Saat mobil melaju kencang di jalan tanah yang sempit, saya khawatir kunjungan kami bakal mengurangi populasi ayam di sekitar tmpat itu. Tampaknya bagi orang Jawa, tujuan utama memelihara ayam adalah untuk menghasilkan ayam aduan karena kami mengusir begitu banyak ayam jago nan gagah dari tengah jalan. Unggas-unggas itu berdiri tak acuh di tengah jalan sampai nyaris digilas mobil.
Ayam aduan menjadi salah satu kesenangan orang Jawa, tetapi kurang menarik bagi saya, orang Amerika yang menggemari ayam goreng. Ayam Jawa dagingnya alot dan kurus, hanya sedikit daging yang menempel di tulangnya yang besar. Telurnya kira-kira setengah ukuran telur ayam Plymouth Rock.
Tibalah kami di rumah pak haji yang kecil dan sederhana, tetapi bersih dan kokoh dengan udara berembus bebas dari dinding gedeknya. Rumah tersebut terletak di tengah desa yang diteduhi pepohonan. Rumah-rumah di desa itu serupa dengan rumah pak haji. Sementara itu, kolam ikan terlihat ada di mana-mana, menampung ikan mas dan ikan lainnya yang menunggu giliran menjadi pelengkap menu sederhana penduduk desa itu.
Adapun sekolah pak haji berupa rumah kecil satu ruangan yang tanpa perabot; guru dan murid duduk bersila di lantai. Tiga anak kecil berpeci hitam yang pemalu tetapi ramah memperlihatkan asrama tempat mereka tinggal kepada kami. Ternyata asrama tersebut berada di rumah kecil satu ruangan itu juga, yang disekat dengan gedek menjadi beberapa bilik kecil nan gelap, masing-masing berisi sebuah balai-balai tanpa kasur dan seprai.
Tuan rumah kami, seorang pria kurus yang terlihat muda dengan mata lincah dan wajah cerdas, mempersilakan kami duduk di teras dan mengobrol. Sementara dia menggelar tikar, kami melepas sepatu dan duduk melingkar dengan cara Timur, bersila. Si tuan rumah bertanya dan berkomentar dalam bahasa Arab yang diterjemahkan Van der Plas, meliputi berbagai peristiwa lokal dan dunia, agama, serta filsafat. Namun, saya lega ketika tiba saatnya untuk pergi dan bisa meluruskan kaki yang pegal.!break!
Hari sudah petang, dengan enggan kami kembali ke Batavia dan kembali disambut oleh lilin-lilin yang berkelip di pasar saat tiba setelah magrib.
Saya membawa pulang kesan yang tak terlupakan tentang kehidupan pedesaan yang tenang di daerah Sunda; tentang rumah kecil dengan halaman berpasir yang bersih dan rapi, setengah tersembunyi dalam semak berbunga dan dinaungi rumpun pisang dan pohon buah-buahan yang diselingi kolam ikan; tentang tanah subur nan indah yang penuh dengan orang kecil berpembawaan ramah, bibir tersenyum, dan ringan melambaikan tangan. Ke Yogyakarta, Benteng Republik
Pagi-pagi esoknya, saya dan Harry Summers naik gerbong dinas kereta api yang menuju Yogyakarta, ibu kota Republik yang terletak di bagian tengah Jawa. Kami berdua sangat bersemangat mengunjungi wilayah yang berada di bawah pemerintahan nasionalis sejak proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Di dalam gerbong itu ada dua menteri Kabinet Republik dan pejabat lain yang kembali ke Yogyakarta dari penandatanganan resmi perjanjian damai Linggarjati dengan Belanda di Batavia beberapa hari sebelumnya, pada 25 Maret 1947. Ternyata, selain kami tak ada orang kulit putih lain di kereta itu.
Tak sampai satu jam lepas dari Batavia, kereta kami berhenti di Kranji yang menjadi perbatasan daerah yang dikuasai Belanda di sekitar Batavia. Di tapal batas tersebut, semua penumpang kecuali yang ada di gerbong dinas harus melewati pemeriksaan militer dan pabean Belanda.
Saat melihat satu peleton tentara Belanda yang kekar berlatih di peron stasiun, saya teringat bahwa selama berbulan-bulan pasukan Belanda dan Republik saling berhadapan di perbatasan ini. Tak jarang meletus pertempuran kecil meski sudah ada perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani kedua belah pihak November 1946.
Tak jauh selepas Kranji kami berhenti lagi untuk pemeriksaan tanda pengenal semua penumpang yang dilakukan oleh perwira dan prajurit Republik.