Lawatan Pascaperang Keliling Jawa

By , Jumat, 6 Agustus 2010 | 13:11 WIB

Borobudur Masih Mengagungkan Buddha

Pada suatu sore, Johnny berhasil mendapatkan mobil mungil buatan Inggris dan membawa kami mengunjungi monumen pamungkas peradaban India kuno di Jawa, Borobudur.

Perjalanan satu jam melalui pedesaan yang selalu memikat membawa kami ke candi Buddha yang terkenal di dunia, yang ditemukan terkubur dalam gundukan reruntuhan dan digali serta dipugar oleh pemerintah Hindia Belanda. Saat mendekat, kami bisa melihatnya dari kejauhan, Borobudur bercokol di puncak bukit di ujung lembah besar yang dikelilingi pegunungan terjal.

Saat mobil kami mendaki bukit itu dan berhenti, ukuran candi yang luar biasa besar dan dekorasinya yang rumit membangkitkan rasa kagum. Katedral terbesar di Eropa, meski lebih anggun dan memiliki menara yang jauh lebih tinggi, terlihat kecil dan tak berarti jika dibandingkan keajaiban berumur 1.100 tahun tersebut.

Bangunan tua itu menjulang seperti piramida bertingkat yang bersudut tumpul, dari dasarnya yang seukuran blok kota yang cukup besar hingga sebuah kubah besar berbentuk lonceng dengan menara yang seakan terpotong tak jauh dari pangkalnya.

Di sisi candi, di mana-mana terlihat wajah sang Buddha yang tenang dan pengasih, menatap kita atau ke dalam diri kita dengan raut kebijaksanaan abadi.

Di serambi atas, pemuliaan Buddha berbentuk lain. Di pinggir serambi terdapat dinding batu berlubang yang berjarak teratur, masing-masing berupa replika mini kubah besar berbentuk lonceng dan berisi arca Buddha yang duduk dengan tangan tertekuk, telapak tangan menghadap ke atas di depan tubuhnya.

Saya melihat Johnny yang tangannya masuk ke salah satu celah di dinding, berusaha menyentuh telapak tangan arca yang sedang bersemadi.!break!

"Jika kita menyentuh telapak Buddha dan membuat permohonan, permohonan itu akan dikabulkan," jelasnya. Lalu, setelah berhasil, ujarnya dengan suara rendah: "Saya mohon, saya mohon bisa mendapatkan seorang pacar yang baik."

Beberapa hari kemudian saya dan Summers diundang menemani Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah pejabat Republik lainnya bersafari selama empat hari ke Jawa Barat.

Perjalanan itu mengingatkan saya pada tur kampanye presiden di AS. Bedanya, di sini orang berkumpul menyambut pemimpin mereka sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia, bukan sebagai pemimpin partai politik tunggal.

Anggur kebebasan dan demokrasi yang memabukkan, saya amati, membangkitkan semangat nasionalisme dan suka cita sebagian besar penduduk. Di bawah pengaruh karisma dan pidato Soekarno, rakyat dengan cepat menunjukkan gejala seperti orang mabuk sampanye.