Petaka Mengintai di Utara Bandung

By , Senin, 30 Januari 2012 | 16:56 WIB

Dede Mulyana sedang berada di kebunnya pada Minggu, 28 Agustus 2011. Sekitar jam empat sore, tanah yang dipijak­nya bergerak hebat. Dede mengira itu tanah longsor. Di tempat dia berdiri, Dede menyaksikan lahan kebunnya, dan juga seluruh dataran yang terlihat oleh matanya, melonjak-lonjak bergelombang. Seumur hidupnya, Dede tidak pernah melihat kejadian seperti itu.!break!

Bukan hanya Dede, seluruh warga Desa Jambu­­dipa, dan desa-desa lainnya di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, dilanda kepanikan sore itu. Warga berlarian ke luar rumah, ke arah kantor Kecamatan Cisarua yang letaknya lebih tinggi daripada permukiman penduduk. Mereka yang kurang gesit tertimpa reruntuhan dinding dan serpihan atap sampai terluka. Setelah guncangan bumi berhenti, warga menyaksikan rumah mereka rusak, setidaknya dinding rumah mereka retak-retak.

Pemerintah mendata, sebanyak 385 rumah rusak, dan sembilan di antaranya rusak berat. Dalam kepanikan itu, tidak seorang pun tahu kenapa sore itu bumi berguncang.

Sepekan kemudian, pada 3 September 2011, tanah yang menopang Desa Jambudipa, terutama di Kampung Muril Rahayu, kembali berguncang. Getaran terjadi jam sebelas malam, saat sebagian besar warga tengah terlelap. Kepanikan kembali melanda desa itu. Perempuan dan anak-anak menjerit ketakutan, sambil berlari ke luar rumah. Mereka yang masih dapat mengendalikan rasa takutnya berupaya menolong orang-orang jompo yang sudah tidak kuat berlari.

“Bayangkan saja, tengah malam seperti itu kami ke luar rumah dan berlari, sambil meng­gendong anak-anak dan orang tua. Suasananya benar-benar membuat panik,” kata Dede, me­ngenang peristiwa itu.

Gempa pada malam itu tidak hanya terjadi sekali. Getaran yang besar masih terjadi pada jam satu dini hari, dan berlanjut dalam selang waktu satu jam sampai waktu subuh. Malam itu, seluruh warga Kampung Muril Rahayu mengungsi. Karena begitu panik, para pengungsi memilih untuk berada di tempat terbuka. Anjuran aparat desa dan kecamatan agar mereka masuk ke dalam gedung serba guna di Kantor Kecamatan Cisarua tidak dihiraukan. Warga terlalu takut untuk berada di dalam sebuah bangunan.

Di pengungsian, benak warga dipenuhi pertanyaan tentang penyebab guncangan yang memorakporandakan kampung mereka. Selama lebih dari enam generasi hidup dan ber­anak pinak di wilayah itu, baru kali ini mereka merasakan adanya gempa yang begitu hebat. Sebelumnya, pada 2009, warga Desa Jambu­dipa dan sekitarnya memang pernah me­rasakan gerakan bumi.

Tetapi guncangan itu akibat gempa yang berasal dari gesekan lempeng benua di wilayah Samudra Indonesia, atau yang dikenal sebagai gempa Tasikmalaya. Walau terasa cukup kuat, getaran yang terjadi pada 2009 itu tidak mengakibatkan kerusakan berarti.

Hampir tidak ada warga yang tahu bagaimana gempa pada 28 Agustus dan 3-4 Sep­tember 2011 itu bisa terjadi. Informasi yang beredar pun simpang siur. Ada yang mengatakan gun­cang­an terjadi akibat gerakan tanah. Sedangkan para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan, guncangan yang terasa di Kampung Muril Rahayu, Kampung Pasirhalang, Kampung Pasirluyu, dan Kampung Tugu, diakibatkan oleh gerakan Sesar Lembang.

Perihal Sesar Lembang pun tidak banyak warga yang paham. “Baru setelah kejadian gempa itu saya mendengar istilah Patahan Lem­bang atau Sesar Lembang. Katanya kampung kami berada di jalurnya. Kata orang-orang yang datang ke sini, Patahan Lembang itu di sana,” kata Dede, sambil menunjuk ke arah dinding lembah di utara kampungnya. Padahal, Sesar Lembang yang ditunjuk Dede bukan hanya dinding lembah di seberang tempat dia berdiri. Bahkan, saat itu Dede sedang berdiri di tepiannya.!break!

Sebelum terjadi gempa pada Agustus dan September itu, nama Sesar Lembang tidak di­kenal oleh masyarakat awam. Bahkan, jika kita bertanya kepada warga di wilayah Bandung, Lembang, Cimahi, dan Cisarua, di mana letak Sesar Lembang atau Patahan Lembang, nyaris tidak ada yang dapat menjawabnya. Sebagian kecil warga, terutama yang memiliki perhatian pada mata pelajaran geografi, mengaku pernah mendengar nama itu. Tetapi ketika ditanya di mana letak Sesar Lembang itu, tidak ada yang dapat menunjukkannya.

Padahal, Sesar Lembang yang memiliki panjang antara 22 kilometer sampai 25 kilo­meter itu, memanjang dari timur ke barat—dari kaki Gunung Manglayang sampai ke tepian kawasan karst Padalarang—pasti terlewati oleh siapa pun yang akan menuju Lembang dari arah Bandung, Cimahi, dan Padalarang. Lebih mengkhawatirkan lagi, di sepanjang Sesar Lembang dari barat ke timur, ribuan bangunan permukiman, restoran, hotel, asrama dan sekolah militer, juga tempat penelitian astronomi, berdiri di dasar patahan di sisi utara dan di puncak patahan di sisi selatan.

Bangunan-bangunan atau tempat terkenal yang berada di jalur Sesar Lembang, antara lain objek wisata Maribaya, Sekolah dan Staf Komando TNI Angkatan Udara (Sesko AU), Observatorium Bosscha, Sekolah dan Asrama Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad), restoran The Peak, dan beberapa kompleks permukiman mewah, seperti Graha Puspa dan Trinity.