Mara dan Gelora di Gunung Garang

By , Kamis, 29 Maret 2012 | 14:39 WIB

Esok Pasti Berhasil Akhirnya tibalah fajar yang membawa asa: Senin, 22 Agustus, Camp IV, 7.950 meter. Badai telah berlalu, salju sudah berhenti, langit membiru tanpa mega hingga ke tepi kekelaman antariksa.                                                                    Hampir sepanjang Juli dan setengah bulan Agustus, enam anggota International 2011 K2 North Pillar Expedition hilir mudik naik turun Jalur Utara yang jarang didaki, di puncak tertinggi kedua di dunia. Saat itu merekalah satu-satunya yang melaksanakan ekspedisi di K2 pada sisi China yang terpencil ini, sang raksasa di Pegunungan Karakoram yang menjulang setinggi 8.611 meter di perbatasan China-Pakistan. Mereka mendaki punggungan itu tanpa bantuan oksigen atau para pengangkut  barang yang teraklimatisasi di tempat tinggi.

Dua pendaki Kazakhstan—Maxut Zhumayev, 34, dan Vassiliy Pivtsov, 36—masing-masing melakukan upaya keenam dan ketujuhnya untuk mencapai puncak K2. Dariusz Załuski, videografer Polandia berusia 52 tahun, sudah tiga kali mencoba. Tommy Heinrich, fotografer 49 tahun dari Argentina, dua kali mengikuti ekspedisi K2, tetapi gagal pula mencapai puncak.

Yang paling menyedot perhatian adalah Gerlinde Kaltenbrunner, 40, mantan perawat berambut hitam dari Austria yang melakukan upaya keempatnya mencapai K2. Jika berhasil kali ini, ia akan jadi wanita pertama dalam sejarah yang berhasil mendaki keempat belas puncak dunia yang melebihi 8.000 meter tanpa bantuan oksigen tambahan. Ia memimpin ekspedisi ini bersama suaminya, Ralf Dujmovits, 49, yang sudah mendaki semua puncak 8.000 meter (kecuali satu puncak, semuanya tanpa bantuan oksigen) pendaki gunung tinggi paling terpandang di Jerman. Ia berhasil mencapai puncak K2 dari sisi Pakistan dalam upaya pertamanya pada Juli 1994.

Keenam pendaki butuh 42 hari untuk mendirikan beberapa kemah yang terhubung oleh ribuan meter tali di sepanjang rute. Jalur ini meliput semua medan, mulai dari es dan batu yang menjulang tegak lurus hingga lereng salju setinggi dada yang selalu berisiko longsor. Me­reka memaksakan diri membuka jalur di tengah terpaan salju lebat, mengangkut peralatan, membuang salju dari kemah, memasang tenda, melelehkan es. Berkali-kali mereka meninggalkan kemah di gunung, turun untuk tidur di ketinggian yang lebih rendah di Advanced Base Camp, 4.650 meter, di Gletser Utara K2.

Pada 16 Agustus, mereka berangkat pada ke­sempatan satu-satunya untuk menggapai puncak. Salju yang jatuh hampir sepanjang musim panas mulai turun lagi. Hari itu mereka mencapai Camp I di kaki punggungan; avalans menggemuruh dan salju turun setebal lebih dari 30 sentimeter sepanjang malam. Mereka menunggu sehari, berharap salju di lereng atas berhenti turun sebelum melanjutkan pendakian.!break!

Pada 18 Agustus, pukul 5.10, mereka memutuskan untuk melanjutkan pendakian ke Camp II. Setiap kilogram menjadi beban; jadi untuk meringankan bawaannya, Gerlinde meninggalkan jurnalnya di tenda. Dua avalans menyapu rute pendakian mereka di celah yang panjang. Sekitar pukul 6.30 Ralf berhenti. Kondisi salju amat tak menentu sehingga ia tidak lagi bisa mengabaikan nalurinya.

"Gerlinde, saya akan turun," katanya. Sejak pasangan itu mendaki bersama, mereka berjanji untuk tak saling menghalangi jika salah satu ingin melanjutkan sementara yang lain tidak. Saat mendaki Lhotse di Nepal tahun 2006—hanya satu dari banyak contoh—Gerlinde mendaki sendirian selama 20 menit setelah Ralf terhalang salju baru di atas blue ice yang menutup celah  menuju puncak, sebelum akhirnya Gerlinde pun kembali. Karena belum pernah sampai ke puncak K2, Gerlinde bersedia mengambil risiko yang dihindari Ralf. Wanita ini juga menghadapi rasa takut dengan cara berbeda. Sementara suaminya dengan gembira menggunakan sensasi rasa takutnya untuk mengukur batas kemampuan dan memaksanya untuk mengindahkan peringatan itu, Gerlinde ber­usaha memblokade rasa takut dengan ketenangannya saat tenggelam dalam pekerjaan.

Namun, sekarang di celah di atas Camp I, sekalipun sudah ada perjanjian, meskipun tahu penundaan itu mungkin menghilangkan kesempatan sang istri untuk mencapai puncak, Ralf memohon istrinya untuk turun bersamanya. "Ralf berteriak bahwa rute itu sangat rawan longsor. Ia berteriak putus asa," ujar Maxut kemudian dalam video di situsnya, "sementara Gerlinde balas berteriak bahwa saat itu adalah penentuan pendakian. Jika kita turun hari itu, tanggal 18, kita tak akan bisa memanfaatkan periode cuaca bagus tersebut."

"Saya sangat khawatir saya tidak lagi bisa bertemu dengannya," jelas Ralf kemudian.

Gerlinde menyaksikan Ralf membagikan peralatan kelompoknya ke sisa tim dan turun menghilang ditelan kabut. Itulah saat yang paling memilukan bagi Gerlinde dalam pendakian ini. Lalu dengan keuletan dan kegigihannya yang khas, Gerlinde kembali melanjutkan tugasnya. "Saya sadar akan risikonya," katanya kemudian. "Tetapi firasat saya baik-baik saja."

Seperti yang ditakutkan Ralf, salju di lereng mulai bergeser turun. Tiga longsoran kecil dipicu masing-masing oleh Maxut, Vassiliy, dan Gerlinde yang berada paling depan untuk membuka jalan. Longsoran terbesar menghantam Tommy yang mendaki 60 meter di bawah; ia terguling, hidung dan mulutnya penuh salju. Hanya tali yang kencang laksana dawai cello yang menyelamatkannya sehingga tidak terdepak dari gunung itu. Ia berhasil keluar sendiri dari timbunan salju, tetapi longsoran itu menutupi jalur yang telah dibuka, dan akhirnya ia pun kembali ke bawah.!break!

Jadi, sekarang mereka tinggal berempat: Gerlinde, Vassiliy, Maxut, dan Dariusz. Nasib pembuka jalan ini serupa dengan Sisyphus dalam mitologi Yunani. Sapu salju ke samping, remukkan es bagian atas dengan lutut, padatkan yang ada di bawah, naiki, mundur sedikit ke belakang. Ulangi, ulangi, dan ulangi. Setelah 11 jam mendaki, mereka mendirikan bivak di Shoulder Depot Camp di bawah Camp II, dan melewatkan malam yang sengsara, berjejalan di dalam tenda untuk dua orang. Hari berikutnya mereka menghadapi bagian tersulit di punggungan itu dan mencapai Camp II, 6.600 meter. Mereka pun bersalin dengan down suit, pakaian berisi bulu untuk menahan dingin. Pada Sabtu, 20 Agustus, perlahan mereka mendaki ke Camp III, tiba di sana sore hari, kelelahan dengan dingin merasuk tulang. Mereka minum kopi dengan madu dan menghangatkan tangan dan kaki di atas kompor gas. Sepanjang malam, dinding tenda yang mengeras karena embun beku tersentak dan bergetar ditiup angin.

Berdasarkan prakiraan cuaca telepon satelit yang diteruskan Ralf melalui radio dari Advanced Base Camp, mereka akan mengalami cuaca yang lebih baik. Cuaca akhirnya berubah pada hari Minggu, 21 Agustus, membesarkan hati semua orang dan mempermudah tim mencapai Camp IV. Mereka sekarang hampir mencapai ketinggian 8.000 meter, biasa disebut death zone atau  zona kematian. Pada ketinggian ini, tubuh tidak mampu menyesuaikan diri dengan udara yang tipis oksigen, kognisi terganggu, dan tugas sederhana bisa memakan waktu sangat lama. Mereka melewatkan sore itu untuk menajamkan crampon dan mencairkan salju. Menjelang malam, mereka berdiri di luar tenda yang terpasang di lekukan batu, di atas kehampaan setinggi tiga kilometer hingga ke gletser di bawah. Enam ratus meter di atas, terbentang selimut puncak nan putih berkilau, tidak terjamah sejak 2008 ketika 11 pendaki tewas dalam salah satu episode pendakian gunung paling mematikan dalam sejarah K2.