“Kondisi geologis sebuah kawasan, misalnya Bandung, tidak seragam. Ada daerah yang memiliki batuan yang keras, ada juga yang lembek. Kondisi yang berbeda itu akan menghasilkan akibat yang berbeda pula. Misalnya, jika terjadi gempa, getaran gempa di daerah yang batuannya keras mungkin akan seperti aslinya saja. Tetapi kalau daerahnya terdiri atas lapisan yang lembek, getaran gempa itu akan diperbesar. Di Bandung, banyak kawasan yang memiliki lapisan batuan lembek,” kata Djumarma.
Berdasarkan kondisi batuan itu, Irwan Meilano mencoba memetakan lokasi rawan bencana jika Sesar Lembang bergerak. Hasilnya, daerah yang diperkirakan akan terdampak oleh gempa dari Sesar Lembang mencakup seluruh kawasan Cekungan Bandung yang terbagi ke dalam empat wilayah administratif, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Selain itu, juga sebagian wilayah Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Subang. Jika mengacu kepada data hasil survei penduduk tahun 2010, jumlah manusia yang akan terdampak gempa dari Sesar Lembang tidak kurang dari delapan juta jiwa.
Pertanyaannya kemudian, apakah persoalan Sesar Lembang juga diketahui oleh pemerintah daerah setempat?
Fakta yang mengejutkan adalah, sebagai daerah yang berhadapan langsung dengan Sesar Lembang dan memiliki penduduk sekitar 2,4 juta jiwa, dengan tingkat kepadatan sekitar 14.000 jiwa per kilometer persegi, Kota Bandung sampai saat ini belum memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Padahal BPBD wajib dibentuk oleh setiap pemerintah daerah karena merupakan amanat Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Menurut Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, Kota Bandung adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota di Jawa Barat yang belum membentuk BPBD. Padahal, kata dia, Kota Bandung sangat rawan bencana, karena berada di dekat gunung api Tangkubanperahu, dan berhadapan pula dengan Sesar Lembang. “Daerah yang belum membentuk BPBD risikonya tidak akan mendapat dana rekonstruksi dan rehabilitasi dari BNPB jika terjadi bencana,” kata Sutopo.
Seorang pejabat yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan Pemerintah Kota Bandung bukannya tidak mau membentuk BPBD. Tetapi, ada persaingan politik yang terjadi di antara para pejabat tinggi di kota itu, yang akan saling rebut untuk menjadi ketua BPBD jika lembaga itu dibentuk.
Persaingan politik itu terkait dengan akan dilaksanakannya pemilihan Wali Kota Bandung pada tahun 2013, sehingga beberapa pejabat yang akan mencalonkan diri menjadi Wali Kota Bandung menginginkan jabatan publik seperti Ketua BPBD atau Ketua Badan Narkotika Kota (BNK), agar dapat tampil menjadi figur yang dikenal publik. Akibat dari persaingan politik itu, upaya pembentukan BPBD menjadi tersandera.
Di wilayah Cekungan Bandung, sampai saat ini hanya dua daerah yang telah memiliki BPBD, yakni Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung. Dua daerah lagi, yaitu Kota Bandung dan Kota Cimahi belum menunjukkan tanda-tanda akan membentuk BPBD.
“Padahal, kalau dilihat dari jumlah penduduk, yang paling banyak akan terkena dampak gempa itu adalah Kota Bandung dan Kota Cimahi. Seharusnya mereka juga lebih berperan aktif dalam sosialisasi risiko gempa dari Sesar Lembang, bukan hanya dari kita,” tegas Dani Prianto Hadi, Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Kabupaten Bandung Barat.
Mengenai belum terbentuknya BPBD di Kota Bandung, Ketua BPBD Provinsi Jawa Barat, Udjawalaprana Sigit, tidak mau berkomentar dengan spesifik. Dia hanya menjelaskan, jika tidak ada BPBD di sebuah daerah, masyarakat akan kebingungan tentang siapa yang bertanggung jawab dalam menangani persoalan yang muncul akibat bencana.
“Anda sendiri bingung, kan, harus bertanya kepada siapa untuk mengetahui kesiapan Kota Bandung dalam menghadapi bencana? Kalau ada BPBD, masyarakat mau bertanya, mau meminta bantuan, atau mau mencaci maki, tinggal datang ke BPBD, tidak akan kebingungan lagi,” katanya.
Dia menjelaskan, konsep penanggulangan bencana yang paling baik adalah menyiapkan masyarakat sebelum bencana terjadi, melakukan tindakan tanggap darurat saat bencana terjadi, dan melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi setelah bencana terjadi. Untuk itulah BPBD wajib dibentuk, agar penanganan akibat bencana tidak hanya berupa tanggap darurat.
“Yang penting bagaimana membuat masyarakat siap. Dalam menghadapi bencana, kuncinya adalah kesiapsiagaan. Mau gempa berapa skala Richter, kalau masyarakatnya siap, terampil, paham berada di lokasi rawan bencana, akan mudah menyelamatkan diri sendiri dan keluarganya. Yang kita lakukan sekarang adalah menyosialisasikan keberadaan mereka. Kita gandeng ahli untuk sharing ilmu pengetahuan kepada masyarakat, bukan untuk menakut-nakuti,” kata Sigit.!break!
Untuk sosialisasi dan pelatihan menghadapi gempa di Kota Bandung, BPBD Provinsi Jawa Barat-lah yang turun tangan, bukan instansi Pemerintah Kota Bandung. Misalnya, seperti yang dilakukan di SMAN 5 Bandung, pada 16 November 2011, di mana BPBD Provinsi Jawa Barat melakukan simulasi gempa dan mengajarkan kepada para siswa dan guru, tentang cara penyelamatan diri dan hal-hal yang harus dihindari saat gempa terjadi.
Sigit mengatakan, idealnya, bukan hanya BPBD yang terlibat aktif dalam proses mitigasi bencana. Dalam masalah gempa, misalnya, seharusnya instansi pemerintah seperti dinas yang mengurus izin bangunan juga harus terlibat lebih jauh dalam menetapkan kriteria bangunan di lokasi rawan gempa, dan melakukan pengawasan lebih ketat, agar kriteria-kriteria itu diterapkan.
“Yang saya tahu, gempa itu tidak membunuh secara langsung. Yang membunuh itu ‘kan bangunan-bangunan yang dihuni oleh manusianya. Kalau bangunannya kuat dan tahan gempa, korban gempa dapat diminimalkan. Tidak mungkin kita memindahkan semua penduduk di wilayah yang rawan gempa.”
Menurut Ahmad Djumarma, zona dalam radius 250 meter dari titik gempa sebaiknya tidak dihuni. Tetapi orang yang tinggal di zona yang kritis, bukan tidak mungkin membuat bangunan, asal parameter keamanannya dipenuhi. “Yang mengherankan, pemilik bangunan di sekitar Sesar Lembang itu seperti tidak tahu mereka tingggal di zona berbahaya. Apa pemerintahnya tidak tahu? Kalau sudah tahu, kok dikasih izin membangun juga, ya?