Lawatan Pascaperang Keliling Jawa

By , Jumat, 6 Agustus 2010 | 13:11 WIB

Banyak dinding kosong di pusat kota masih berhias slogan propaganda kusam yang ditulis para nasionalis Jawa setelah proklamasi Republik Indonesia pada tahun 1945, saat mereka berharap pasukan AS dikirim ke Jawa untuk menerima penyerahan pasukan pendudukan Jepang.

Banyak slogan itu meniru atau mengadaptasi ucapan patriotik pahlawan Amerika: "Merdeka atau Mati," "Sekali Merdeka Tetap Merdeka," "Bersatu Kita Teguh," dan sebagainya.

Salah satu pegawai muda Indonesia yang bertugas memandu dan membantu kami adalah Johnny Senduk. Johnny langsung menarik perhatian saya karena ungkapan gaul Amerika yang sering terselip di bahasa Inggrisnya yang lancar. Dia seorang Kristen dari Manado yang melaut untuk mencari petualangan dan, seperti banyak pelaut Indonesia, kabur dari kapal di New York. Dia pernah tinggal nyaman di Brooklyn selama beberapa tahun, jadi keranjingan musik swing dan minuman ringan Amerika dan memiliki kekaguman mendalam terhadap AS sebagai sebuah negara.!break!

Wajib militer pada masa perang mengungkapkan status Johnny sebagai imigran ilegal, dia pun dideportasi. Sekarang dia mengisi waktu dengan menulis puisi, mengedit majalah bahasa Inggris yang diterbitkan Republik Indonesia, dan mengurusi penulis dan wartawan asing yang ingin tahu.

Setiap kali bisa meluangkan waktu satu-dua jam dari kesibukannya yang beragam, Johnny pergi bersama sesama penggemar jazz ke sebuah bar es krim di Yogyakarta yang menyajikan es krim tawar dengan iringan musik jazz populer dari koleksi rekaman Amerika yang telah usang.

Pada suatu sore yang cerah, Johnny membawa kami berkunjung ke keraton tempat tinggal Sultan. Sultan jarang mengunjungi keraton tersebut dan lebih suka kantor pusat pemerintahannya yang lebih sederhana dan bersuasana modern. Jadi keraton itu dipertahankan terutama karena tradisi dan kebiasaan, dirawat oleh jajaran pegawai, penjaga, dan abdi dalem yang turun-temurun.

Melewati gerbang luar terasa seperti memasuki dunia lain—dunia yang damai, adiluhung, dan tenang berwibawa, dengan paduan serasi garis dan warna. Jalan masuk ke halaman dalam dijaga dua arca dwarapala gendut, duduk dengan senjata terhunus, mungkin untuk mengusir roh jahat. Seorang penjaga manusia yang sama uniknya, lelaki tua keriput berbadan kecil dengan kumis tipis abu-abu, berdiri memegang tombak yang gagangnya terpancang di lantai marmer.

Ujung tombak itu ternyata masih tetap dilumuri racun seperti dalam tradisi kuno. Namun, sangat meragukan apakah orang tua itu bisa memegang senjatanya dengan benar jika dia berusaha menghentikan penyusup.    "Lubuk" yang Sangat Tua

Dari keraton tempat tinggal itu kami menaiki kereta ke reruntuhan Istana Air Tamansari yang merupakan pesanggrahan kuno raja sebelumnya.

Saat berkeliling sepanjang jalan yang diteduhi pohon di reruntuhan istana yang luas tersebut, suara percikan dan teriakan kekanak-kanakan membawa kami ke "lubuk" yang benar-benar tua, yang akan membuat iri hampir semua anak Amerika. Anak-anak telanjang dan beberapa orang tua mereka terjun dengan riang ke kolam besar berumput tempat para raja Yogyakarta bercengkerama beberapa abad sebelumnya.

Dahulu keraton tersebut memiliki danau luas dengan gedung batu di sana-sini. Namun kini danau itu mengering dan dasarnya yang rata dipenuhi rumah, ladang, dan kebun buah orang Jawa. Di sini, seperti di semua tempat di Jawa, kami melihat banyak bayi telanjang dan kawanan anak yang lebih tua.!break!

Dasar danau yang sesak merupakan salah satu contoh masalah genting kepadatan penduduk yang terjadi di pulau Jawa. Sekarang terdapat sekitar lima puluh juta orang yang pendapatannya bergantung hampir sepenuhnya pada pertanian di pulau Jawa—populasi yang lebih padat daripada negara industri mana pun di Eropa Barat.