Saat Penentuan Kalimantan

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 17:25 WIB

Di Kalimantan Timur, Meijaard menghabiskan sebagian besar waktunya dalam beberapa tahun terakhir, bekerja dengan perusahaan penebangan hutan untuk membantu mereka menebang pohon secara berkelanjutan, dan dengan desa-desa setempat untuk mencarikan cara agar mereka mendapatkan penghasilan dari hutan. Kaum puritan mungkin membayangkan tujuan pelestarian utama di Kalimantan adalah menyisihkan kawasan luas hutan belantara yang tidak tersentuh, tetapi bagi para ahli biologi yang berurusan dengan kenyataan sehari-hari, kompromi merupakan satu-satunya alternatif yang realistis.

Saat Meijaard menghabiskan waktu di desa-desa, mendiskusikan pilihan antara pelestarian hutan dan perkebunan kelapa sawit, dia tidak pernah menyebut-nyebut orangutan. “Orang akan bosan dalam waktu lima menit. Bagi mereka, orangutan itu hanyalah satu jenis monyet di pohon yang membuat orang Barat ingin datang dan melihatnya. Namun, jika saya bicara dengan mereka tentang ikan di sungai atau babi di hutan, baru mereka memperhatikan, karena itulah sumber daya yang dapat mereka ambil dari hutan.”!break!

Meijaard tidak sentimental tentang penebangan pohon dan kesucian hutan hujan perawan. “Hei, ini daerah tropis, Bung. Tanaman akan tumbuh kembali,” ujarnya. “Bagaimanapun, hutan ini harus menghasilkan uang.” Kalau tidak, tak bisa dihindari hutan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit atau kayu pulp.

“Cobalah yakinkan orang yang sekarang memiliki kesempatan ekonomi untuk melepaskan keuntungan-keuntungan itu demi keuntungan yang lain beberapa tahun kemudian,” kata Paul Hartman, seorang pelestari orangutan. “Bupati menjabat selama lima tahun, dan katanya ‘Aku harus menghasilkan uang sekarang.’”

Pengelolaan hutan berkelanjutan—penebangan yang memberi penghasilan tanpa mengorbankan keberlangsungan ekosistem dalam jangka panjang—takkan mudah diterima. Di Sangatta, Kalimantan Timur, saya berbicara dengan Daddy Ruhiyat, seorang staf ahli pemda bidang pelestarian lingkungan hidup. “Kami telah meminta perusahaan kehutanan untuk memperlihatkan kepada kami, bagaimana hutan dapat menjadi semenguntungkan kelapa sawit,” ujarnya. “Namun, saat ini tidak ada ide segar dari sektor kehutanan untuk membuat tanah lebih produktif. Pilihan kami cuma hutan subur tanpa uang atau membabat hutan untuk kelapa sawit. Ada banyak sekali perusahaan yang meminta tanah untuk pengembangan kelapa sawit.”

Ruhiyat melihat peran kehutanan di kabupatennya, tetapi terutama untuk penanaman jati super yang dapat ditebang setiap 15 tahun. “Kami ingin spesies yang bisa menghasilkan dalam putaran waktu yang relatif singkat,” ujarnya. “Kami harus menanam hutan dalam perkebunan. Itulah jalan satu-satunya.”!break!

Saya bertanya bagaimana perasaannya tentang orang seperti saya, dari Amerika Serikat, negara yang membabat hutannya, menambang batubara, menguras kehidupan liar, lalu menjadi makmur, dan datang ke Kalimantan untuk mempertanyakan keputusan masyarakat setempat tentang pelestarian.

“Masuk akal jika orang dari negara-negara lain memiliki keprihatinan tentang lingkungan hidup di Kalimantan,” ujarnya. “Saya tidak ada ganjalan soal itu. Namun, langkah terpenting adalah membuat masyarakat punya penghasilan lebih. Itu dimulai dengan perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan uang sehingga orang bisa menikmati hidup. Sulit bagi orang lapar untuk menghargai alam.”

Glen Reynolds dari Pusat Kajian Lapangan Lembah Danum berkata bahwa, “pembayaran jasa lingkungan hidup” merupakan satu-satunya cara yang bisa mengimbangi pembabatan hutan dan perkebunan sawit. Dia menggunakan istilah umum itu untuk menemukan cara membayar masyarakat, wilayah, atau negara agar menjaga ekosistemnya tetap sehat dan berfungsi. “Tanpa itu, tak akan ada hutan hujan dataran rendah yang tersisa di Kalimantan sepuluh tahun lagi,” kata Reynolds.

Protokol Kyoto 1997 tentang pengurangan gas rumah kaca untuk memerangi perubahan iklim secara kontroversial tidak mencantumkan ketentuan tentang membayar perlindungan hutan yang ada—“deforestasi yang dihindari”—namun konferensi multinasional Desember 2007 di Bali mengangkat masalah itu, karena dianggap sebagai revisi atas pakta Kyoto. !break!

Akronim baru, REDD (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation/Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan), muncul di garis depan perdebatan perubahan iklim, dan para pelestari lingkungan di Kalimantan segera melihatnya mungkin sebagai harapan terbaik yang terakhir bagi masa depan—menawarkan kemungkinan rencana kerja di mana negara-negara kaya memerangi perubahan iklim dengan membayar pelestarian kawasan yang signifikan dari hutan hujan tropis. Berbagai masalah besar menghalangi pelaksanaan REDD, tetapi bagi masyarakat yang melihat hutan Kalimantan menghilang, ini adalah kesempatan.

“REDD, menurut pendapat saya, adalah satu prospek besar yang terlihat,” kata Frances Seymour dari CIFOR. “Mari kita luruskan duduk perkaranya: Mengapa orang menebang pohon? Demi uang. Jika Anda dapat memberi masyarakat kesempatan memperoleh uang yang sama atau lebih banyak dengan membiarkan pohon itu berdiri, itulah jawaban yang Anda cari.”

Pada akhirnya, konservasi di Kalimantan bukanlah tentang keindahan hutan hujan, orangutan, gajah, atau bahkan kelapa sawit. Tak seorang pun pelestari lingkungan yang saya wawancarai berpendapat bahwa minyak sawit pada hakikatnya buruk dan sebagian besar sepakat bahwa industri yang dikelola secara benar akan menguntungkan rakyat miskin tanpa mengorbankan kekayaan biologis Kalimantan. Anne Casson, salah satu pendiri kelompok lingkungan hidup SEKALA, mewakili pandangan umum saat dia berkata, “Kukira tak ada yang berkata kita tak boleh menanam kelapa sawit lagi. Namun, ditanam di mana? Kelapa sawit dapat ditanam di lahan terdegradasi, bukannya di hutan. Hingga saat ini, izin perkebunan kelapa sawit masih diberikan secara khusus, tanpa mempertimbangkan masalah lingkungan. Ini dapat berubah jika ada kemauan politik yang cukup dan perencanaan wilayah yang baik.”

Namun, semuanya itu bermuara ke satu hal. “Semuanya tentang uang,” ujar Casson. “Uang, uang, uang.”!break!

Berikut ini mimpi yang lain. Di pinggir jalan tanah di Kalimantan bagian selatan, berdiri sebuah rumah kayu satu kamar, disertai beberapa pohon pisang di halaman dan kebun sayur kecil di belakangnya. Di samping rumah itu ada seorang lelaki yang berjongkok mencuci sepeda motor Yamaha Jupiter Z. Warnanya merah, dan berkilat di bawah terik mentari saat lelaki itu membilas busa sabun.

Nama lelaki itu, sebut saja Pak Wang. Dengan motor barunya, dia bisa pergi ke desa terdekat dalam beberapa menit, alih-alih berjalan di pinggir jalan raya selama hampir satu jam. Di desa itu dia bisa berkumpul dengan teman-temannya, membeli keperluan, mengunjungi kedai karaoke, dan menonton televisi di rumah makan milik pamannya. Dia bisa merasa menjadi bagian dari dunia ini.

Pak Wang ingin ponsel. Sebagian besar temannya telah punya, dan jika dia juga punya, akan lebih mudah baginya membuat rencana dengan mereka, bertanya mau malam mingguan ke mana, atau mengapel Unita, gadis cantik penjual buah di warung pinggir jalan di kota.

Jadi. Begini pesan bagi dunia. Jika kita ingin melindungi hutan Kalimantan, melestarikan bagian yang esensial dari keanekaragaman hayatinya yang mengagumkan, menjamin bahwa orangutan punya tempat untuk membuat sarang setiap malam, dan burung enggang punya buah untuk dimakan, katak terbang punya pohon untuk tempat tinggal, hanya ada satu cara untuk melakukannya. Kita perlu menemukan cara agar Pak Wang dapat membeli ponsel yang diinginkannya. Dan, setelah dia menikahi penjual buah yang cantik itu, temukan cara agar mereka bisa menjaga kesehatan anak-anak dan menyekolahkan mereka. Cara yang menawarkan masa depan yang lebih baik, tanpa harus mengubah hutan mereka menjadi perkebunan kelapa sawit atau lubang-lubang steril tambang terbuka.

Dan kita harus melakukannya saat masih ada yang bisa dilindungi.