Petaka Mengintai di Utara Bandung

By , Senin, 30 Januari 2012 | 16:56 WIB

Dede Mulyana sedang berada di kebunnya pada Minggu, 28 Agustus 2011. Sekitar jam empat sore, tanah yang dipijak­nya bergerak hebat. Dede mengira itu tanah longsor. Di tempat dia berdiri, Dede menyaksikan lahan kebunnya, dan juga seluruh dataran yang terlihat oleh matanya, melonjak-lonjak bergelombang. Seumur hidupnya, Dede tidak pernah melihat kejadian seperti itu.!break!

Bukan hanya Dede, seluruh warga Desa Jambu­­dipa, dan desa-desa lainnya di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, dilanda kepanikan sore itu. Warga berlarian ke luar rumah, ke arah kantor Kecamatan Cisarua yang letaknya lebih tinggi daripada permukiman penduduk. Mereka yang kurang gesit tertimpa reruntuhan dinding dan serpihan atap sampai terluka. Setelah guncangan bumi berhenti, warga menyaksikan rumah mereka rusak, setidaknya dinding rumah mereka retak-retak.

Pemerintah mendata, sebanyak 385 rumah rusak, dan sembilan di antaranya rusak berat. Dalam kepanikan itu, tidak seorang pun tahu kenapa sore itu bumi berguncang.

Sepekan kemudian, pada 3 September 2011, tanah yang menopang Desa Jambudipa, terutama di Kampung Muril Rahayu, kembali berguncang. Getaran terjadi jam sebelas malam, saat sebagian besar warga tengah terlelap. Kepanikan kembali melanda desa itu. Perempuan dan anak-anak menjerit ketakutan, sambil berlari ke luar rumah. Mereka yang masih dapat mengendalikan rasa takutnya berupaya menolong orang-orang jompo yang sudah tidak kuat berlari.

“Bayangkan saja, tengah malam seperti itu kami ke luar rumah dan berlari, sambil meng­gendong anak-anak dan orang tua. Suasananya benar-benar membuat panik,” kata Dede, me­ngenang peristiwa itu.

Gempa pada malam itu tidak hanya terjadi sekali. Getaran yang besar masih terjadi pada jam satu dini hari, dan berlanjut dalam selang waktu satu jam sampai waktu subuh. Malam itu, seluruh warga Kampung Muril Rahayu mengungsi. Karena begitu panik, para pengungsi memilih untuk berada di tempat terbuka. Anjuran aparat desa dan kecamatan agar mereka masuk ke dalam gedung serba guna di Kantor Kecamatan Cisarua tidak dihiraukan. Warga terlalu takut untuk berada di dalam sebuah bangunan.

Di pengungsian, benak warga dipenuhi pertanyaan tentang penyebab guncangan yang memorakporandakan kampung mereka. Selama lebih dari enam generasi hidup dan ber­anak pinak di wilayah itu, baru kali ini mereka merasakan adanya gempa yang begitu hebat. Sebelumnya, pada 2009, warga Desa Jambu­dipa dan sekitarnya memang pernah me­rasakan gerakan bumi.

Tetapi guncangan itu akibat gempa yang berasal dari gesekan lempeng benua di wilayah Samudra Indonesia, atau yang dikenal sebagai gempa Tasikmalaya. Walau terasa cukup kuat, getaran yang terjadi pada 2009 itu tidak mengakibatkan kerusakan berarti.

Hampir tidak ada warga yang tahu bagaimana gempa pada 28 Agustus dan 3-4 Sep­tember 2011 itu bisa terjadi. Informasi yang beredar pun simpang siur. Ada yang mengatakan gun­cang­an terjadi akibat gerakan tanah. Sedangkan para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan, guncangan yang terasa di Kampung Muril Rahayu, Kampung Pasirhalang, Kampung Pasirluyu, dan Kampung Tugu, diakibatkan oleh gerakan Sesar Lembang.

Perihal Sesar Lembang pun tidak banyak warga yang paham. “Baru setelah kejadian gempa itu saya mendengar istilah Patahan Lem­bang atau Sesar Lembang. Katanya kampung kami berada di jalurnya. Kata orang-orang yang datang ke sini, Patahan Lembang itu di sana,” kata Dede, sambil menunjuk ke arah dinding lembah di utara kampungnya. Padahal, Sesar Lembang yang ditunjuk Dede bukan hanya dinding lembah di seberang tempat dia berdiri. Bahkan, saat itu Dede sedang berdiri di tepiannya.!break!

Sebelum terjadi gempa pada Agustus dan September itu, nama Sesar Lembang tidak di­kenal oleh masyarakat awam. Bahkan, jika kita bertanya kepada warga di wilayah Bandung, Lembang, Cimahi, dan Cisarua, di mana letak Sesar Lembang atau Patahan Lembang, nyaris tidak ada yang dapat menjawabnya. Sebagian kecil warga, terutama yang memiliki perhatian pada mata pelajaran geografi, mengaku pernah mendengar nama itu. Tetapi ketika ditanya di mana letak Sesar Lembang itu, tidak ada yang dapat menunjukkannya.

Padahal, Sesar Lembang yang memiliki panjang antara 22 kilometer sampai 25 kilo­meter itu, memanjang dari timur ke barat—dari kaki Gunung Manglayang sampai ke tepian kawasan karst Padalarang—pasti terlewati oleh siapa pun yang akan menuju Lembang dari arah Bandung, Cimahi, dan Padalarang. Lebih mengkhawatirkan lagi, di sepanjang Sesar Lembang dari barat ke timur, ribuan bangunan permukiman, restoran, hotel, asrama dan sekolah militer, juga tempat penelitian astronomi, berdiri di dasar patahan di sisi utara dan di puncak patahan di sisi selatan.

Bangunan-bangunan atau tempat terkenal yang berada di jalur Sesar Lembang, antara lain objek wisata Maribaya, Sekolah dan Staf Komando TNI Angkatan Udara (Sesko AU), Observatorium Bosscha, Sekolah dan Asrama Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad), restoran The Peak, dan beberapa kompleks permukiman mewah, seperti Graha Puspa dan Trinity.

“Inilah dilemanya, daerah sekitar patah­an memang mengundang manusia untuk ber­mukim, karena biasanya daerah itu kaya air,” ungkap Eko Yulianto, peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknik LIPI, kepada saya di puncak Gunung Batu, Lembang. Pasalnya, Eko menambahkan, ketika ada pergeseran patahan, longsoran tanah pun terjadi. Longsoran tanah itu sifatnya seperti spons, menyerap air dalam jumlah banyak, se­hingga daerah di sekitarnya menjadi kaya air. “Kita tahu, manusia selalu mencari tempat bermukim di dekat sumber air.” 

Gunung Batu yang sedang saya pijak seakan menjadi sebuah “monumen” Sesar Lembang. Berupa tonjolan batu raksasa yang mencuat puluhan meter ke permukaan, Gunung Batu ter­lihat jelas dari jalan Lembang-Maribaya. Jika cuaca cerah, di pagi dan sore hari, pemandangan Gunung Batu itu sangat elok. Sapuan sinar jing­ga matahari pada dinding batu yang kelabu, akan menciptakan paduan warna yang megah pada batu raksasa berusia puluhan ribu tahun itu.

Dalam nuansa seperti itu, Gunung Batu menjadi latar yang menakjubkan bagi rumah-rumah penduduk dan para petani bunga di sepanjang jalan Lembang-Maribaya.Berdiri di puncaknya, kita dapat melihat kota Lembang di sisi utara dengan Gunung Tangkubanperahu dan Gunung Burangrang yang menjadi latarnya. Menoleh ke selatan, terhampar luas Cekungan Bandung, dengan latar gunung-gunung yang saling menyambung di cakrawala selatan.

Di sebelah ke timur, terpampanglah pe­mandangan menakjubkan itu: puncak-puncak Sesar Lembang yang menjulang tinggi, dengan lembah-lembahnya yang curam. Menurut Eko, dinding Sesar Lembang di bagian timur mencapai ketinggian 450 meter. Semakin ke barat, dindingnya semakin merendah, dengan puncaknya yang paling rendah setinggi 40 meter di wilayah Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat.!break!

Gunung Batu adalah bagian dari Sesar Lembang yang mencuat ke atas. Eko menjelas­kan, Gunung Batu dan dinding-dinding tinggi yang kami lihat dari timur ke barat adalah bagian Sesar Lembang yang bergerak naik, atau disebut sebagai blok selatan. Wilayah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan sebagian Kabupaten Bandung Barat berada di atas blok selatan itu. Sedangkan kawasan Lembang, Cisarua, dan Parongpong berada di atas blok utara yang pergeserannya menurun.

“Tetapi dugaan saya, Sesar Lembang itu bukan sebuah sesar yang kontinu atau menyambung dari timur ke barat. Coba Anda lihat ke barat, posisi Bosscha dan The Peak itu agak melenceng ke selatan, sedangkan Gunung Batu dan dinding bagian timur mengarah ke utara.” Eko menduga, karena garisnya tidak me­nyambung, ada wilayah yang tertekan oleh gerakan dua bidang itu, sehingga mem­bubung membentuk bukit. Di bukit itulah Observatorium Bosscha berdiri.

Walau berdiri di tepian sesar Lembang, Obser­vatorium Bosscha diyakini oleh para pe­ngelolanya cukup kuat terhadap gempa. Me­nurut mantan Kepala Observatorium Bosscha, Hakim Malasan, tampaknya orang Belanda benar-benar memahami struktur geologis daerah-daerah yang menjadi lokasi pem­bangunan insfrastruktur mereka.

“Contohnya Observatorium Bosscha, yang kemudian diketahui berada di kawasan berbatuan padat dan tidak akan meng­amplifi­kasi getaran gempa. Saat gempa besar yang berasal dari Tasikmalaya tahun 2009, bangunan-bangunan di kawasan observatorium ini tidak ada yang mengalami kerusakan berarti. Teropong-teropong yang ada di sini bahkan sama sekali tidak rusak,” Hakim menjelaskan.

Menurut dia, selain karena struktur geologis di kawasan itu cukup kuat, bangunan-bangunan kawasan Obser­vatorium Bosscha memang dirancang untuk menahan guncangan, apakah akibat gempa tektonik atau gempa vulkanik yang mung­kin muncul akibat aktivitas Gunung Tangkubanperahu.

Bangunan yang paling kuat adalah tempat teropong berada karena dibangun dengan dua fondasi terpisah. Satu fondasi untuk menopang teropong, lainnya untuk menopang bangunan yang melingkupinya. Di antara dua fondasi itu ada lapisan pasir besi, yang sengaja dibuat untuk meredam getaran. “Struktur seperti ini ber­laku di setiap observatorium di seluruh dunia. Tujuannya agar teropong dapat menahan getaran. Kalau hanya terdiri dari satu fondasi, teropong berisiko untuk bergeser,” kata Hakim.

Selain itu, bangunan-bangunan di kawasan observatorium juga dibuat berjauhan satu dengan lain­nya. Hal itu untuk mengantisipasi efek domino jika ada satu bangunan yang rubuh akibat guncangan.

Setidaknya sejak tiga tahun terakhir, Eko Yulianto men­coba menggali lebih dalam ber­bagai informasi tentang Sesar Lembang sampai ke hal yang paling detail, termasuk mencoba melihat sejarah pergerakan Sesar Lembang di zaman purba. Penelitiannya membawanya pada kesimpulan paling elementer sekaligus kontroversial: Sesar Lembang adalah sesar aktif.

“Gempa dengan kekuatan besar pernah terjadi sekitar 500 tahun lalu dengan besaran 6,6 skala Richter. Sebelumnya, pada 2000 tahun yang lalu terjadi gempa yang pertama, dengan kekuatan sekitar 6,8 skala Richter,” ungkap Eko.

Dengan mengukur ketinggian dinding Sesar Lembang, Eko juga memiliki hipotesis, se­tidaknya telah terjadi 40 kali gempa bumi ber­kekuatan 6 sampai 7 skala Richter. Hipotesis itu berdasarkan argumen, Sesar Lembang ber­tambah tinggi 1 meter di setiap gempa bumi dengan kekuatan 7 skala Richter. Karena tinggi puncak Sesar Lembang yang paling rendah setinggi 40 meter, maka diasumsikan telah terjadi minimal 40 kali gempa dengan kekuatan 7 skala Richter.

Eko juga menemukan, di blok utara Sesar Lembang, terdapat “kuburan” hutan dari zaman purba. Hutan-hutan itu terkubur karena gerakan Sesar Lembang membuat pepohonan tercabut dari akarnya, dan terisi oleh aliran air sungai, karena permukaan tanahnya turun satu meter. Di tempat itulah kemudian terbentuk kolam raksasa atau sagpond.

Selama ratusan tahun, bangkai-bangkai pe­pohonan tertimbun oleh air, lumpur, kemudian tertutup tanah humus, lalu berubah menjadi lahan padat. Selanjutnya, muncul hutan baru di atas tanah yang mengubur hutan lama. Terjadi gempa lagi, hutan baru itu pun terkubur seperti hutan yang lama. Demikian seterusnya membentuk siklus yang berulang.

Eko menemukan sejarah kegempaan itu dengan meneliti endapan pada sagpond di sekitar kawasan Sesar Lembang. Turunnya permukaan tanah di blok utara, dan naiknya permukaan tanah di blok selatan, menciptakan sebuah dinding raksasa se­panjang 22-25 kilometer, yang menghalangi pemandangan warga yang hidup di blok utara ke arah selatan.

Mungkin itu sebabnya nyaris tidak ada warga di blok utara (Lembang, Parongpong, dan Cisarua) yang mengenal istilah Sesar Lembang atau Patahan Lembang. Mereka lebih mengenal dinding alam itu dengan nama Pasir Halang. Dalam bahasa Sunda, kata “pasir” itu berarti bukit, sedangkan “halang” artinya sesuatu yang menghalangi. Bisa jadi, penamaan Pasir Halang itu karena memang blok selatan yang mencuat ke atas menghalangi pandangan penduduk di sisi utara ke arah selatan.

“Yang men­jadi persoalan, penduduk tidak tahu jika Pasir Halang yang selama ini akrab dengan ke­hidupan mereka suatu hari akan menjadi sumber bencana,” kata Eko.

Menurut pria ramah yang menggemari isu-isu sejarah ini, pada zaman purba dinding Sesar Lembang atau Pasir Halang adalah sebuah bendungan raksasa alami, yang mencegah lahar letusan Gunung Tangkubanperahu mengalir terus ke selatan. Dan ternyata, bukan saja lahar Tangkubanperahu yang terbendung oleh dinding raksasa itu, melainkan juga aliran air di bawah permukaan tanah. Aliran air bawah tanah itu sampai saat ini belum mampu menembus dinding Sesar Lembang karena tersusun atas batuan yang sangat keras. Karena itu, aliran air bawah tanah dari blok utara Sesar Lembang tidak mengalir ke arah Bandung, tetapi ke arah Cimahi. Sebagian dari aliran air itu juga muncul sebagai mata air di sepanjang dinding Sesar Lembang dan membentuk kolam-kolam.!break!

Jika kita berdiri di puncak Gunung Batu, juga akan terlihat aliran sungai di blok utara yang tidak mengalir ke selatan. Sungai itu mengalir ke utara, lalu berbelok ke barat, dan bertemu dengan aliran Sungai Cikapundung yang mengalir ke selatan, melalui kawasan wisata Maribaya ke arah Kota Bandung, yang merupakan sebuah celah di permukaan dinding batu yang sangat keras itu.

Dari puncak Gunung Batu, terpampang jelas ribuan bangunan yang berdiri baik di blok utara maupun di blok selatan, yang dekat sekali dengan jalur Sesar Lembang. “Penduduk blok utara, terutama yang dekat dengan Sesar Lembang harus menanggung risiko yang lebih besar jika gempa berkekuatan besar terjadi. Selain terancam longsor, gempa juga akan menyebabkan rupture atau tanah terbelah, yang dapat merusak bangunan,” kata Eko.

pengajar dan peneliti di Kelompok Keilmuan Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, juga salah satu yang giat meneliti Sesar Lembang. Dia mengatakan, penelitian untuk mengetahui apakah Sesar Lembang itu aktif atau tidak baru dilakukan pada 2008. “Baru pada 2011 ini kami yakin bahwa Sesar Lembang adalah sesar aktif. Salah satunya karena gempa yang terjadi pada 22 Juli 2011 dan 28 Agustus 2011,” ujar Irwan.

Gempa 28 Agustus 2011 itu sudah dipastikan terkait Sesar Lembang karena data kegempaan dari Badan Geologi menunjukkan hal itu. Sedang­kan untuk gempa 22 Juli 2011, tim peneliti Geologi ITB memiliki datanya sendiri; lokasinya di ujung timur Sesar Lembang, dengan magnitude 2,8 skala Richter. Data dari Badan Geologi juga menunjukkan banyak gempa kecil, dengan kekuatan di bawah 2 skala Richter yang terdeteksi di sekitar Sesar Lembang. “Itu menunjukkan kalau dia aktif,” kata Irwan.

Kesimpulan itu, kata Irwan, sangat penting karena akan memengaruhi banyak hal. Setidaknya, jawaban bahwa Sesar Lembang aktif akan menjadi peringatan bagi warga dan pemerintah di seluruh Cekungan Bandung dan kawasan utara Bandung untuk waspada terhadap ancaman gempa dari Sesar Lembang.

Meski begitu, Irwan dan para peneliti lain­nya masih membutuhkan penelitian lanjutan untuk menguantifikasi hal yang lebih detail. “Sampai saat ini kami baru bersepakat bahwa Sesar Lembang aktif, dengan kecepatan laju geser 2-4 milimeter per tahun. Tetapi kami masih perlu tahu, pergeseran ini ke mana? Apakah polanya dextral (bergerak ke kanan) atau sinistral (bergerak ke kiri)? Dan apakah Sesar Lembang merupakan segmen yang kontinu atau terpisah-pisah,” kata Irwan.

Jika Sesar Lembang adalah sesar yang kontinu sepanjang 22-25 kilometer, skenario ke­kuatan gempa maksimum adalah seperti yang diperkirakan selama ini, yaitu antara 6-7 skala Richter. Tetapi, jika Sesar Lembang ternyata sesar yang terputus, seperti yang diyakini oleh Eko Yulianto, skenario gempa maksimum yang dapat terjadi mungkin tidak akan sebesar itu.

“Kami memang menduga Sesar Lembang bukan sesar yang kontinu, setelah melihat citra satelit dan pengamatan di lapangan. Tetapi ini harus dibuktikan betul, agar kesimpulannya dapat dipertanggungjawabkan karena akan berimplikasi terhadap be­berapa hal, misalnya terhadap perkiraan dampak kerusakan, dan perkiraan jumlah korban,” Irwan menjelaskan.

Mengenai periode ulang kegempaan dan ke­cepatan akumulasi energinya, sejauh ini data paling baik yang dimiliki peneliti adalah hasil penelitian Eko Yulianto, yang menyatakan periode ulang kegempaan Sesar Lembang sekitar 500 tahun.

Ahli geologi dari BP Migas, Awang H. Satyana, yang juga anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia dan Geological Society of America, memiliki analisis yang lebih melebar tentang Sesar Lembang. Menurutnya, Sesar Lembang harus dilihat dari aspek sejarah dan kaitannya dengan beberapa patahan lain, juga zona subduksi di Samudra Hindia.

Dilihat dari sejarahnya, kata Awang, Sesar Lembang terbentuk akibat runtuhnya Gunung Sunda, dan karenanya aktivitas vulkanologi harus menjadi pertimbangan dalam penelitian patahan tersebut. Sedangkan pergerakan Sesar Lembang dipengaruhi oleh gerakan lempeng di Samudra Hindia.

“Dengan kondisi ini ada beberapa hal yang harus diantisipasi. Aktivitas Gunung Tangkuban Perahu bisa jadi memengaruhi gerakan Sesar Lembang, dan desakan dari zona subduksi di Samudra Hindia juga harus diantisipasi akan membuat beberapa sesar tersambung, mulai dari Sesar Lembang, Sesar Cimandiri, sampai ke zona subduksi.” Jika sesar-sesar itu tersambung, gaya akibat gesekan di zona subduksi Samudra Hindia dengan mudah merambat ke sesar-sesar tersebut.!break!

Penelitian intensif terhadap Sesar Lembang tidak hanya tentang bagaimana sesar itu ber­gerak dan faktor-faktor yang menyertainya. Para peneliti di LIPI, ITB, dan Badan Geologi juga sedang meneliti dampak yang dapat terjadi terhadap manusia jika Sesar Lembang bergerak dengan kekuatan maksimum. Sayangnya, sampai saat ini belum ada penelitian yang selesai tentang hal tersebut.

“Saat ini saya sedang membimbing seorang mahasiswa S-2 di ITB yang meneliti tentang perkiraan jumlah bangunan yang rusak, jumlah korban manusia, dan economic loss jika terjadi gempa akibat pergeseran Sesar Lembang. Mudah-mudahan cepat selesai, sehingga kita dapat memiliki gambaran tentang apa yang bakal terjadi jika gempa itu benar-benar terjadi,” kata Irwan.

Sampai saat ini belum ada hasil kajian risiko bencana gempa di wilayah Cekungan Bandung dengan skenario gempa besar dari Sesar Lembang. Walaupun sebenarnya pernah ada penelitian tentang kajian risiko bencana kegempaan di Bandung, tetapi dengan skenario gempa yang dihasilkan dari pergerakan lempeng benua di selatan Jawa. “Tetapi, tentu saja skenario yang berbeda akan menghasilkan dampak yang berbeda juga. Kita membutuhkan kajian dengan skenario Sesar Lembang,” Irwan menambahkan.

Pada saat bersamaan, Badan Geologi pun sedang melakukan penelitian untuk mikro­zonasi, guna mengetahui pengaruh gempa dari Sesar Lembang terhadap kawasan Cekungan Bandung dan sekitarnya. Kepala Pusat Survei Geologi di Badan Geologi, Ahmad Djumarma Wirakusumah mengatakan penelitian mikro­zonasi sangat penting dilakukan, untuk me­ngetahui secara detail bagaimana kawasan yang terdiri atas kondisi geologis yang berbeda-beda akan terpengaruh oleh gempa. Dia menjelaskan, sebuah kawasan dipengaruhi oleh kondisi geologi, yaitu batuan dan ketebalan permukaan.

“Kondisi geologis sebuah kawasan, misalnya Bandung, tidak seragam. Ada daerah yang me­miliki batuan yang keras, ada juga yang lembek. Kondisi yang berbeda itu akan menghasilkan akibat yang berbeda pula. Misalnya, jika ter­jadi gempa, getaran gempa di daerah yang batuan­nya keras mungkin akan seperti aslinya saja. Tetapi kalau daerahnya terdiri atas lapisan yang lembek, getaran gempa itu akan diperbesar. Di Bandung, banyak kawasan yang memiliki lapisan batuan lembek,” kata Djumarma.

Berdasarkan kondisi batuan itu, Irwan Mei­lano mencoba memetakan lokasi rawan ben­cana jika Sesar Lembang bergerak. Hasilnya, daerah yang diperkirakan akan terdampak oleh gempa dari Sesar Lembang mencakup seluruh kawasan Cekungan Bandung yang terbagi ke dalam empat wilayah administratif, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Selain itu, juga sebagian wilayah Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Subang. Jika mengacu kepada data hasil survei penduduk tahun 2010, jumlah manusia yang akan terdampak gempa dari Sesar Lembang tidak kurang dari delapan juta jiwa.

Pertanyaannya kemudian, apakah persoalan Sesar Lembang juga diketahui oleh pemerintah daerah setempat?

Fakta yang mengejutkan adalah, sebagai daerah yang berhadapan langsung dengan Sesar Lembang dan memiliki penduduk se­kitar 2,4 juta jiwa, dengan tingkat kepadatan sekitar 14.000 jiwa per kilometer persegi, Kota Bandung sampai saat ini belum memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Padahal BPBD wajib dibentuk oleh setiap pemerintah daerah karena merupakan amanat Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Menurut Humas Badan Nasional Pe­nang­gulang­an Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, Kota Bandung adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota di Jawa Barat yang belum membentuk BPBD. Padahal, kata dia, Kota Bandung sangat rawan bencana, karena ber­ada di dekat gunung api Tangkubanperahu, dan berhadapan pula dengan Sesar Lembang. “Daerah yang belum membentuk BPBD risikonya tidak akan mendapat dana re­konstruksi dan rehabilitasi dari BNPB jika terjadi bencana,” kata Sutopo.

Seorang pejabat yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan Pemerintah Kota Bandung bukannya tidak mau membentuk BPBD. Tetapi, ada persaingan politik yang terjadi di antara para pejabat tinggi di kota itu, yang akan saling rebut untuk menjadi ketua BPBD jika lembaga itu dibentuk.

Persaingan politik itu terkait dengan akan dilaksanakannya pemilihan Wali Kota Bandung pada tahun 2013, sehingga beberapa pejabat yang akan mencalonkan diri menjadi Wali Kota Bandung menginginkan jabatan publik seperti Ketua BPBD atau Ketua Badan Narkotika Kota (BNK), agar dapat tampil menjadi figur yang dikenal publik. Akibat dari persaingan politik itu, upaya pembentukan BPBD menjadi tersandera.

Di wilayah Cekungan Bandung, sampai saat ini hanya dua daerah yang telah memiliki BPBD, yakni Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung. Dua daerah lagi, yaitu Kota Bandung dan Kota Cimahi belum menunjukkan tanda-tanda akan membentuk BPBD.

“Padahal, kalau dilihat dari jumlah penduduk, yang paling banyak akan terkena dampak gempa itu adalah Kota Bandung dan Kota Cimahi. Seharusnya mereka juga lebih berperan aktif dalam sosiali­sasi risiko gempa dari Sesar Lembang, bukan hanya dari kita,” tegas Dani Prianto Hadi, Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Kabupaten Bandung Barat.

Mengenai belum terbentuknya BPBD di Kota Bandung, Ketua BPBD Provinsi Jawa Barat, Udjawalaprana Sigit, tidak mau berkomentar dengan spesifik. Dia hanya menjelaskan, jika tidak ada BPBD di sebuah daerah, masyarakat akan kebingungan tentang siapa yang ber­tanggung jawab dalam menangani persoalan yang muncul akibat bencana.

“Anda sendiri bingung, kan, harus bertanya kepada siapa untuk mengetahui kesiapan Kota Bandung dalam menghadapi bencana? Kalau ada BPBD, masyarakat mau bertanya, mau meminta bantuan, atau mau mencaci maki, tinggal datang ke BPBD, tidak akan kebingungan lagi,” katanya.

Dia menjelaskan, konsep penanggulangan bencana yang paling baik adalah menyiapkan masyarakat sebelum bencana terjadi, melakukan tindakan tanggap darurat saat bencana terjadi, dan melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi setelah bencana terjadi. Untuk itulah BPBD wajib dibentuk, agar penanganan akibat bencana tidak hanya berupa tanggap darurat.

“Yang penting bagaimana membuat masya­rakat siap. Dalam menghadapi bencana, kunci­nya adalah kesiapsiagaan. Mau gempa berapa skala Richter, kalau masyarakatnya siap, terampil, paham berada di lokasi rawan bencana, akan mudah menyelamatkan diri sendiri dan keluarganya. Yang kita lakukan sekarang adalah menyosialisasikan keberadaan mereka. Kita gandeng ahli untuk sharing ilmu pengetahuan kepada masyarakat, bukan untuk menakut-nakuti,” kata Sigit.!break!

Untuk sosialisasi dan pelatihan menghadapi gempa di Kota Bandung, BPBD Provinsi Jawa Barat-lah yang turun tangan, bukan instansi Pemerintah Kota Bandung. Misalnya, seperti yang dilakukan di SMAN 5 Bandung, pada 16 November 2011, di mana BPBD Provinsi Jawa Barat melakukan simulasi gempa dan mengajarkan kepada para siswa dan guru, tentang cara penyelamatan diri dan hal-hal yang harus dihindari saat gempa terjadi.

Sigit mengatakan, idealnya, bukan hanya BPBD yang terlibat aktif dalam proses mitigasi bencana. Dalam masalah gempa, misalnya, se­harusnya instansi pemerintah seperti dinas yang mengurus izin bangunan juga harus terlibat lebih jauh dalam menetapkan kriteria bangunan di lokasi rawan gempa, dan melakukan peng­awasan lebih ketat, agar kriteria-kriteria itu diterapkan.

“Yang saya tahu, gempa itu tidak membunuh secara langsung. Yang membunuh itu ‘kan bangunan-bangunan yang dihuni oleh manusianya. Kalau bangunannya kuat dan tahan gempa, korban gempa dapat diminimalkan. Tidak mungkin kita memindahkan semua penduduk di wilayah yang rawan gempa.”

Menurut Ahmad Djumarma, zona dalam radius 250 meter dari titik gempa sebaiknya tidak dihuni. Tetapi orang yang tinggal di zona yang kritis, bukan tidak mungkin mem­buat bangunan, asal parameter keamanannya dipenuhi. “Yang mengherankan, pemilik bangunan di sekitar Sesar Lembang itu seperti tidak tahu mereka tingggal di zona berbahaya. Apa pemerintahnya tidak tahu? Kalau sudah tahu, kok dikasih izin membangun juga, ya?