingga dahan yang terendah. Saat sinar surya samar-samar menembus tajuk hijau yang rimbun, primata yang lain, seekor monyet ekor panjang, berjalan di tanah di sepanjang aliran sungai, mencari ikan atau katak untuk sarapan. Entah berhasil atau tidak, raut mukanya yang selalu kesal tak pernah berubah. Begitu monyet itu menghilang ke hulu, sepasang cerpelai ekor pendek berlari turun ke tepi sungai, sepertinya lebih ingin bersenang-senang daripada mencari makanan.

Di suatu daerah terbuka, sepasang rangkong badak terbang dengan sayap menderu ke pohon yang berbuah dan mulai makan. Burung ini hampir sebesar kalkun, warnanya sebagian besar hitam, serta memiliki tanduk besar berwarna merah dan kuning di atas paruhnya yang berkilat terkena sinar mentari, seperti pernis mengilap. Kedua burung ini lebih cerah daripada semua hal lain di dalam rimba, sampai satu sosok sebesar telapak tangan terbang ke sana kemari setinggi pinggang, warnanya hitam beludru pekat, tetapi juga ada merah tua dan hijau elektrik, hijau neon mencolok, warna yang sama berlagaknya dengan nama makhluk ini: kupu-kupu raja Brooke. Dengan lebar hampir 18 sentimeter, satwa ini adalah salah satu kupu-kupu terbesar di dunia. Jika rangkong badak tidak memukau Anda—jika kupu-kupu raja Brooke juga tidak—mintalah seseorang memegang pergelangan dan memeriksa nadi Anda.

Kemudian saya menumpang perahu kecil menghiliri sungai lebar yang bernama Kinabatangan, lalu masuk ke arah hulu anak sungai yang sesempit gang. Sepasukan bekantan memanjat di cabang-cabang pohon di atas kepala kami, tempat primata-primata itu melewatkan malam di atas kayu-kayu tinggi di tepian sungai. Si jantan berperut buncit, dengan hidung kebesaran yang menggantung di wajahnya seperti buah matang, tampak demikian jelek sehingga menimbulkan rasa sayang, seperti pada nenek-nenek yang cerewet. Sebagian besar betina berhidung runcing dalam kelompoknya menggendong bayi di dadanya. Beberapa lutung hitam mengawasi kami dari atas, sementara seekor babi hutan berdiri tak jauh di dalam hutan mengawasi kami lewat. Saat perahu hanyut di kolong dahan yang melintasi sungai, seekor biawak sepanjang dua meter masuk ke air.

Seekor gajah kalimantan masuk ke sungai dan berenang di depan perahu, mengembuskan napas seperti seekor paus. Ukuran gajah ini kecil jika dibandingkan dengan gajah lain, tetapi saat satwa yang gelap dan berkilat ini muncul di seberang sungai, gajah kalimantan tersebut terlihat seperti pulau yang muncul dari dalam laut. Saya tahu ke mana tujuannya: sekawanan gajah yang terdiri atas sekitar 30 ekor—seekor jantan bergading panjang, betina dewasa dalam jumlah besar, dan beberapa anak beragam usia—mengunyah tanaman merambat di tepi sungai besar, dingin seperti patung dan hanya sedikit lebih hidup.!break!

Inilah Kalimantan yang melegenda, pulau fantasi dunia, dan memang sama menakjubkannya dengan yang terdengar. Namun, jika Anda ingin melihat Kalimantan sesungguhnya, Kalimantan di dasawarsa pertama abad ke-21, cobalah menjadi elang-ular bido yang bertengger di atas pohon di seberang sungai. Lalu Anda dapat membubung tinggi di atas Sungai Kinabatangan dan melihat betapa cepat rimba yang semrawut berubah menjadi barisan pohon kelapa sawit yang ditanam rapi, membentang berkilo-kilometer ke semua jurusan.

Perkebunan sawit itu tampak rimbun dan hijau, pelepahnya yang melengkung menampilkan keindahan eksotis, tapi bagi keanekaragaman hayati Kalimantan yang tiada bandingannya, hal itu merupakan maut tanpa ampun.

Terletak di antara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa serta dibelah dua oleh Khatulistiwa, Pulau Kalimantan telah berbakti di sepanjang sejarah manusia, terutama lewat eksploitasi sumber daya alamnya—banyak yang menganggapnya dijarah—oleh berbagai bangsa dari seluruh dunia yang silih berganti.

Pedagang Tiongkok datang mencari cula badak, kayu gaharu, serta sarang burung untuk sup. Kemudian, saudagar Muslim dan Portugis bergabung untuk mengekspor lada dan emas. Inggris dan Belanda mengendalikan pulau itu selama masa penjajahan pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, saat pembalak mulai menebangi hutan kayu keras tropis yang menyelimuti pulau tersebut. Pembagian Kalimantan secara politis saat ini—tiga perempat di selatan masuk Indonesia, sebagian besar sisanya masuk Malaysia, dan sebagian kecil menjadi Brunei Darussalam—mencerminkan persekutuan zaman penjajahan Inggris dan Belanda yang berakhir dengan kemerdekaan setelah Perang Dunia II.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, perusahaan-perusahaan dari Eropa, Amerika Serikat, dan Australia telah menggali minyak dan gas alam yang melimpah serta batubara di tambang terbuka. Banyak rumah mewah mulai dari Amsterdam hingga Melbourne, dari Singapura hingga Houston, yang dibangun dengan kekayaan dari Kalimantan. Rumah mewah yang dibangun dengan kekayaan Kalimantan juga berdiri di Jakarta dan Kuala Lumpur, karena Indonesia dan Malaysia, atau setidaknya elite ekonomi dan politiknya, adalah yang paling banyak melakukan eksploitasi di antara semuanya.!break!

Kekayaan dalam jenis yang berbeda menarik orang yang lain, termasuk naturalis besar Alfred Russel Wallace, yang menghabiskan waktu di sini pada pertengahan 1850-an saat dia mengembangkan teori yang penting bagi pemahaman modern tentang evolusi dan biogeografi. Wallace mengumpulkan lebih dari seribu spesies yang saat itu belum dikenal oleh ilmu pengetahuan, termasuk kupu-kupu raja Brooke. Para ilmuwan terus menemukan spesies baru sejak saat itu, membuktikan bahwa hutan hujan Kalimantan termasuk salah satu tempat yang secara biologis paling beraneka ragam di Bumi.

Kalimantan memiliki lebih dari 15.000 spesies tumbuhan yang sudah dikenal, termasuk lebih dari 2.500 spesies anggrek. Hutan dataran rendah Asia Tenggara, termasuk Kalimantan, merupakan hutan hujan tropis paling jangkung di dunia, dan bisa ditumbuhi hingga 240 spesies pohon dalam kawasan seluas satu setengah hektare. Kalimantan memiliki bunga terbesar di dunia, anggrek terbesar di dunia, tanaman karnivora terbesar di dunia, serta rama-rama terbesar di dunia. Dalam struktur bertingkat-tingkat hutan hujan Kalimantan, hidup kumpulan satwa peluncur terbesar di dunia: Selain beberapa spesies tupai terbang, ada kubin, kubung, dan katak pohon, serta—sumber mimpi buruk bagi sebagian orang—ular pohon surga.

Beruang madu dan macan dahan berkeliaran di hutan Kalimantan, sementara dua spesies ungka dan delapan spesies monyet dan lutung memanjat pepohonan. Sekitar 1.000 ekor gajah masih bertahan di salah satu sudut pulau itu—sebagian besar di negeri Sabah, Malaysia, tempat Sungai Kinabatangan mengalir hingga ke Laut Sulu. Badak sudah nyaris punah, tak sampai empat lusin yang tersisa.

Namun, adalah satwa yang lebih berkarisma—orangutan—yang menjadi simbol Kalimantan. Matanya yang ekspresif menatap dari lembaran laporan berkala dan permohonan dana kelompok konservasi di seluruh dunia. Mengingat keanekaragaman hayati pulau itu yang tiada bandingannya—dari orangutan dan badak hingga lumut daun dan kumbang kecil yang belum ditemukan—serta laju penyusutan hutan, masa depan Kalimantan mungkin menjadi masalah pelestarian paling kritis di planet kita.!break!

Dari sudut pandang satelit, ancaman penggundulan hutan Kalimantan mungkin tampak berlebihan. Pulau ini setengahnya masih diliputi hutan dan di dataran tinggi pedalamannya terbentang ratusan kilometer persegi hutan perawan yang hampir tak pernah didatangi siapa pun selain pemburu pribumi, pemburu liar, dan pencari gaharu. Untuk mencapai beberapa kawasan tertentu, perlu menumpang perahu selama beberapa hari atau terseok-seok menembus belantara yang tak memiliki jalan setapak.

Namun ceritanya sungguh berbeda dan semakin memilukan untuk hutan dataran rendah yang merupakan habitat utama sebagian besar kekayaan keanekaragaman hayati Kalimantan, termasuk orangutan dan gajah. Dalam dua dasawarsa terakhir, diperkirakan 8.000 kilometer persegi hutan dataran rendah dibuka setiap tahun, sebuah kawasan yang nyaris satu setengah kali Pulau Bali. Sebuah makalah dalam majalah Science pada 2001—dengan judul yang mengancam “Akhir Hutan Dataran Rendah Indonesia?”—memperingatkan “konsekuensi buruk” akibat “kondisi anarki sumber daya saat ini” dan mengutip kajian yang memperkirakan bahwa hutan dataran rendah di Kalimantan Indonesia akan hancur total pada 2010. Walau tindakan tegas pemerintah telah mengurangi pembalakan liar dan ekspor ilegal, hasilnya hanya menunda ramalan kiamat.

Faktor-faktor lain dapat ikut mempercepat tingkat deforestasi. Dalam 20 tahun terakhir, perkebunan homogen kelapa sawit yang luas tersebar di seluruh Kalimantan untuk memenuhi permintaan minyak serba guna (dan sangat menguntungkan) tersebut yang dihasilkan dari buahnya. Minyak sawit digunakan untuk memasak dan menjadi kandungan kosmetik, sabun, penganan ringan, serta produk lain yang daftarnya seperti tak ada habis-habisnya, termasuk bahan bakar hayati. Indonesia dan Malaysia menyumbang 86 persen pasokan dunia minyak sawit; sementara kondisi pertumbuhan emas hijau itu sempurna di Kalimantan. Bahkan saat pelestari lingkungan menyebarkan berita tentang kontribusi kelapa sawit terhadap deforestasi global—beberapa mengimbau pemboikotan produk minyak sawit—Indonesia malah menjadi negara produsen terbesar di dunia, dengan 60.000 kilometer persegi yang dibudidayakan, angka yang dapat berlipat dua sebelum 2020.

Seakan monokultur kelapa sawit saja tidak cukup, Kalimantan juga memiliki sumber daya lain yang memberi berkah ekonomi sekaligus bahaya lingkungan, yaitu sisa-sisa tumbuhan berusia 300 juta tahun yang dulu tumbuh di tempat yang kini ada di perut Kalimantan, berubah menjadi batubara. Tambang permukaan—untuk mencari emas dan juga batubara—tersebar di seluruh Kalimantan timur dan selatan seperti bopeng, menggantikan hutan dan mencemari sungai dengan limbahnya.!break!

Dalam dunia yang baru menyadari bahaya perubahan iklim, Kalimantan menarik perhatian dunia karena alasan yang lain, yaitu ekosistem khas yang disebut hutan rawa gambut yang meliputi sekitar 11 persen pulau tersebut. Dalam ekosistem ini, pepohonan tumbuh di atas tanah organik yang terbentuk akibat berabad-abad akumulasi bahan tumbuhan yang jenuh air. Tanah gambut yang terkadang mencapai kedalaman 20 meter ini merupakan persediaan raksasa karbon dunia. Jika pepohonannya ditebang dan lahannya dikeringkan, gambut tropis akan melapuk dan melepaskan karbonnya ke atmosfer, dan saat kering gambut sangat mudah terbakar, baik disengaja ataupun tidak. Pembakaran tahunan besar-besaran yang sengaja dilakukan untuk membuka lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit baru—dan diperparah oleh seringnya musim kemarau—menjadi tak terkendali dan memenuhi langit Kalimantan dengan asap, menutup bandara, serta menyebabkan gangguan pernapasan bagi jutaan orang hingga sampai ke Asia daratan. Karbon yang dilepaskan oleh tanah gambut yang membusuk, api, dan deforestasi telah mendorong Indonesia menjadi negara sumber gas rumah kaca ketiga terbesar, hanya kalah oleh negara industri China dan Amerika Serikat.

Waktu sudah hampir habis bagi hutan hujan Kalimantan. Model konvensional tak memberi banyak harapan. Menyisihkan sejumlah kawasan luas sebagai taman nasional atau cagar alam, yang menjadi praktik umum di AS dan negara-negara lain, kebanyakan tidak efektif, setidaknya di Kalimantan bagian Indonesia karena digerogoti oleh kekurangan dana, kurangnya dukungan penduduk lokal, serta korupsi di pemerintahan. Namun, banyak pelestari lingkungan mengatakan bahwa pembalakan, yang sering dicap sebagai kutukan bagi alam liar, sebenarnya dapat, jika dilaksanakan secara berkelanjutan, membantu melindungi sebagian besar keanekaragaman hayati pulau tersebut.

“Hutan hujan perawan adalah konsep yang sudah mati di Kalimantan,” ujar Glen Reynolds, ilmuwan kepala di Pusat Kajian Lapangan Lembah Danum di Sabah. “Semua belantara hutan dataran rendah yang bisa dikonservasi telah dikonservasi. Memang sulit, tetapi yang harus dilakukan sekarang adalah meyakinkan masyarakat bahwa yang dianggap sebagai hutan terdegradasi ini dapat melestarikan keanekaragaman hayati."

Pesannya kompleks, tetapi sangat jelas. Untuk melindungi hutan dan margasatwa Kalimantan, kita perlu merenungkan ulang gagasan lama, menerima kebenaran baru, dan menggunakan model pelestarian yang baru. Dan pada akhirnya, nasib Kalimantan mungkin ditentukan di tempat yang jauh dari hutan, di kantor pemerintahan dan ruang rapat direktur dari New York hingga Jenewa. Karena banyaknya jumlah karbon yang terikat oleh tanah dan tanaman, harapan terbaik yang terakhir bagi masa depan Kalimantan mungkin tidak terletak pada imbauan emosional melalui tampang orangutan, tetapi pada fakta nyata perubahan iklim—dan tekad serta kemampuan kita sendiri untuk melindungi diri dari bencana.!break!

Di seberang Sabah, di provinsi Kalimantan Barat yang masuk Indonesia, jalan aspal sempit memanjang dari Pontianak, sebuah kota di dekat Laut China Selatan. Jalan yang dipadati truk dan sepeda motor yang bising itu melewati toko dan rumah kayu di desa-desa kecil yang dipisahkan oleh sawah. Panen baru mulai dan di mana-mana terlihat orang mengempaskan padi ke bidai kayu atau menampi beras untuk membuang sekam. Hampir tak ada jejak hutan yang dulu tumbuh di sini.

Saya ditemani Dessy Ratnasari, seorang ilmuwan dari organisasi riset setempat, pemilik wajah penuh semangat yang berkerudung biru muda. Sopir kami, Harun—yang seperti banyak orang Indonesia, namanya hanya satu kata—mengatakan sesuatu ketika kami melewati bangunan besar yang ditumbuhi rumput liar.

“Ini penggergajian tempat dia dulu bekerja,” terjemah Ratnasari. “Kilang ini bangkrut karena tak ada lagi pohon untuk bahan kayu. Pabrik ini memiliki 1.300 pekerja dan membayar gaji 800 juta rupiah sebulan”. Beberapa kilometer kemudian kembali kami melewati dua tempat penggergajian, gerbangnya terkunci, jendelanya pecah, tempat parkirnya kosong melompong.

“Ada sejumlah perusahaan besar dan beberapa kilang kecil di sekitar Pontianak,” ujar Harun.

“Kini hanya tinggal satu perusahaan besar yang masih beroperasi.”

Bagaimana bisa hampir sepertiga hutan hujan yang ada di Kalimantan pada 1985 musnah pada 2005? Jawaban yang mudah dan agak terlalu menyederhanakan dapat ditemukan dalam singkatan yang digunakan orang Indonesia sebagai penjelasan atas berbagai masalah di negara itu: KKN, korupsi, kolusi, nepotisme. Selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto sampai dia dilengserkan pada 1998, hutan Indonesia termasuk salah satu sumber daya yang dianggapnya sebagai harta pribadi, keluarganya, atau pejabat militer yang mendukung agar dia tetap berkuasa. Setelah era Soeharto, kekuatan politik terdesentralisasi dan penentuan kebijakan tentang sumber daya alam jatuh ke tangan daerah. Sayangnya, seringkali hasilnya adalah yang disebut pelestari lingkungan sebagai “demokratisasi korupsi.”!break!

Pejabat daerah, setelah melihat bagaimana Soeharto dan kroni-kroninya merampok negara tersebut selama sekian dasawarsa, mulai ikut ambil bagian. Banyak gubernur, bupati, dan polisi yang dengan senang hati menerima suap: dari perusahaan kayu untuk memberi izin penebangan di kawasan yang resminya hutan lindung; dari pembalak liar agar dibiarkan memasuki taman nasional; dan dari perusahaan kelapa sawit agar diizinkan membabat habis dan membakar hutan untuk perkebunan. Masalah kepemilikan lahan dan yurisdiksi yang centang-perenang memperparah keadaan. Walaupun pemerintah pusat mengklaim telah menegakkan hukum kehutanan, provinsi dan kabupaten kerap menerbitkan hak guna tanah secara mandiri, sementara keputusan pengadilan yang bertentangan menambah suasana hukum rimba.

Di seberang perbatasan, di Kalimantan Malaysia, negara bagian Sarawak telah diperintah selama 27 tahun oleh Ketua Menteri Abdul Taib Mahmud, yang pemerintahannya secara umum dianggap sebagai lalim dan korup. Pembalakan tak terkendali demikian menggembosi hutan Sarawak, sehingga sebagian besar pelestari lingkungan yang berusaha menyelamatkan keanekaragaman hayati Kalimantan telah, berdasarkan prioritas lingkungan, pada dasarnya menyerah dan memusatkan perhatian ke tempat lain di pulau itu. Setelah menjarah hutannya, Sarawak kini mengalihkan perhatian ke kawasan hutan rawa gambutnya yang luas di pesisir, dengan cepat mengubah petak demi petak menjadi kebun kelapa sawit, tanpa mengindahkan keberatan para pakar lingkungan mengenai emisi karbon.

Alam liar bernasib lebih baik di Sabah, negara bagian Malaysia di Kalimantan bagian timur laut. Walaupun perkebunan sawit berkembang di sini, lebih dari setengah Sabah masih merupakan hutan. Sebagian besar hutan ini dibalak secara intensif, dan semakin banyak hektare dialihfungsikan menjadi perkebunan tanaman komersial, tetapi Sabah terus menopang beberapa contoh hutan hujan kualitas tinggi yang masih bertahan: Kawasan Konservasi Lembangan Maliau dan Lembah Danum. Sementara itu, Brunei Darussalam memiliki begitu banyak uang dari minyak bumi sehingga tidak perlu mengeksploitasi hutannya. Negara itu masih memiliki sebagian hutan hujan terbaik di Kalimantan, tetapi, karena luasnya tak sampai satu persen pulau itu, kontribusinya terhadap konservasi secara keseluruhan bisa diabaikan.

“Tata kelola pemerintahan” merupakan frasa birokratis yang sering digunakan oleh diplomat dan lembaga swadaya masyarakat yang bekerja di Indonesia dan Malaysia. Maksudnya dalam bahasa sederhana adalah mengenyahkan tangan politikus dan kroninya dari kantong masyarakat miskin, serta mengizinkan masyarakat mengawasi kebijakan pemerintah dan memperdebatkannya secara bebas. Semua orang yang bekerja dalam lingkungan konservasi di Kalimantan sepakat bahwa tidak ada upaya—baik peraturan, taman nasional atau hutan lindung baru—yang akan efektif tanpa hal itu.!break!

“Pengelolaan pemerintahan nyaris menentukan semuanya, yang bermakna jika kita salah melaksanakannya, hal lain tak ada artinya,” ujar Frances Seymour dari Center for International Forestry Research (CIFOR), satu organisasi internasional yang bermarkas di Indonesia dan menekuni pelestarian hutan dan perbaikan kehidupan masyarakat di daerah tropik. Sudah ada tanda-tanda kemajuan yang membesarkan hati di Indonesia—setidaknya di tingkat atas pemerintahan—terutama sejak 2004, ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden. Langkah besar lainnya dimulai pada 2000 saat Polri, organisasi yang terkenal korup yang sejak lama terkait dengan penyelundupan dan pembalakan liar, memisahkan diri dari ABRI. Berita yang lebih baik muncul pada 2005, ketika Jenderal Sutanto ditunjuk sebagai Kapolri. “Tidak ada kepala penegak hukum lain di dunia yang membuat kemajuan seperti dia,” tutur seorang staf senior AS di Jakarta kepada saya.

Ratusan penangkapan terhadap kegiatan pembalakan liar telah dilakukan sejak saat itu, tidak hanya membidik pekerja lapangan (yang mungkin hanya menerima delapan belas ribu rupiah sehari), namun juga, terkadang, pejabat pemerintah dan pembeli kayu tingkat menengah, termasuk mantan gubernur Kalimantan Timur dan banyak pegawai di Departemen Kehutanan yang tercoreng korupsi. Taman Nasional Gunung Palung di Kalimantan Barat yang dulu pernah menjadi cerita seram tentang perburuan dan pembalakan liar telah mengalami perubahan besar berkat direkturnya yang jujur dan berdedikasi, dengan pasukan jagawana yang berpatroli dengan pesawat ultraringan dan perahu motor.

Pada tingkat nasional, banyak menteri Indonesia yang mendapat nilai tinggi, atau setidaknya lulus pas-pasan, dalam hal dedikasi mereka bagi reformasi. “Namun begitu, saya jamin di desa ini pasti mustahil meminta aparat polisi melakukan sesuatu tanpa dimintai sogokan,” tutur seseorang yang terkait dengan kelompok konservasi kecil kepada saya. (Saat saya berbicara dengan aktivis, sering saya diminta untuk tidak menyebutkan namanya.) “Bupati punya teman-teman di Jakarta yang bisa membubarkan kami,” ujar pekerja LSM yang lain. “Kami harus hati-hati melangkah. Kalau mau, mereka dapat menghancurkan kami.”

Di beberapa ibukota kabupaten yang saya kunjungi, hasil paling nyata dari otonomi daerah yang meningkat adalah kompleks kantor pemerintahan baru yang mentereng; berikutnya yang paling terlihat adalah rumah baru yang mentereng milik bupati. “Tantangannya,” ujar Frances Seymour, “adalah bagaimana cara membantu masyarakat dan pemerintah daerah mengambil keputusan yang lebih baik untuk jangka panjang karena yang terjadi sekarang hanyalah masa panen uang yang singkat, sementara sepuluh tahun dari sekarang pekerjaan tak akan lagi tersedia dan sumber pendapatan juga akan mengering.” Sementara pedalaman Indonesia akan tetap miskin seperti sediakala.!break!

Jalan raya berkelok-kelok melalui barisan bukit batu gamping di Kalimantan Timur, mengikuti rute yang lima tahun sebelumnya adalah jalan tanah untuk mengangkut kayu. Kini sejauh mata memandang, tak ada apa-apa selain belukar. Kurang lebih setiap satu kilometer, saat jalan raya melintasi jurang, ada amblesan kecil yang menyebabkan bagian jalan di tepi tebing longsor. Namun, kami jarang harus memperlambat kecepatan karena hampir tak ada kendaraan lain. Terkadang, lubang sebesar bus ini ditandai dengan ranting-ranting yang ditumpuk di jalan, tetapi terkadang tidak.

“Kontraktornya memberi bayaran kepada pemerintah untuk mendapatkan kontrak pembuatan jalan dan kemudian sengaja membuatnya dengan jelek agar mendapat proyek perbaikan beberapa tahun kemudian, sehingga semua pihak bisa mendapatkan uang lebih banyak,” kata salah satu rekan saya. Hingga kini, saya sudah begitu sering mendengar cerita seperti ini sehingga hal tersebut terasa biasa.

Setelah menyeberangi jembatan Sungai Telen, kami berhenti di dekat rumah di pinggir jalan yang hampir tak layak disebut rumah. Bangunan itu hanyalah dangau kayu tak berdinding yang paling banter hanya semeter persegi, lantai panggungnya ditopang gelondongan kayu setinggi orang dewasa dari atas tanah. Atapnya terpal plastik biru yang ditunjang galah. Seorang perempuan dan dua orang anak berada di atas lantai, sementara tiga anak lain bermain di bawahnya.

Batang pohon yang tergeletak bertebaran di ladang di balik dangau ini; tanahnya hitam baru dibakar, sementara asap mengepul di sana-sini. Beberapa lelaki dan perempuan bekerja di ladang dengan parang dan tugal yang terbuat dari belian atau kayu besi. Perusakan hutan dan pemusnahan habitat tersebut terjadi tepat di depan mataku.

Dua laki-laki datang untuk mengobrol dengan kami—Udan Usat dan Ismael, paman dan kemenakan. Mereka memakai caping untuk berlindung dari sengatan matahari. Wajah dan tangan mereka berlapis jelaga, sementara keringat bercucuran di kulitnya.!break!

Mereka dari suku Kenyah dan pindah ke sini tahun lalu. Sebelumnya, mereka tinggal di desa yang bernama Long Noran di Sungai Wahau di pedalaman Kalimantan. Hutan di sana telah lama musnah, dibabat oleh perusahaan kayu besar yang dimiliki oleh Bob Hasan yang reputasinya buruk, seorang kroni Soeharto dan mantan menteri yang kemudian divonis bersalah melakukan korupsi. Karena hanya tersisa belukar, seluruh kawasan di sekitar desa mereka, yang berada di dalam wilayah konsesi kayu perusahaan itu, terbakar dalam kebakaran besar tahun 1997-98. Kebakaran itu dipicu oleh beberapa perusahaan yang membuka lahan untuk perkebunan dan dengan cepat menyebar ke tanah sekitarnya selama musim kemarau.

“Kami punya kebun, pohon buah-buahan, pohon karet, kebun sayur, semuanya terbakar,” ujar Udan Usat. “Terjadi konflik dengan perusahaan kayu. Mereka menuduh kami yang menyebabkan kebakaran, tetapi bukan kami yang melakukannya. Apinya datang dari jauh.”

Keadaan menjadi sangat sulit setelah itu. “Di tempat kami tinggal, perlu satu jam perjalanan perahu dan 15 kilometer jalan darat untuk mencapai permukiman terdekat yang ada pasarnya,” katanya. “Mahal kalau pakai kapal.”

Pemerintah menjanjikan setiap keluarga mendapat lima hektare di sepanjang jalan ini jika mereka ingin pindah. Beberapa penduduk desa datang melihat tanah ini, berunding, lalu 169 keluarga memutuskan untuk memulai awal baru di tempat ini.

“Di sini, kami berada di antara dua kota, jadi lebih mudah menjual hasil panen kami saat ladang mulai menghasilkan,” kata Ismael. Keluarga yang berdekatan bergotong royong, menggilir ladang yang dikerjakan bersama setiap hari. Mereka akan menanam padi, pisang, dan rambutan. Pembakaran yang baru mereka lakukan akan menambah kesuburan tanah dan mereka berharap dapat menikmati panen pertama tahun depan. Keluarga-keluarga tinggal di dangau sementara saat ini, karena lebih penting menanami ladang daripada membangun rumah permanen. Ismael adalah kepala sekolah dasar di Long Noran, dan suatu hari nanti, jika ada cukup anak-anak di sini di Sungai Telen, keluarga-keluarga tersebut mungkin akan membangun sekolah.

“Semoga hidup di sini lebih baik—itulah harapan kami,” ujar Ismael.

Saya berterima kasih kepada mereka atas perbincangan itu dan bertanya-tanya apakah perlu memberi uang untuk menggantikan waktu mereka yang tersita. Teropong saya lebih mahal daripada penghasilan keduanya selama setahun. Saat saya bersiap pergi, seorang anak perempuan kira-kira umur tujuh tahun membawa kantong plastik berisi dua untuk, kue tepung goreng, dan sebuah lemper—hadiah makanan untuk saya. Dia menyodorkan kantong itu. Senyumnya membuat hati saya remuk redam.!break!

Biarpun gedung pencakar langit yang menakjubkan bermunculan di sekitar Jakarta, biarpun mobil-mobil baru berjejalan di jalan, fakta penting yang memengaruhi pelestarian di Kalimantan adalah kemiskinan ekstrem pada sebagian besar orang Indonesia yang mendiami tiga perempat pulau tersebut. Apapun strategi yang dipakai para pakar lingkungan untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati Kalimantan harus terlebih dahulu memberi jalan kepada penduduknya untuk meningkatkan taraf hidup.

“Tak ada yang lebih penting dari rasa lapar,” ujar Albertus dari Green Borneo, kelompok yang berbasis di Pontianak. “Lembaga donor perlu mengubah cara berpikir mereka tentang hal ini. Kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik, kondisi ekonomi yang lebih baik—itu yang akan membantu melindungi hutan.”

Bahkan saat memperlihatkan ekosistem dan ekonomi Kalimantan Barat yang hancur akibat pembalakan tak berkelanjutan, Dessy Ratnasari memastikan bahwa saya memahami manfaat yang dibawanya. “Banyak orang di Kalimantan Barat dibesarkan dengan uang dari perusahaan kayu,” ujarnya. “Saya menikmati imbasnya karena ayah saya memiliki kios pakaian dan uang yang dibelanjakan orang di kios itu berasal dari kayu. Itulah mengapa saya dapat bersekolah dan mengenyam pendidikan.”

Salah satu dari sedikit frasa bahasa Indonesia yang saya pelajari adalah hati-hati, sebagaimana tertera pada papan petunjuk di sepanjang jalan tanah yang tidak rata ini, yang berbunyi “Hati-Hati Logging". Pagi itu cuaca panas di Kalimantan Timur dan saya naik truk bersama Erik Meijaard, seorang ilmuwan pelestarian lingkungan warga Belanda di The Nature Conservancy yang telah bekerja di Kalimantan selama 15 tahun, serta rekan kerjanya Nardiyono. Kami melintasi berkilo-kilometer semak belukar, tetapi bentang alam belum memperlihatkan tanda akan segera berubah. Kawasan yang dulu merupakan hutan hujan daratan rendah ini dibabat habis dan tak pernah dihutankan kembali. Saat kebakaran tahun 1997-98, kawasan ini termasuk dalam 2,6 juta hektare hutan yang terbakar di Kalimantan Timur. Sekarang kawasan ini hanya berupa semak, pepohonan kecil, pakis, dan rerumputan, yang terbungkus tumbuhan merambat. Saat menatap pemandangan yang kami lintasi, saya berpikir, paling tidak, pemerintah yang bertanggung jawab dalam membiarkan ini terjadi bersalah karena telah bertindak abai.

“Menyedihkan, ya?” tanya Meijaard yang seolah membaca pikiran saya. “Meski begitu,” lanjutnya,

“inilah jenis hutan tempat saya dan Nardi menemukan jumlah orangutan terbanyak.” Kata

“menemukan” di sini maksudnya adalah mereka menghitung sarang yang dibuat orangutan setiap malam atau menemukan tanda lain yang menandakan kehadiran satwa itu. Orangutan merupakan kera besar yang paling penyendiri dan sulit ditemukan sekalipun di lokasi yang jumlah orangutannya bagus. Meijaard sudah menceritakan bahwa sebenarnya dia baru melihat dua orangutan liar selama dua setengah tahun terakhir di kerja lapangan reguler.!break!

Truk sampai di puncak tanjakan kecil di jalan dan—saya hampir merasa harus menjelaskan bahwa saya tidak mengarang-ngarang—ada sosok cokelat kemerah-merahan di jalan di depan kami. Saya melihatnya, tetapi pikiran seperti buntu. Tengah hari... belukar tak berharga... binatang di tengah jalan... Apa? Ungka?

“Orangutan!” teriak Erik dan Nardi bersamaan. Truk direm mendadak dan kami semua melompat keluar sementara orangutan itu kabur ke hutan di lereng landai di samping jalan. Saya mengikutinya melalui teropong sementara orangutan itu berlari menjauh, beberapa kali berhenti untuk melihat ke arah kami, sampai kera tersebut menuruni lereng dan hilang dari pandangan.

Nardi yang biasanya pendiam lepas kendali. “Anda sungguh beruntung!” ujarnya berulang-ulang. “Orangutan, di jalan!” Berbagai ungkapan dan pujian ramai terlontar. Pengunjung di Kalimantan jarang melihat orangutan liar; kebanyakan melihat binatang setengah jinak di pusat rehabilitasi terkenal seperti Sepilok di Sabah atau Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah.

Sebenarnya ada makna yang lebih di balik peristiwa ini, selain nasib saya yang sangat baik. Apa yang baru saya lihat mencerminkan salah satu isu penting keanekaragaman hayati Kalimantan—dan harapan tipis untuk melestarikannya. “Hutan industri merupakan masa depan kehidupan liar di Kalimantan,” ujar Siew Te Wong, yang bekerja dalam pelestarian beruang madu yang terancam punah.!break!

“Di Kalimantan, spesies dalam kawasan luas tidak punah oleh satu, bahkan dua, atau mungkin tiga pembalakan,” ujar Junaidi Payne dari kantor WWF Sabah. “Keseimbangan spesies berubah secara drastis, tetapi bahkan burung yang khusus, epifit, atau anggrek masih tetap ada jika kita cari di lembah-lembah kecil atau kawasan basah. Jadi, kita dapat membalak hutan dan tetap melestarikan keanekaragaman hayati. Namun, yang tak dapat dilakukan adalah mengubah semuanya menjadi perkebunan monokultur,” seperti kelapa sawit. “Dengan begitu, kita kehilangan semuanya. Itu adalah gurun biologis.”

Ahli geografi WWF Raymond Alfred mengajak saya berkeliling Hutan Lindung Ulu Segama milik pemerintah Sabah, tempat di mana rimba sepenuhnya—dan secara legal—dibalak, menyisakan hutan yang tampak sangat kerdil bila dibandingkan dengan hutan hujan pencakar langit di Lembah Danum yang letaknya tak jauh dari situ. Meski demikian, para peneliti menemukan konsentrasi orangutan terpadat di sini dan spesies itu berkembang biak di kawasan yang serupa di seluruh pulau. Alfred dan para pelestari lingkungan lainnya di Sabah berhasil membujuk pemerintah untuk menyelamatkan hutan terdegradasi ini yang sebelumnya direncanakan dikonversi menjadi lahan kebun sawit. Moratorium penebangan selama sepuluh tahun memberi mereka waktu untuk mempelajari orangutan dan mereka berharap dapat mendirikan penginapan dan menarik wisatawan yang mengunjungi pusat rehabilitasi Sepilok di Sungai Kinabatangan yang letaknya tak jauh dari situ.

Di Kalimantan Timur, Meijaard menghabiskan sebagian besar waktunya dalam beberapa tahun terakhir, bekerja dengan perusahaan penebangan hutan untuk membantu mereka menebang pohon secara berkelanjutan, dan dengan desa-desa setempat untuk mencarikan cara agar mereka mendapatkan penghasilan dari hutan. Kaum puritan mungkin membayangkan tujuan pelestarian utama di Kalimantan adalah menyisihkan kawasan luas hutan belantara yang tidak tersentuh, tetapi bagi para ahli biologi yang berurusan dengan kenyataan sehari-hari, kompromi merupakan satu-satunya alternatif yang realistis.

Saat Meijaard menghabiskan waktu di desa-desa, mendiskusikan pilihan antara pelestarian hutan dan perkebunan kelapa sawit, dia tidak pernah menyebut-nyebut orangutan. “Orang akan bosan dalam waktu lima menit. Bagi mereka, orangutan itu hanyalah satu jenis monyet di pohon yang membuat orang Barat ingin datang dan melihatnya. Namun, jika saya bicara dengan mereka tentang ikan di sungai atau babi di hutan, baru mereka memperhatikan, karena itulah sumber daya yang dapat mereka ambil dari hutan.”!break!

Meijaard tidak sentimental tentang penebangan pohon dan kesucian hutan hujan perawan. “Hei, ini daerah tropis, Bung. Tanaman akan tumbuh kembali,” ujarnya. “Bagaimanapun, hutan ini harus menghasilkan uang.” Kalau tidak, tak bisa dihindari hutan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit atau kayu pulp.

“Cobalah yakinkan orang yang sekarang memiliki kesempatan ekonomi untuk melepaskan keuntungan-keuntungan itu demi keuntungan yang lain beberapa tahun kemudian,” kata Paul Hartman, seorang pelestari orangutan. “Bupati menjabat selama lima tahun, dan katanya ‘Aku harus menghasilkan uang sekarang.’”

Pengelolaan hutan berkelanjutan—penebangan yang memberi penghasilan tanpa mengorbankan keberlangsungan ekosistem dalam jangka panjang—takkan mudah diterima. Di Sangatta, Kalimantan Timur, saya berbicara dengan Daddy Ruhiyat, seorang staf ahli pemda bidang pelestarian lingkungan hidup. “Kami telah meminta perusahaan kehutanan untuk memperlihatkan kepada kami, bagaimana hutan dapat menjadi semenguntungkan kelapa sawit,” ujarnya. “Namun, saat ini tidak ada ide segar dari sektor kehutanan untuk membuat tanah lebih produktif. Pilihan kami cuma hutan subur tanpa uang atau membabat hutan untuk kelapa sawit. Ada banyak sekali perusahaan yang meminta tanah untuk pengembangan kelapa sawit.”

Ruhiyat melihat peran kehutanan di kabupatennya, tetapi terutama untuk penanaman jati super yang dapat ditebang setiap 15 tahun. “Kami ingin spesies yang bisa menghasilkan dalam putaran waktu yang relatif singkat,” ujarnya. “Kami harus menanam hutan dalam perkebunan. Itulah jalan satu-satunya.”!break!

Saya bertanya bagaimana perasaannya tentang orang seperti saya, dari Amerika Serikat, negara yang membabat hutannya, menambang batubara, menguras kehidupan liar, lalu menjadi makmur, dan datang ke Kalimantan untuk mempertanyakan keputusan masyarakat setempat tentang pelestarian.

“Masuk akal jika orang dari negara-negara lain memiliki keprihatinan tentang lingkungan hidup di Kalimantan,” ujarnya. “Saya tidak ada ganjalan soal itu. Namun, langkah terpenting adalah membuat masyarakat punya penghasilan lebih. Itu dimulai dengan perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan uang sehingga orang bisa menikmati hidup. Sulit bagi orang lapar untuk menghargai alam.”

Glen Reynolds dari Pusat Kajian Lapangan Lembah Danum berkata bahwa, “pembayaran jasa lingkungan hidup” merupakan satu-satunya cara yang bisa mengimbangi pembabatan hutan dan perkebunan sawit. Dia menggunakan istilah umum itu untuk menemukan cara membayar masyarakat, wilayah, atau negara agar menjaga ekosistemnya tetap sehat dan berfungsi. “Tanpa itu, tak akan ada hutan hujan dataran rendah yang tersisa di Kalimantan sepuluh tahun lagi,” kata Reynolds.

Protokol Kyoto 1997 tentang pengurangan gas rumah kaca untuk memerangi perubahan iklim secara kontroversial tidak mencantumkan ketentuan tentang membayar perlindungan hutan yang ada—“deforestasi yang dihindari”—namun konferensi multinasional Desember 2007 di Bali mengangkat masalah itu, karena dianggap sebagai revisi atas pakta Kyoto. !break!

Akronim baru, REDD (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation/Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan), muncul di garis depan perdebatan perubahan iklim, dan para pelestari lingkungan di Kalimantan segera melihatnya mungkin sebagai harapan terbaik yang terakhir bagi masa depan—menawarkan kemungkinan rencana kerja di mana negara-negara kaya memerangi perubahan iklim dengan membayar pelestarian kawasan yang signifikan dari hutan hujan tropis. Berbagai masalah besar menghalangi pelaksanaan REDD, tetapi bagi masyarakat yang melihat hutan Kalimantan menghilang, ini adalah kesempatan.

“REDD, menurut pendapat saya, adalah satu prospek besar yang terlihat,” kata Frances Seymour dari CIFOR. “Mari kita luruskan duduk perkaranya: Mengapa orang menebang pohon? Demi uang. Jika Anda dapat memberi masyarakat kesempatan memperoleh uang yang sama atau lebih banyak dengan membiarkan pohon itu berdiri, itulah jawaban yang Anda cari.”

Pada akhirnya, konservasi di Kalimantan bukanlah tentang keindahan hutan hujan, orangutan, gajah, atau bahkan kelapa sawit. Tak seorang pun pelestari lingkungan yang saya wawancarai berpendapat bahwa minyak sawit pada hakikatnya buruk dan sebagian besar sepakat bahwa industri yang dikelola secara benar akan menguntungkan rakyat miskin tanpa mengorbankan kekayaan biologis Kalimantan. Anne Casson, salah satu pendiri kelompok lingkungan hidup SEKALA, mewakili pandangan umum saat dia berkata, “Kukira tak ada yang berkata kita tak boleh menanam kelapa sawit lagi. Namun, ditanam di mana? Kelapa sawit dapat ditanam di lahan terdegradasi, bukannya di hutan. Hingga saat ini, izin perkebunan kelapa sawit masih diberikan secara khusus, tanpa mempertimbangkan masalah lingkungan. Ini dapat berubah jika ada kemauan politik yang cukup dan perencanaan wilayah yang baik.”

Namun, semuanya itu bermuara ke satu hal. “Semuanya tentang uang,” ujar Casson. “Uang, uang, uang.”!break!

Berikut ini mimpi yang lain. Di pinggir jalan tanah di Kalimantan bagian selatan, berdiri sebuah rumah kayu satu kamar, disertai beberapa pohon pisang di halaman dan kebun sayur kecil di belakangnya. Di samping rumah itu ada seorang lelaki yang berjongkok mencuci sepeda motor Yamaha Jupiter Z. Warnanya merah, dan berkilat di bawah terik mentari saat lelaki itu membilas busa sabun.

Nama lelaki itu, sebut saja Pak Wang. Dengan motor barunya, dia bisa pergi ke desa terdekat dalam beberapa menit, alih-alih berjalan di pinggir jalan raya selama hampir satu jam. Di desa itu dia bisa berkumpul dengan teman-temannya, membeli keperluan, mengunjungi kedai karaoke, dan menonton televisi di rumah makan milik pamannya. Dia bisa merasa menjadi bagian dari dunia ini.

Pak Wang ingin ponsel. Sebagian besar temannya telah punya, dan jika dia juga punya, akan lebih mudah baginya membuat rencana dengan mereka, bertanya mau malam mingguan ke mana, atau mengapel Unita, gadis cantik penjual buah di warung pinggir jalan di kota.

Jadi. Begini pesan bagi dunia. Jika kita ingin melindungi hutan Kalimantan, melestarikan bagian yang esensial dari keanekaragaman hayatinya yang mengagumkan, menjamin bahwa orangutan punya tempat untuk membuat sarang setiap malam, dan burung enggang punya buah untuk dimakan, katak terbang punya pohon untuk tempat tinggal, hanya ada satu cara untuk melakukannya. Kita perlu menemukan cara agar Pak Wang dapat membeli ponsel yang diinginkannya. Dan, setelah dia menikahi penjual buah yang cantik itu, temukan cara agar mereka bisa menjaga kesehatan anak-anak dan menyekolahkan mereka. Cara yang menawarkan masa depan yang lebih baik, tanpa harus mengubah hutan mereka menjadi perkebunan kelapa sawit atau lubang-lubang steril tambang terbuka.

Dan kita harus melakukannya saat masih ada yang bisa dilindungi.