Petaka Mengintai di Utara Bandung

By , Senin, 30 Januari 2012 | 16:56 WIB

“Gempa dengan kekuatan besar pernah terjadi sekitar 500 tahun lalu dengan besaran 6,6 skala Richter. Sebelumnya, pada 2000 tahun yang lalu terjadi gempa yang pertama, dengan kekuatan sekitar 6,8 skala Richter,” ungkap Eko.

Dengan mengukur ketinggian dinding Sesar Lembang, Eko juga memiliki hipotesis, se­tidaknya telah terjadi 40 kali gempa bumi ber­kekuatan 6 sampai 7 skala Richter. Hipotesis itu berdasarkan argumen, Sesar Lembang ber­tambah tinggi 1 meter di setiap gempa bumi dengan kekuatan 7 skala Richter. Karena tinggi puncak Sesar Lembang yang paling rendah setinggi 40 meter, maka diasumsikan telah terjadi minimal 40 kali gempa dengan kekuatan 7 skala Richter.

Eko juga menemukan, di blok utara Sesar Lembang, terdapat “kuburan” hutan dari zaman purba. Hutan-hutan itu terkubur karena gerakan Sesar Lembang membuat pepohonan tercabut dari akarnya, dan terisi oleh aliran air sungai, karena permukaan tanahnya turun satu meter. Di tempat itulah kemudian terbentuk kolam raksasa atau sagpond.

Selama ratusan tahun, bangkai-bangkai pe­pohonan tertimbun oleh air, lumpur, kemudian tertutup tanah humus, lalu berubah menjadi lahan padat. Selanjutnya, muncul hutan baru di atas tanah yang mengubur hutan lama. Terjadi gempa lagi, hutan baru itu pun terkubur seperti hutan yang lama. Demikian seterusnya membentuk siklus yang berulang.

Eko menemukan sejarah kegempaan itu dengan meneliti endapan pada sagpond di sekitar kawasan Sesar Lembang. Turunnya permukaan tanah di blok utara, dan naiknya permukaan tanah di blok selatan, menciptakan sebuah dinding raksasa se­panjang 22-25 kilometer, yang menghalangi pemandangan warga yang hidup di blok utara ke arah selatan.

Mungkin itu sebabnya nyaris tidak ada warga di blok utara (Lembang, Parongpong, dan Cisarua) yang mengenal istilah Sesar Lembang atau Patahan Lembang. Mereka lebih mengenal dinding alam itu dengan nama Pasir Halang. Dalam bahasa Sunda, kata “pasir” itu berarti bukit, sedangkan “halang” artinya sesuatu yang menghalangi. Bisa jadi, penamaan Pasir Halang itu karena memang blok selatan yang mencuat ke atas menghalangi pandangan penduduk di sisi utara ke arah selatan.

“Yang men­jadi persoalan, penduduk tidak tahu jika Pasir Halang yang selama ini akrab dengan ke­hidupan mereka suatu hari akan menjadi sumber bencana,” kata Eko.

Menurut pria ramah yang menggemari isu-isu sejarah ini, pada zaman purba dinding Sesar Lembang atau Pasir Halang adalah sebuah bendungan raksasa alami, yang mencegah lahar letusan Gunung Tangkubanperahu mengalir terus ke selatan. Dan ternyata, bukan saja lahar Tangkubanperahu yang terbendung oleh dinding raksasa itu, melainkan juga aliran air di bawah permukaan tanah. Aliran air bawah tanah itu sampai saat ini belum mampu menembus dinding Sesar Lembang karena tersusun atas batuan yang sangat keras. Karena itu, aliran air bawah tanah dari blok utara Sesar Lembang tidak mengalir ke arah Bandung, tetapi ke arah Cimahi. Sebagian dari aliran air itu juga muncul sebagai mata air di sepanjang dinding Sesar Lembang dan membentuk kolam-kolam.!break!

Jika kita berdiri di puncak Gunung Batu, juga akan terlihat aliran sungai di blok utara yang tidak mengalir ke selatan. Sungai itu mengalir ke utara, lalu berbelok ke barat, dan bertemu dengan aliran Sungai Cikapundung yang mengalir ke selatan, melalui kawasan wisata Maribaya ke arah Kota Bandung, yang merupakan sebuah celah di permukaan dinding batu yang sangat keras itu.

Dari puncak Gunung Batu, terpampang jelas ribuan bangunan yang berdiri baik di blok utara maupun di blok selatan, yang dekat sekali dengan jalur Sesar Lembang. “Penduduk blok utara, terutama yang dekat dengan Sesar Lembang harus menanggung risiko yang lebih besar jika gempa berkekuatan besar terjadi. Selain terancam longsor, gempa juga akan menyebabkan rupture atau tanah terbelah, yang dapat merusak bangunan,” kata Eko.

pengajar dan peneliti di Kelompok Keilmuan Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, juga salah satu yang giat meneliti Sesar Lembang. Dia mengatakan, penelitian untuk mengetahui apakah Sesar Lembang itu aktif atau tidak baru dilakukan pada 2008. “Baru pada 2011 ini kami yakin bahwa Sesar Lembang adalah sesar aktif. Salah satunya karena gempa yang terjadi pada 22 Juli 2011 dan 28 Agustus 2011,” ujar Irwan.

Gempa 28 Agustus 2011 itu sudah dipastikan terkait Sesar Lembang karena data kegempaan dari Badan Geologi menunjukkan hal itu. Sedang­kan untuk gempa 22 Juli 2011, tim peneliti Geologi ITB memiliki datanya sendiri; lokasinya di ujung timur Sesar Lembang, dengan magnitude 2,8 skala Richter. Data dari Badan Geologi juga menunjukkan banyak gempa kecil, dengan kekuatan di bawah 2 skala Richter yang terdeteksi di sekitar Sesar Lembang. “Itu menunjukkan kalau dia aktif,” kata Irwan.