Lawatan Pascaperang Keliling Jawa

By , Jumat, 6 Agustus 2010 | 13:11 WIB

Dari dalam pesawat yang telah empat jam meninggalkan Singapura, saya melihat dengan penuh harap saat Jawa yang warnanya hijau gelap muncul di belakang laut yang berkilau. Lima tahun lalu, Jepang menerkam Jawa yang menjadi kunci bagi kekayaan Hindia Belanda yang luar biasa dan kini, pulau itu berada di dalam pergolakan politik dan perubahan sosial.!break!

Inilah saat yang menarik untuk mengunjungi Batavia—bekas ibu kota Hindia Belanda—dan daerah sekitarnya yang dikuasai Belanda, juga Yogyakarta—ibu kota negara belia Republik Indonesia—dan tempat-tempat lainnya di pedalaman. Saya datang untuk mengumpulkan bahan buku tentang perubahan penting yang terjadi di Hindia Belanda.

Sejak lawatan saya ke Jawa tahun 1947, Belanda dan Republik Indonesia telah menyetujui proposal PBB bahwa masa depan politik Jawa, Sumatra, dan Madura ditentukan melalui plebisit.

Hampir Semua Kulit Putih Adalah Eks Tawanan

Jaringan kanal, jalan yang lebar, dan nyiur yang melambai menyambut pesawat kami begitu mendarat di bandara Batavia. Meski didera perang dan revolusi selama lima tahun, kota tua itu masih menjadi bukti bagi usaha dan ketekunan sekian generasi orang Belanda yang membangunnya.

Hampir seluruh penduduk sipil kulit putih Batavia, baik laki-laki maupun perempuan, mendekam selama hampir empat tahun di kamp penjara Jepang yang mengerikan selama Perang Pasifik berlangsung. Orang-orang malang tersebut lalu diinternir dalam kamp itu selama beberapa bulan lagi oleh Republik Indonesia.

Meski demikian, ajaibnya sebagian besar di antara mereka tak tampak menderita akibat pengalaman yang dialami. Tentu saja, mereka yang selamat mewakili pihak yang kuat, sementara yang lebih lemah tewas atau keluar dari kamp dengan kesehatan yang buruk sehingga harus dikirim ke Belanda atau Australia untuk memulihkan kesehatan.

Termasuk ke dalam golongan yang terakhir adalah seorang Belanda tua yang tinggi dan ramah dari Bandung. Dia menjadi teman sekamar hotel, semalam sebelum si Belanda tua itu naik pesawat pulang ke negerinya. Ketika dia membuka pakaian, saya terkejut mendapati tubuhnya yang mirip tengkorak hidup, tinggal kulit dan secuil daging yang membalut tulangnya yang menonjol. Beberapa bulan istirahat dan makan di Bandung rupanya tidak berhasil menggemukkan tubuhnya dan dia pun dipulangkan, mungkin untuk mati di tengah keluarganya.

Sangat berlawanan dengan orang kulit putih yang tersisa di Batavia yang relatif cukup makan, banyak sekali bumiputra yang kurus kering. Beras sangat langka dan mahal karena Republik Indonesia melakukan blokade ekonomi terhadap kota-kota yang dikuasai Belanda.

Kawanan bocah yang terlihat telanjang, perempuan miskin, serta kuli yang compang-camping setengah telanjang merupakan bukti sangat kurangnya pakaian dan tekstil, warisan yang lain dari perang dan revolusi.!break!

Tidak ada tempat yang lebih tepat untuk melihat kehidupan penduduk kota yang miskin di Jawa selain salah satu dari sekian banyak pasar bumiputra di Batavia. Untuk menuju salah satu di antaranya, kami menumpang becak pada Minggu siang yang terik.

Selain untuk urusan dinas, sangatlah sulit bepergian ke mana pun di Batavia. Mobil pribadi nyaris tidak ada. Bensin dijatah secara ketat oleh pemerintah Belanda. Trem dan bus yang bobrok nyaris tak terlihat bentuknya karena tertutup oleh warga bumiputra yang bergelantungan dan duduk di atap. Taksi langka, dan yang dioperasikan oleh Belanda harus dipesan 24 jam di muka.

Dengan begitu, pilihannya tinggal menumpang mobil dinas yang lewat (ini cara yang sangat tidak pasti); jalan kaki yang jelas berat mengingat panasnya Batavia; atau menyerah pada godaan untuk naik becak ataupun delman, kereta kecil reyot yang ditarik seekor kuda lokal yang kecil dan setengah kelaparan.

Ketika kami mendekati kumpulan gubuk dan warung yang bersahaja, orang terlihat semakin ramai dan kami serasa masuk ke dalam dunia yang aneh bagi mata, telinga, dan hidung orang Barat. Deretan kios kecil itu—berdempetan tak teratur di kedua sisi gang sempit yang penuh sesak oleh orang yang menawarkan berbagai barang, mulai dari sekrup dan paku bekas yang telah berkarat, daging kambing yang dikerubungi lalat, hingga rokok Amerika.    Anak Kelaparan Terabaikan di Pasar yang Ramai

Beberapa kios di pasar itu menjadi saksi bisu perjalanan pasukan MacArthur di pulau-pulau bagian timur Hindia Belanda. Di kios-kios itu terlihat banyak barang dari toko intendans Angkatan Darat AS dan toko militer—dengan harga yang tak terjangkau siapa pun.

Di tengah kerumunan sesak yang ramah tersebut, untuk pertama kalinya saya melihat pemandangan getir: bocah-bocah penjaja yang tampak dewasa sebelum waktunya. Bocah kecil, beberapa terlihat berumur sekitar lima tahun, membawa kotak berisi rokok, buah, atau barang lainnya, berjalan dengan percaya diri dan cekatan di antara orang banyak, menjajakan barang dengan suara yang tipis, tetapi kencang.

Salah satu bocah yang kami temui mengidap kelaparan stadium lanjut. Dengan perlahan dan lesu, dia setengah berjalan setengah terhuyung-huyung. Tubuh kerempengnya yang memilukan tampak lewat sobekan besar pada baju compang-camping yang dia kenakan. Mata kuyunya penuh penderitaan. Tak seorang pun—termasuk penjual makanan yang banyak jumlahnya—memperhatikan anak yang sekarat itu.

Namun, pengemis mendapatkan bantuan di pasar itu. Ketika seorang pengemis buta—dituntun dua gadis kecil yang tampak sehat—melewati beberapa kios, saya lihat penjual melemparkan uang Republik yang kumal ke dalam keranjang pengemisnya. Akhirnya kami mulai tak tahan dengan ocehan nyaring yang tak kunjung berhenti dan sengatan bau busuk tempat itu.!break!

Saat menyusuri jalan untuk mencari kendaraan, saya melihat bocah Tionghoa yang buncit dan telanjang menyalakan rokok dengan korek api besar yang digenggam tangan mungilnya. Bocah yang mungkin baru bisa berjalan itu bersembunyi di balik pintu sebuah toko Tionghoa yang bobrok. Dia curi-curi merokok. Lalu, Si ayah terlihat berjalan menyeret kaki ke pintu itu, menggoyangkan jari kepada anaknya, menegur dengan lembut sambil tersenyum.

Saya dan koresponden berita dari Australia Harry Summers memilih salah satu delman yang beroda dua dan dihela seekor kuda untuk perjalanan pulang. Kami berdua nyaris tidak muat di kursi yang dirancang untuk empat orang pribumi yang duduk berhadapan di bagian belakang delman. Bobot kami berdua membuat kereta mendongak dengan dahsyat sehingga kami mengira kuda delman yang kecil itu juga ikut terangkat.    Warga Pribumi Berjalan Berkilo-kilometer Memikul Beban Berat

Bagai langit dan bumi, esoknya saya naik Chevrolet anyar untuk tur satu hari ke wilayah yang dikuasai Belanda di sepanjang jalan raya Batavia-Bandung sebagai tamu dari Dr. Charles O. Van der Plas, penasihat urusan Islam bagi Gubernur Jenderal dan administrator veteran dalam pemerintahan Hindia Belanda.

Fajar baru saja menyingsing saat mobil kami meninggalkan Batavia dan ratusan lilin terlihat berkelap-kelip laksana kunang-kunang di pasar pribumi dan warung makan sepanjang jalan.

Petani dan kuli yang hanya bercelana pendek dan memikul keranjang penuh muatan berlari kecil di kedua sisi jalan untuk menuju atau meninggalkan pasar kota.

Saat melihat gaya para kuli itu berlari, saya melihat kemiripannya dengan gaya peserta lomba "jalan cepat" yang aneh tetapi cepat di AS. Ternyata teknik itu telah berabad-abad digunakan di tempat ini sebagai metode yang paling tidak melelahkan dalam mengangkut beban berat.

Menurut Dr. Van der Plas, para lelaki sawo matang yang kecil, pendek, lentur, dan berotot kawat itu membawa beban sampai sekitar 70 kilogram ke Batavia dari desa pedalaman sejauh 80 kilometer.

Kelompok kecil kuli yang lain tampak perlahan mendorong dan menarik gerobak beroda dua yang besar dan sarat dengan kayu bakar atau batang bambu. Jarang sekali kami lihat lembu atau kuda asli yang kecil digunakan untuk menarik gerobak.!break!

Sementara itu, pepohonan di kebun yang rimbun di sepanjang jalan menghasilkan berbagai jenis buah atau bahan makanan dan bahan baku lainnya. Kami melihat tebu, kedelai, nyiur, pisang, mangga, sukun, karet, kapuk, dan damar, serta banyak tumbuhan yang bermanfaat secara ekonomis lainnya, termasuk bambu yang ada di mana-mana.    Tionghoa Korban Kebencian Pribumi

Di Buitenzorg (disebut Bogor oleh Republik) kami menurunkan kecepatan untuk melihat istana mengesankan yang menjadi tempat tinggal Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebelum perang. Akhirnya, kami berhenti untuk mencari tahu soal kerumunan orang berpakaian compang-camping yang mengantre tak teratur di depan sebuah bangunan kantor kecil.

Kami mendapati, orang-orang miskin itu dari etnik Tionghoa, kebanyakan peranakan, yang kehilangan rumah dan harta benda selama masa perang dunia dan revolusi. Mereka tengah menunggu pembagian bahan pokok mingguan dari organisasi bantuan Tionghoa yang bekerjasama dengan Palang Merah Belanda.

Dari Buitenzorg yang menyenangkan, tetapi penuh tanda-tanda bekas perang, jalan menanjak tajam memasuki panorama gunung pedalaman Jawa nan permai.

Sesekali kami berpapasan dengan truk tentara Belanda yang meluncur turun di jalan yang berkelok-kelok itu. Untuk memberi jalan bagi truk yang dikemudikan pemuda Belanda berpakaian khaki bertampang kasar itu, para petani kecil yang kekar berkeringat sengaja menepi sambil tetap mengusung beban berat mereka.    Petani Sibuk di Ladang yang Telah Lama Terbengkalai

Di beberapa lokasi, perkebunan teh di lereng gunung yang curam menunjukkan tanda-tanda bahwa perkebunan itu tak terurus selama pendudukan Jepang dan gonjang-ganjing revolusi setelahnya. Rusaknya sistem pengairan yang rumit juga menyebabkan beberapa petak sawah mengering.

Namun, kini di mana-mana terlihat petani sedang bekerja, mencari sedikit nafkah dari tanah yang kaya yang menampung banyak penduduk tersebut. Lelaki dan perempuan membawa padi yang menguning dari sawah dengan rengkong, pikulan bambu, yang terlihat di mana-mana.

Di satu desa kecil, pemuka desa tengah berkumpul untuk pertemuan mingguan di balai desa sederhana yang terbuka. Dengan rasa bangga yang kentara, sejumlah pengurus desa membawa tas kantor yang menggembung dan lusuh, seolah telah menempuh tak hanya satu tetapi banyak perang. Tas kantor dan pulpen tampaknya menjadi simbol kemakmuran dan martabat di kalangan orang Indonesia yang buta huruf.!break!

Di puncak pas, satuan penjaga yang terdiri atas empat tentara Belanda yang muda tampak santai. Wajah mereka menyenangkan dan kelakarnya yang ramah mengingatkan saya kepada tentara AS yang saya temui di Eropa.

Sama seperti tentara AS di luar negeri, mereka juga rindu kampung halaman. Pemandangan indah, iklim gunung yang sejuk, dan kehidupan mereka yang sudah relatif mudah—setelah pos depan dan konvoi tak lagi ditembaki gerilyawan Republik—tak dapat mengusir kerinduan terhadap tanah air mereka yang kecil dan rapi. Tak jauh dari tempat itu terdapat makam tiga tentara Belanda yang tewas di tangan penembak jitu.    Ayam untuk Aduan, Bukan Makanan

Setelah makan siang di rumah pegawai kabupaten Cianjur yang punya istri cantik berambut pirang, mobil meninggalkan jalan raya menuju sekolah yang diasuh oleh kawan lama Van der Plas, seorang haji yang menjadi penghulu wilayah itu.

Saat mobil melaju kencang di jalan tanah yang sempit, saya khawatir kunjungan kami bakal mengurangi populasi ayam di sekitar tmpat itu. Tampaknya bagi orang Jawa, tujuan utama memelihara ayam adalah untuk menghasilkan ayam aduan karena kami mengusir begitu banyak ayam jago nan gagah dari tengah jalan. Unggas-unggas itu berdiri tak acuh di tengah jalan sampai nyaris digilas mobil.

Ayam aduan menjadi salah satu kesenangan orang Jawa, tetapi kurang menarik bagi saya, orang Amerika yang menggemari ayam goreng. Ayam Jawa dagingnya alot dan kurus, hanya sedikit daging yang menempel di tulangnya yang besar. Telurnya kira-kira setengah ukuran telur ayam Plymouth Rock.

Tibalah kami di rumah pak haji yang kecil dan sederhana, tetapi bersih dan kokoh dengan udara berembus bebas dari dinding gedeknya. Rumah tersebut terletak di tengah desa yang diteduhi pepohonan. Rumah-rumah di desa itu serupa dengan rumah pak haji. Sementara itu, kolam ikan terlihat ada di mana-mana, menampung ikan mas dan ikan lainnya yang menunggu giliran menjadi pelengkap menu sederhana penduduk desa itu.

Adapun sekolah pak haji berupa rumah kecil satu ruangan yang tanpa perabot; guru dan murid duduk bersila di lantai.    Tiga anak kecil berpeci hitam yang pemalu tetapi ramah memperlihatkan asrama tempat mereka tinggal kepada kami. Ternyata asrama tersebut berada di rumah kecil satu ruangan itu juga, yang disekat dengan gedek menjadi beberapa bilik kecil nan gelap, masing-masing berisi sebuah balai-balai tanpa kasur dan seprai.

Tuan rumah kami, seorang pria kurus yang terlihat muda dengan mata lincah dan wajah cerdas, mempersilakan kami duduk di teras dan mengobrol. Sementara dia menggelar tikar, kami melepas sepatu dan duduk melingkar dengan cara Timur, bersila. Si tuan rumah bertanya dan berkomentar dalam bahasa Arab yang diterjemahkan Van der Plas, meliputi berbagai peristiwa lokal dan dunia, agama, serta filsafat. Namun, saya lega ketika tiba saatnya untuk pergi dan bisa meluruskan kaki yang pegal.!break!

Hari sudah petang, dengan enggan kami kembali ke Batavia dan kembali disambut oleh lilin-lilin yang berkelip di pasar saat tiba setelah magrib.

Saya membawa pulang kesan yang tak terlupakan tentang kehidupan pedesaan yang tenang di daerah Sunda; tentang rumah kecil dengan halaman berpasir yang bersih dan rapi, setengah tersembunyi dalam semak berbunga dan dinaungi rumpun pisang dan pohon buah-buahan yang diselingi kolam ikan; tentang tanah subur nan indah yang penuh dengan orang kecil berpembawaan ramah, bibir tersenyum, dan ringan melambaikan tangan.    Ke Yogyakarta, Benteng Republik

Pagi-pagi esoknya, saya dan Harry Summers naik gerbong dinas kereta api yang menuju Yogyakarta, ibu kota Republik yang terletak di bagian tengah Jawa. Kami berdua sangat bersemangat mengunjungi wilayah yang berada di bawah pemerintahan nasionalis sejak proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Di dalam gerbong itu ada dua menteri Kabinet Republik dan pejabat lain yang kembali ke Yogyakarta dari penandatanganan resmi perjanjian damai Linggarjati dengan Belanda di Batavia beberapa hari sebelumnya, pada 25 Maret 1947. Ternyata, selain kami tak ada orang kulit putih lain di kereta itu.

Tak sampai satu jam lepas dari Batavia, kereta kami berhenti di Kranji yang menjadi perbatasan daerah yang dikuasai Belanda di sekitar Batavia. Di tapal batas tersebut, semua penumpang kecuali yang ada di gerbong dinas harus melewati pemeriksaan militer dan pabean Belanda.

Saat melihat satu peleton tentara Belanda yang kekar berlatih di peron stasiun, saya teringat bahwa selama berbulan-bulan pasukan Belanda dan Republik saling berhadapan di perbatasan ini. Tak jarang meletus pertempuran kecil meski sudah ada perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani kedua belah pihak November 1946.

Tak jauh selepas Kranji kami berhenti lagi untuk pemeriksaan tanda pengenal semua penumpang yang dilakukan oleh perwira dan prajurit Republik.

Banyak penjaga perbatasan di sisi Indonesia tampak baru beranjak remaja, sebagian besar begitu pendek dan kurus sehingga senapan yang mereka bawa terlihat terlalu berat. Seragam yang mereka pakai juga sangat beragam, demikian pula perlengkapan senjatanya. Sebagian besar seragam dan perlengkapan kelihatannya berasal dari tentara Jepang. Para prajurit tersebut mondar-mandir dengan penuh gaya di peron, jelas menikmati perannya sebagai tentara.!break!

Rambut Panjang Bukti Patriotisme

Beberapa pemuda di tempat tersebut, seperti di banyak tempat lainnya di pedalaman Jawa, membiarkan rambut mereka tumbuh panjang untuk memenuhi sumpah di awal perang kemerdekaan untuk tidak memangkas rambut sampai Indonesia meraih kemerdekaan. Sehingga, orang asing sulit membedakan jenis kelamin beberapa orang "gondrong" itu.

Seorang petugas yang tampak efisien, pasti gadis, memeriksa tanda pengenal semua orang yang turun dari kereta. Saya diberi tahu bahwa para penjaga dan gadis itu termasuk di antara banyak siswa yang dibebaskan dari sekolahnya untuk membantu menjalankan roda pemerintahan.

Sepanjang pagi, lokomotif berbahan bakar kayu dengan kru Indonesia tersebut menghela kereta dengan cukup cepat di pesisir Jawa nan luas yang jadi lumbung padi Hindia Belanda. Sawah hijau membentang hingga ke laut di utara dan pegunungan terjal yang menjulang di ufuk selatan.

Menanam dan menuai padi di wilayah seluas ini perlu usaha yang besar karena setiap benih padi ditancapkan ke dalam lumpur dengan tangan manusia dan dipanen juga dengan tangan—cara tersebut tak berubah selama dua atau tiga ribu tahun.    Memancing di Sawah

Sesekali kami melihat pemancing berdiri mematung dengan joran panjang dan senar terulur ke dalam sawah yang padinya hampir dewasa. Rumpun padi menyembunyikan genangan air yang sangat dangkal, tetapi tetap dihuni ikan kecil yang menjadi lauk tambahan bagi petani yang umumnya hanya makan nasi dan buah.

Sesekali kami melihat orang desa mandi telanjang di sungai berlumpur yang banyak buaya.

Di pedesaan banyak kerbau dan hampir selalu diiringi anak gembala yang hanya memakai cawat. Baik kerbau yang merumput di tepi rel kereta api atau yang berkubang di lumpur atau di sungai, biasanya ada bocah angon yang kulitnya terbakar matahari dan menunggangi punggung lebar salah satu kerbau.

Di kemudian hari, Presiden Republik Indonesia Achmad Soekarno memberi tahu saya tentang salah satu kebiasaan makhluk raksasa bertanduk besar melengkung yang digunakan untuk menarik bajak kayu di sawah. Kerbau, kata Soekarno, biasanya lembut dan jinak, tetapi mudah marah dan berbahaya jika petani mencoba memaksanya bekerja setelah pukul 11 pagi, saat sinar matahari yang nyaris tegak lurus membuatnya ingin berendam di dalam air atau lumpur.!break!

Selama singgah di beberapa stasiun sepanjang jalur kereta, kami mencoba beberapa jenis buah, termasuk manggis lezat yang kulit ungunya menyimpan daging buah putih nan segar; juga kelapa hijau besar yang menyemburkan air menyejukkan seperti air mancur kecil saat seorang anak kecil melubanginya dengan tangkas.

Namun, beberapa "makanan lezat" yang disodorkan penjaja kepada penumpang pribumi yang menggemarinya membuat perutku bergolak saat melihatnya—ayam panggang, keripik pisang, daging kambing, kue ketan, dan sebagainya, yang terpanggang sinar matahari tropis dan bertabur debu serta jelaga kereta api yang lewat.

Sesekali, pengemis memilukan yang bertubuh penuh koreng dan berpakaian kotor luar biasa, berhasil menghindari penjaga kereta api dan mengangkat keranjang kecilnya meminta-minta kepada penumpang. Orang yang terjangkit sifilis dan penyakit kulit meningkat tajam di Jawa karena bubarnya pelayanan kesehatan masyarakat Belanda pra-perang dan kurangnya obat-obatan.    Ibu Kota Kuno Republik Baru

Hari sudah gelap ketika kereta kami—setelah mendaki ke dataran tinggi pedalaman sepanjang sore—terengah-engah memasuki stasiun di Yogyakarta. Stasiun itu penuh hiruk pikuk orang Indonesia yang berkeringat dan saling dorong, ratusan di antaranya turun dari gerbong penumpang dari kayu yang padat, sementara ratusan lainnya yang menuju stasiun selanjutnya berebut tempat untuk duduk atau berdiri.

Dengan mengikuti pegawai muda Departemen Luar Negeri Indonesia, kami menerobos kerumunan orang banyak menuju sebuah mobil mungil buatan Inggris. Mobil yang nyaris baru itu termasuk salah satu mobil yang diimpor baru-baru ini melalui pelabuhan Cirebon. Hampir semua mobil adalah buatan sebelum perang. Kemampuan pihak Republik untuk dapat terus menjalankannya— walau tak punya suku cadang, sementara ban dan ban dalam sulit didapat—merupakan bukti keefisienan para montirnya.

Mobil kecil itu membawa kami dengan mulus di sepanjang jalan utama ibu kota Republik ke keraton pemerintahan Sultan Yogyakarta, Hamengku Buwono IX, tempat kami diberi kamar yang menghadap ke halaman yang terpencil dan tenang.

Saat makan di beranda menggunakan peralatan perak Sri Sultan, terlihat beberapa ekor tokek kecil merayap di langit-langit mencari serangga. Satwa melata itu terkadang menuruni dinding dengan kakinya yang berperekat untuk menatap para pengunjung kulit putih yang bertampang lucu ini dengan penuh rasa ingin tahu. Siang malam, selang sejenak, tokek mengeluarkan bunyi keras yang mengganggu, yang menyebabkan binatang tersebut dinamai sesuai bunyinya: "tok-kek, tok-kek."

Satu-dua hari kemudian kami mendapat kehormatan untuk mewawancarai sultan muda yang menarik dan berpandangan demokratis tersebut. Dia menjabat raja turun-temurun dan gubernur Provinsi Yogyakarta di bawah Republik serta memegang jabatan tinggi lainnya dalam pemerintahan dan angkatan bersenjata Republik. Sultan yang dididik di Belanda itu memiliki banyak gagasan modern dan berupaya memerintah melalui sebuah dewan perwakilan yang dipilih secara demokratis.!break!

Pakaian Barat Menggantikan Busana Jawa

Di Yogyakarta, seperti di tempat lain di Jawa, sebagian besar lelaki dan anak laki-laki dari kelas terdidik telah mengganti busana Jawa tradisional yang sangat berwarna-warni—kain batik, baju lengan panjang berkancing di leher, ikat batik, dan tanpa sepatu—dengan pakaian informal Barat—kaus berkerah, celana pendek atau panjang, dan sepatu.

Pelajar putri dan perempuan muda kelas atas juga berpakaian sangat mirip dengan gadis-gadis di AS atau Eropa Barat, kecuali ketika mereka mengenakan busana Jawa yang indah dalam acara formal.

Melihat para pemuda modern yang berpakaian rapi dan pemudi yang mengendarai sepeda dengan bebas merdeka menyusuri jalanan nan padat, saya nyaris lupa bahwa sedang berada di salah satu ibu kota tertua dalam sejarah Hindia Belanda.

Namun, modernitas pemuda Indonesia bercampur baur dengan tanda-tanda zaman feodal yang sekarat—petani yang setengah telanjang, penjaja yang compang-camping, anak jalanan yang jongkok atau tidur di keteduhan trotoar, perempuan miskin yang mengenakan kain batik murah yang tampak kotor, dan anak-anak telanjang.

Yang paling menyedihkan adalah para perempuan kuli yang di tempat ini menjadi korban mengerikan dari slogan laki-laki primitif yang kuno, "Biarkan perempuan yang bekerja." Hanya dengan mengenakan kain goni compang-camping atau anyaman jerami yang tidak pas, para perempuan malang itu bolak-balik berjalan, punggungnya terbungkuk-bungkuk membawa karung beras atau barang lainnya, mata mereka yang kusam tampak menderita dan putus asa.    Slogan dari Revolusi Amerika

Banyak dinding kosong di pusat kota masih berhias slogan propaganda kusam yang ditulis para nasionalis Jawa setelah proklamasi Republik Indonesia pada tahun 1945, saat mereka berharap pasukan AS dikirim ke Jawa untuk menerima penyerahan pasukan pendudukan Jepang.

Banyak slogan itu meniru atau mengadaptasi ucapan patriotik pahlawan Amerika: "Merdeka atau Mati," "Sekali Merdeka Tetap Merdeka," "Bersatu Kita Teguh," dan sebagainya.

Salah satu pegawai muda Indonesia yang bertugas memandu dan membantu kami adalah Johnny Senduk. Johnny langsung menarik perhatian saya karena ungkapan gaul Amerika yang sering terselip di bahasa Inggrisnya yang lancar. Dia seorang Kristen dari Manado yang melaut untuk mencari petualangan dan, seperti banyak pelaut Indonesia, kabur dari kapal di New York. Dia pernah tinggal nyaman di Brooklyn selama beberapa tahun, jadi keranjingan musik swing dan minuman ringan Amerika dan memiliki kekaguman mendalam terhadap AS sebagai sebuah negara.!break!

Wajib militer pada masa perang mengungkapkan status Johnny sebagai imigran ilegal, dia pun dideportasi. Sekarang dia mengisi waktu dengan menulis puisi, mengedit majalah bahasa Inggris yang diterbitkan Republik Indonesia, dan mengurusi penulis dan wartawan asing yang ingin tahu.

Setiap kali bisa meluangkan waktu satu-dua jam dari kesibukannya yang beragam, Johnny pergi bersama sesama penggemar jazz ke sebuah bar es krim di Yogyakarta yang menyajikan es krim tawar dengan iringan musik jazz populer dari koleksi rekaman Amerika yang telah usang.

Pada suatu sore yang cerah, Johnny membawa kami berkunjung ke keraton tempat tinggal Sultan. Sultan jarang mengunjungi keraton tersebut dan lebih suka kantor pusat pemerintahannya yang lebih sederhana dan bersuasana modern. Jadi keraton itu dipertahankan terutama karena tradisi dan kebiasaan, dirawat oleh jajaran pegawai, penjaga, dan abdi dalem yang turun-temurun.

Melewati gerbang luar terasa seperti memasuki dunia lain—dunia yang damai, adiluhung, dan tenang berwibawa, dengan paduan serasi garis dan warna. Jalan masuk ke halaman dalam dijaga dua arca dwarapala gendut, duduk dengan senjata terhunus, mungkin untuk mengusir roh jahat. Seorang penjaga manusia yang sama uniknya, lelaki tua keriput berbadan kecil dengan kumis tipis abu-abu, berdiri memegang tombak yang gagangnya terpancang di lantai marmer.

Ujung tombak itu ternyata masih tetap dilumuri racun seperti dalam tradisi kuno. Namun, sangat meragukan apakah orang tua itu bisa memegang senjatanya dengan benar jika dia berusaha menghentikan penyusup.    "Lubuk" yang Sangat Tua

Dari keraton tempat tinggal itu kami menaiki kereta ke reruntuhan Istana Air Tamansari yang merupakan pesanggrahan kuno raja sebelumnya.

Saat berkeliling sepanjang jalan yang diteduhi pohon di reruntuhan istana yang luas tersebut, suara percikan dan teriakan kekanak-kanakan membawa kami ke "lubuk" yang benar-benar tua, yang akan membuat iri hampir semua anak Amerika. Anak-anak telanjang dan beberapa orang tua mereka terjun dengan riang ke kolam besar berumput tempat para raja Yogyakarta bercengkerama beberapa abad sebelumnya.

Dahulu keraton tersebut memiliki danau luas dengan gedung batu di sana-sini. Namun kini danau itu mengering dan dasarnya yang rata dipenuhi rumah, ladang, dan kebun buah orang Jawa. Di sini, seperti di semua tempat di Jawa, kami melihat banyak bayi telanjang dan kawanan anak yang lebih tua.!break!

Dasar danau yang sesak merupakan salah satu contoh masalah genting kepadatan penduduk yang terjadi di pulau Jawa. Sekarang terdapat sekitar lima puluh juta orang yang pendapatannya bergantung hampir sepenuhnya pada pertanian di pulau Jawa—populasi yang lebih padat daripada negara industri mana pun di Eropa Barat.

Borobudur Masih Mengagungkan Buddha

Pada suatu sore, Johnny berhasil mendapatkan mobil mungil buatan Inggris dan membawa kami mengunjungi monumen pamungkas peradaban India kuno di Jawa, Borobudur.

Perjalanan satu jam melalui pedesaan yang selalu memikat membawa kami ke candi Buddha yang terkenal di dunia, yang ditemukan terkubur dalam gundukan reruntuhan dan digali serta dipugar oleh pemerintah Hindia Belanda. Saat mendekat, kami bisa melihatnya dari kejauhan, Borobudur bercokol di puncak bukit di ujung lembah besar yang dikelilingi pegunungan terjal.

Saat mobil kami mendaki bukit itu dan berhenti, ukuran candi yang luar biasa besar dan dekorasinya yang rumit membangkitkan rasa kagum. Katedral terbesar di Eropa, meski lebih anggun dan memiliki menara yang jauh lebih tinggi, terlihat kecil dan tak berarti jika dibandingkan keajaiban berumur 1.100 tahun tersebut.

Bangunan tua itu menjulang seperti piramida bertingkat yang bersudut tumpul, dari dasarnya yang seukuran blok kota yang cukup besar hingga sebuah kubah besar berbentuk lonceng dengan menara yang seakan terpotong tak jauh dari pangkalnya.

Di sisi candi, di mana-mana terlihat wajah sang Buddha yang tenang dan pengasih, menatap kita atau ke dalam diri kita dengan raut kebijaksanaan abadi.

Di serambi atas, pemuliaan Buddha berbentuk lain. Di pinggir serambi terdapat dinding batu berlubang yang berjarak teratur, masing-masing berupa replika mini kubah besar berbentuk lonceng dan berisi arca Buddha yang duduk dengan tangan tertekuk, telapak tangan menghadap ke atas di depan tubuhnya.

Saya melihat Johnny yang tangannya masuk ke salah satu celah di dinding, berusaha menyentuh telapak tangan arca yang sedang bersemadi.!break!

"Jika kita menyentuh telapak Buddha dan membuat permohonan, permohonan itu akan dikabulkan," jelasnya. Lalu, setelah berhasil, ujarnya dengan suara rendah: "Saya mohon, saya mohon bisa mendapatkan seorang pacar yang baik."

Beberapa hari kemudian saya dan Summers diundang menemani Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah pejabat Republik lainnya bersafari selama empat hari ke Jawa Barat.

Perjalanan itu mengingatkan saya pada tur kampanye presiden di AS. Bedanya, di sini orang berkumpul menyambut pemimpin mereka sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia, bukan sebagai pemimpin partai politik tunggal.

Anggur kebebasan dan demokrasi yang memabukkan, saya amati, membangkitkan semangat nasionalisme dan suka cita sebagian besar penduduk. Di bawah pengaruh karisma dan pidato Soekarno, rakyat dengan cepat menunjukkan gejala seperti orang mabuk sampanye.

Saya yakin Soekarno bisa mengajari para politikus terulung di AS beberapa cara meraih dukungan para pemilih. Masyarakat berkumpul di setiap stasiun kereta api untuk mengelu-elukan dan menyalami sang Presiden.

"Mer-de-ka, mer-de-ka, mer-de-ka!" teriak massa terus-menerus, tangan kanan teracung ke udara sebagai tanda hormat.

Di satu persinggahan, paduan suara pelajar putri bermata hitam dengan wajah serius menyanyikan lagu-lagu perjuangan dengan lantang, salah satunya lagu yang bernada "Battle Hymn of the Republic."

Orang Sunda di Jawa Barat sangat berbeda dengan orang Jawa yang ada di wilayah tengah dan selatan. Mereka lebih kokoh, berani, dan ceria. Perempuannya lebih cantik dan pakaiannya lebih berwarna-warni, sementara tari adatnya lebih lincah dan hidup.!break!

Kulit Putih Barang Langka di Sini

Di wilayah Jawa Barat yang dikuasai Republik, orang Amerika berkulit putih menjadi objek rasa ingin tahu yang terkadang menjengahkan. Saya dan teman Australia saya diberi tahu bahwa kami merupakan orang kulit putih pertama yang memasuki kawasan tersebut sejak awal revolusi 1945. Karena orang Belanda dan bangsa Eropa lainnya yang tinggal di kawasan itu sebelum perang mendekam dalam kamp penjara Jepang selama masa perang, banyak anak muda pribumi yang belum pernah melihat orang kulit putih.

Pelajar putra dan putri terbelalak melihat kulit saya yang kemerahan terbakar Matahari dengan rona kuning aneh yang timbul karena makan tablet Atabrine, dan saya perhatikan ada sekelompok gadis kecil yang tertawa riang melihat kepala botak saya yang berkilat. Tinggi badan saya yang 188 sentimeter membuat mereka terheran-heran, karena tinggi rata-rata orang Indonesia hanya 150 sentimeter, dengan berat sekitar setengah orang Amerika atau Eropa yang besar.

Banyak pelajar putri sudah terbiasa memburu tanda tangan. Dengan sopan tetapi gigih, mereka tidak hanya meminta tanda tangan, tetapi juga pesan bagi para anak perempuan di Indonesia.

Karena bahasa Inggris diajarkan sebagai bahasa kedua di sekolah Republik, beberapa pelajar putri mencoba berbahasa Inggris dengan saya, dan saya pun terkesan dengan kefasihan mereka. Saat kami hendak meninggalkan Tasikmalaya, seorang gadis berwajah cerdas sekitar 10 tahun menyerahkan tulisan berikut:    Honourable Sir:May we take the liberty to ask you if you will send us a copy of your impression of Java and his inhabitants.We hope you will not refuse this sincere desire of us.Please be so kindly as to convey our best wishes to the American girls.

Receive our thanks.With kind regards,Ann SoediadinataEtty KartamihardjaGarmini Soeria Danyeningrat!break!

Saat fajar hari kedua setelah kami kembali ke Yogyakarta, saya bersama seorang rekan Indonesia berada di stasiun yang penuh sesak. menunggu kereta api untuk kembali ke Batavia.

Dasar nasib sedang baik, pintu masuk gerbong kelas satu berhenti tepat di depan saya dan, sambil memegang tas sekuat tenaga, saya terdorong ke atas gerbong oleh gelombang massa.    Gerbong Padat Seperti Kereta Bawah Tanah New York

Semua kursi sudah terisi, jadi orang bergegas memperebutkan posisi terbaik berikutnya, di lengan kursi atau di atas koper.

Penumpang yang berpeluh terus mendesak masuk sampai gerbong itu padat seperti kereta bawah tanah New York di jam sibuk. Kami harus bersesakan seperti itu selama sebagian besar perjalanan 14 jam ke Batavia.

Bocah Indonesia di gerbong kami sangat manis. Bayi dari suku Jawa yang dipangku ibunya—perempuan desa yang duduk di lantai gang di samping saya. Bocah itu menetek dengan anteng dan tidak pernah merengek sedikit pun sepanjang hari. Dia juga menghibur diri dengan menarik bulu lengan saya dan ketika saya menepuk tangan kecilnya, kedua orang tuanya yang bertelanjang kaki memberi saya senyum paling menghangatkan hati yang pernah saya terima.

Pada waktu makan siang yang mulai lebih awal dan berakhir lebih lambat, para anggota keluarga mengobrol sambil bergegas mengambil bekal makanan yang disimpan dalam karung atau tas yang tersebar di seantero gerbong.

Penumpang yang tidak membawa bekal harus bergantung pada penjual makanan di stasiun persinggahan. Masalahnya, hampir tak mungkin menerobos ke peron, sekalipun rela mengambil risiko kehilangan tempat duduk berharga di lengan kursi yang keras.

Celah jendela gerbong hanya cukup untuk lewat tangan manusia yang didatarkan, tetapi pedagang berhasil menyusupkan beberapa telur bebek rebus, jeruk kecil, dan buah kecil lainnya yang kami jadikan pengganjal perut.!break!

    "Tak Ada Waktu untuk Mendaki Gunung"

Rekan Indonesia saya dan sejumlah pemuda lain yang berperang sebagai tentara Republik—pertama melawan Jepang dan kemudian melawan tentara Gurkha-Inggris yang mendarat di Jawa untuk menerima penyerahan Jepang dan menyelamatkan interniran Sekutu—mengajak saya bercakap-cakap.

Kefasihan mereka berbahasa Inggris jelas merupakan bukti bagusnya sistem pendidikan Belanda sebelum perang.

Para pemuda itu menunjukkan minat besar dalam urusan dalam dan luar negeri AS dan saya baru tahu bahwa mereka secara teratur mendengarkan siaran "Voice of America" dari pantai barat Amerika dalam siaran bahasa Inggris dan Melayu.

Seorang veteran muda memberi tahu saya bahwa dia bercita-cita sekolah di West Point bertanya mungkinkah seorang pemuda Indonesia masuk ke sana.

Menjelang malam, saat kami melintasi persawahan yang luas di Cirebon, gunung yang menjulang ke langit biru jauh di pedalaman kembali menarik perhatian saya.

"Jika pendaki gunung Amerika melihat puncak gunung seperti itu, pasti mereka tak bisa menolak godaan untuk mendakinya," ujar saya kepada rekan muda Indonesia itu.

"Kami tidak punya waktu untuk mendaki gunung," jawabnya. "Banyak hal yang lebih penting yang harus kami lakukan."    * Lihat di NATIONAL GEOGRAPHIC MAGAZINE: "The Face of the Netherlands Indies," 20 ilustrasi dari foto karya Maynard Owen Williams dan lain-lain, Februari, 1946; "Java Assignment,” oleh Dee Bredin, Januari, 1942; “Through Java in Pursuit of Color," oleh W. Robert Moore, September, 1929, dan “Traveler’s Note on Java,” oleh Henry C. Bryant, Februari, 1910.