Lawatan Pascaperang Keliling Jawa

By , Jumat, 6 Agustus 2010 | 13:11 WIB

Banyak penjaga perbatasan di sisi Indonesia tampak baru beranjak remaja, sebagian besar begitu pendek dan kurus sehingga senapan yang mereka bawa terlihat terlalu berat. Seragam yang mereka pakai juga sangat beragam, demikian pula perlengkapan senjatanya. Sebagian besar seragam dan perlengkapan kelihatannya berasal dari tentara Jepang. Para prajurit tersebut mondar-mandir dengan penuh gaya di peron, jelas menikmati perannya sebagai tentara.!break!

Rambut Panjang Bukti Patriotisme

Beberapa pemuda di tempat tersebut, seperti di banyak tempat lainnya di pedalaman Jawa, membiarkan rambut mereka tumbuh panjang untuk memenuhi sumpah di awal perang kemerdekaan untuk tidak memangkas rambut sampai Indonesia meraih kemerdekaan. Sehingga, orang asing sulit membedakan jenis kelamin beberapa orang "gondrong" itu.

Seorang petugas yang tampak efisien, pasti gadis, memeriksa tanda pengenal semua orang yang turun dari kereta. Saya diberi tahu bahwa para penjaga dan gadis itu termasuk di antara banyak siswa yang dibebaskan dari sekolahnya untuk membantu menjalankan roda pemerintahan.

Sepanjang pagi, lokomotif berbahan bakar kayu dengan kru Indonesia tersebut menghela kereta dengan cukup cepat di pesisir Jawa nan luas yang jadi lumbung padi Hindia Belanda. Sawah hijau membentang hingga ke laut di utara dan pegunungan terjal yang menjulang di ufuk selatan.

Menanam dan menuai padi di wilayah seluas ini perlu usaha yang besar karena setiap benih padi ditancapkan ke dalam lumpur dengan tangan manusia dan dipanen juga dengan tangan—cara tersebut tak berubah selama dua atau tiga ribu tahun.    Memancing di Sawah

Sesekali kami melihat pemancing berdiri mematung dengan joran panjang dan senar terulur ke dalam sawah yang padinya hampir dewasa. Rumpun padi menyembunyikan genangan air yang sangat dangkal, tetapi tetap dihuni ikan kecil yang menjadi lauk tambahan bagi petani yang umumnya hanya makan nasi dan buah.

Sesekali kami melihat orang desa mandi telanjang di sungai berlumpur yang banyak buaya.

Di pedesaan banyak kerbau dan hampir selalu diiringi anak gembala yang hanya memakai cawat. Baik kerbau yang merumput di tepi rel kereta api atau yang berkubang di lumpur atau di sungai, biasanya ada bocah angon yang kulitnya terbakar matahari dan menunggangi punggung lebar salah satu kerbau.

Di kemudian hari, Presiden Republik Indonesia Achmad Soekarno memberi tahu saya tentang salah satu kebiasaan makhluk raksasa bertanduk besar melengkung yang digunakan untuk menarik bajak kayu di sawah. Kerbau, kata Soekarno, biasanya lembut dan jinak, tetapi mudah marah dan berbahaya jika petani mencoba memaksanya bekerja setelah pukul 11 pagi, saat sinar matahari yang nyaris tegak lurus membuatnya ingin berendam di dalam air atau lumpur.!break!

Selama singgah di beberapa stasiun sepanjang jalur kereta, kami mencoba beberapa jenis buah, termasuk manggis lezat yang kulit ungunya menyimpan daging buah putih nan segar; juga kelapa hijau besar yang menyemburkan air menyejukkan seperti air mancur kecil saat seorang anak kecil melubanginya dengan tangkas.

Namun, beberapa "makanan lezat" yang disodorkan penjaja kepada penumpang pribumi yang menggemarinya membuat perutku bergolak saat melihatnya—ayam panggang, keripik pisang, daging kambing, kue ketan, dan sebagainya, yang terpanggang sinar matahari tropis dan bertabur debu serta jelaga kereta api yang lewat.