Petaka Mengintai di Utara Bandung

By , Senin, 30 Januari 2012 | 16:56 WIB

“Inilah dilemanya, daerah sekitar patah­an memang mengundang manusia untuk ber­mukim, karena biasanya daerah itu kaya air,” ungkap Eko Yulianto, peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknik LIPI, kepada saya di puncak Gunung Batu, Lembang. Pasalnya, Eko menambahkan, ketika ada pergeseran patahan, longsoran tanah pun terjadi. Longsoran tanah itu sifatnya seperti spons, menyerap air dalam jumlah banyak, se­hingga daerah di sekitarnya menjadi kaya air. “Kita tahu, manusia selalu mencari tempat bermukim di dekat sumber air.” 

Gunung Batu yang sedang saya pijak seakan menjadi sebuah “monumen” Sesar Lembang. Berupa tonjolan batu raksasa yang mencuat puluhan meter ke permukaan, Gunung Batu ter­lihat jelas dari jalan Lembang-Maribaya. Jika cuaca cerah, di pagi dan sore hari, pemandangan Gunung Batu itu sangat elok. Sapuan sinar jing­ga matahari pada dinding batu yang kelabu, akan menciptakan paduan warna yang megah pada batu raksasa berusia puluhan ribu tahun itu.

Dalam nuansa seperti itu, Gunung Batu menjadi latar yang menakjubkan bagi rumah-rumah penduduk dan para petani bunga di sepanjang jalan Lembang-Maribaya.Berdiri di puncaknya, kita dapat melihat kota Lembang di sisi utara dengan Gunung Tangkubanperahu dan Gunung Burangrang yang menjadi latarnya. Menoleh ke selatan, terhampar luas Cekungan Bandung, dengan latar gunung-gunung yang saling menyambung di cakrawala selatan.

Di sebelah ke timur, terpampanglah pe­mandangan menakjubkan itu: puncak-puncak Sesar Lembang yang menjulang tinggi, dengan lembah-lembahnya yang curam. Menurut Eko, dinding Sesar Lembang di bagian timur mencapai ketinggian 450 meter. Semakin ke barat, dindingnya semakin merendah, dengan puncaknya yang paling rendah setinggi 40 meter di wilayah Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat.!break!

Gunung Batu adalah bagian dari Sesar Lembang yang mencuat ke atas. Eko menjelas­kan, Gunung Batu dan dinding-dinding tinggi yang kami lihat dari timur ke barat adalah bagian Sesar Lembang yang bergerak naik, atau disebut sebagai blok selatan. Wilayah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan sebagian Kabupaten Bandung Barat berada di atas blok selatan itu. Sedangkan kawasan Lembang, Cisarua, dan Parongpong berada di atas blok utara yang pergeserannya menurun.

“Tetapi dugaan saya, Sesar Lembang itu bukan sebuah sesar yang kontinu atau menyambung dari timur ke barat. Coba Anda lihat ke barat, posisi Bosscha dan The Peak itu agak melenceng ke selatan, sedangkan Gunung Batu dan dinding bagian timur mengarah ke utara.” Eko menduga, karena garisnya tidak me­nyambung, ada wilayah yang tertekan oleh gerakan dua bidang itu, sehingga mem­bubung membentuk bukit. Di bukit itulah Observatorium Bosscha berdiri.

Walau berdiri di tepian sesar Lembang, Obser­vatorium Bosscha diyakini oleh para pe­ngelolanya cukup kuat terhadap gempa. Me­nurut mantan Kepala Observatorium Bosscha, Hakim Malasan, tampaknya orang Belanda benar-benar memahami struktur geologis daerah-daerah yang menjadi lokasi pem­bangunan insfrastruktur mereka.

“Contohnya Observatorium Bosscha, yang kemudian diketahui berada di kawasan berbatuan padat dan tidak akan meng­amplifi­kasi getaran gempa. Saat gempa besar yang berasal dari Tasikmalaya tahun 2009, bangunan-bangunan di kawasan observatorium ini tidak ada yang mengalami kerusakan berarti. Teropong-teropong yang ada di sini bahkan sama sekali tidak rusak,” Hakim menjelaskan.

Menurut dia, selain karena struktur geologis di kawasan itu cukup kuat, bangunan-bangunan kawasan Obser­vatorium Bosscha memang dirancang untuk menahan guncangan, apakah akibat gempa tektonik atau gempa vulkanik yang mung­kin muncul akibat aktivitas Gunung Tangkubanperahu.

Bangunan yang paling kuat adalah tempat teropong berada karena dibangun dengan dua fondasi terpisah. Satu fondasi untuk menopang teropong, lainnya untuk menopang bangunan yang melingkupinya. Di antara dua fondasi itu ada lapisan pasir besi, yang sengaja dibuat untuk meredam getaran. “Struktur seperti ini ber­laku di setiap observatorium di seluruh dunia. Tujuannya agar teropong dapat menahan getaran. Kalau hanya terdiri dari satu fondasi, teropong berisiko untuk bergeser,” kata Hakim.

Selain itu, bangunan-bangunan di kawasan observatorium juga dibuat berjauhan satu dengan lain­nya. Hal itu untuk mengantisipasi efek domino jika ada satu bangunan yang rubuh akibat guncangan.

Setidaknya sejak tiga tahun terakhir, Eko Yulianto men­coba menggali lebih dalam ber­bagai informasi tentang Sesar Lembang sampai ke hal yang paling detail, termasuk mencoba melihat sejarah pergerakan Sesar Lembang di zaman purba. Penelitiannya membawanya pada kesimpulan paling elementer sekaligus kontroversial: Sesar Lembang adalah sesar aktif.