Saat Penentuan Kalimantan

By , Jumat, 27 Februari 2009 | 17:25 WIB

“Kontraktornya memberi bayaran kepada pemerintah untuk mendapatkan kontrak pembuatan jalan dan kemudian sengaja membuatnya dengan jelek agar mendapat proyek perbaikan beberapa tahun kemudian, sehingga semua pihak bisa mendapatkan uang lebih banyak,” kata salah satu rekan saya. Hingga kini, saya sudah begitu sering mendengar cerita seperti ini sehingga hal tersebut terasa biasa.

Setelah menyeberangi jembatan Sungai Telen, kami berhenti di dekat rumah di pinggir jalan yang hampir tak layak disebut rumah. Bangunan itu hanyalah dangau kayu tak berdinding yang paling banter hanya semeter persegi, lantai panggungnya ditopang gelondongan kayu setinggi orang dewasa dari atas tanah. Atapnya terpal plastik biru yang ditunjang galah. Seorang perempuan dan dua orang anak berada di atas lantai, sementara tiga anak lain bermain di bawahnya.

Batang pohon yang tergeletak bertebaran di ladang di balik dangau ini; tanahnya hitam baru dibakar, sementara asap mengepul di sana-sini. Beberapa lelaki dan perempuan bekerja di ladang dengan parang dan tugal yang terbuat dari belian atau kayu besi. Perusakan hutan dan pemusnahan habitat tersebut terjadi tepat di depan mataku.

Dua laki-laki datang untuk mengobrol dengan kami—Udan Usat dan Ismael, paman dan kemenakan. Mereka memakai caping untuk berlindung dari sengatan matahari. Wajah dan tangan mereka berlapis jelaga, sementara keringat bercucuran di kulitnya.!break!

Mereka dari suku Kenyah dan pindah ke sini tahun lalu. Sebelumnya, mereka tinggal di desa yang bernama Long Noran di Sungai Wahau di pedalaman Kalimantan. Hutan di sana telah lama musnah, dibabat oleh perusahaan kayu besar yang dimiliki oleh Bob Hasan yang reputasinya buruk, seorang kroni Soeharto dan mantan menteri yang kemudian divonis bersalah melakukan korupsi. Karena hanya tersisa belukar, seluruh kawasan di sekitar desa mereka, yang berada di dalam wilayah konsesi kayu perusahaan itu, terbakar dalam kebakaran besar tahun 1997-98. Kebakaran itu dipicu oleh beberapa perusahaan yang membuka lahan untuk perkebunan dan dengan cepat menyebar ke tanah sekitarnya selama musim kemarau.

“Kami punya kebun, pohon buah-buahan, pohon karet, kebun sayur, semuanya terbakar,” ujar Udan Usat. “Terjadi konflik dengan perusahaan kayu. Mereka menuduh kami yang menyebabkan kebakaran, tetapi bukan kami yang melakukannya. Apinya datang dari jauh.”

Keadaan menjadi sangat sulit setelah itu. “Di tempat kami tinggal, perlu satu jam perjalanan perahu dan 15 kilometer jalan darat untuk mencapai permukiman terdekat yang ada pasarnya,” katanya. “Mahal kalau pakai kapal.”

Pemerintah menjanjikan setiap keluarga mendapat lima hektare di sepanjang jalan ini jika mereka ingin pindah. Beberapa penduduk desa datang melihat tanah ini, berunding, lalu 169 keluarga memutuskan untuk memulai awal baru di tempat ini.

“Di sini, kami berada di antara dua kota, jadi lebih mudah menjual hasil panen kami saat ladang mulai menghasilkan,” kata Ismael. Keluarga yang berdekatan bergotong royong, menggilir ladang yang dikerjakan bersama setiap hari. Mereka akan menanam padi, pisang, dan rambutan. Pembakaran yang baru mereka lakukan akan menambah kesuburan tanah dan mereka berharap dapat menikmati panen pertama tahun depan. Keluarga-keluarga tinggal di dangau sementara saat ini, karena lebih penting menanami ladang daripada membangun rumah permanen. Ismael adalah kepala sekolah dasar di Long Noran, dan suatu hari nanti, jika ada cukup anak-anak di sini di Sungai Telen, keluarga-keluarga tersebut mungkin akan membangun sekolah.

“Semoga hidup di sini lebih baik—itulah harapan kami,” ujar Ismael.

Saya berterima kasih kepada mereka atas perbincangan itu dan bertanya-tanya apakah perlu memberi uang untuk menggantikan waktu mereka yang tersita. Teropong saya lebih mahal daripada penghasilan keduanya selama setahun. Saat saya bersiap pergi, seorang anak perempuan kira-kira umur tujuh tahun membawa kantong plastik berisi dua untuk, kue tepung goreng, dan sebuah lemper—hadiah makanan untuk saya. Dia menyodorkan kantong itu. Senyumnya membuat hati saya remuk redam.!break!

Biarpun gedung pencakar langit yang menakjubkan bermunculan di sekitar Jakarta, biarpun mobil-mobil baru berjejalan di jalan, fakta penting yang memengaruhi pelestarian di Kalimantan adalah kemiskinan ekstrem pada sebagian besar orang Indonesia yang mendiami tiga perempat pulau tersebut. Apapun strategi yang dipakai para pakar lingkungan untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati Kalimantan harus terlebih dahulu memberi jalan kepada penduduknya untuk meningkatkan taraf hidup.