Mara dan Gelora di Gunung Garang

By , Kamis, 29 Maret 2012 | 14:39 WIB

"Ada saat ketika kami semua mulai gelisah, dalam arti yang baik," kata Gerlinde kemudian. "Kami semua saling bersentuhan tangan, bertatapan, dan berkata, ‘Esok pasti berhasil.’"

Hasrat MendakiK2 memiliki tempat unik dalam pendakian gunung tinggi. Meskipun 239 meter lebih rendah daripada Everest, ia telah lama dikenal sebagai gunungnya para pendaki. Sosok berbentuk segitiga lancip yang tinggi menjulang dari medan sekitarnya membuat pendakian K2 jauh lebih sulit dan berbahaya. Sampai akhir 2010, Everest telah didaki 5.104 kali; sementara K2 hanya 302 kali. Rata-rata satu pendaki K2 tewas untuk setiap empat pendaki yang berhasil. Setelah upaya awal oleh tim pendaki Inggris dan Italia pada awal 1900-an, pihak Amerika berusaha mendaki K2 pada 1938, 1939, dan 1953. Charles Houston dan Robert Bates memberi judul laporan ekspedisi mereka tahun 1953 K2: The Savage Mountain. Pada 1954, K2 akhirnya "ditaklukkan" oleh ekspedisi besar Italia yang mengirimkan dua orang ke puncak melalui rute pendakian yang sekarang menjadi standar di sisi Pakistan.

Bagi Gerlinde Kaltenbrunner, gunung para pendaki itu menggoreskan kesan tak terlupakan sejak pertama kali ia melihatnya dari Broad Peak  tahun 1994 pada usia 23. "Saya terpesona oleh bentuknya," katanya, "tetapi saya tak berani membayangkan mendaki puncaknya."

Gerlinde, anak kelima dari enam bersaudara, dibesarkan dalam keluarga Katolik Roma di Spital am Pyhrn, desa pegunungan berpenduduk sekitar 2.200 orang di bagian tengah Austria. Ayahnya, Manfred, bekerja di tambang lokal; ibunya, Rosamaria, juru masak di sebuah hostel. Gerlinde mengidolakan kakaknya, Brigitte, yang sepuluh tahun lebih tua. Ia gila olahraga: berenang, bersepeda, bermain ski. !break!

Ia mengikuti sekolah olahraga, termasuk pelatihan ski. Di sini ia tahu bahwa ia adalah pemain ski yang baik, tetapi tak istimewa. Hal yang lebih menjengkelkan adalah saat teman-teman yang dianggapnya dekat menyatakan ketidaksukaannya ketika Gerlinde kebetulan mengalahkan mereka dalam lomba. Pengalaman awal persaingan di sekolah ini membuatnya tidak menyukai kompetisi, dan di kemudian hari ia tidak mau menganggap dirinya sebagai kontestan yang bersaing mencetak rekor melawan perempuan pendaki lainnya.

Di Gerejalah hasrat pendakiannya tergugah. Di negara yang kebanyakan puncak gunung tingginya diberi hiasan salib ini, tidaklah mengherankan jika Erich Tischler, pastor Katolik setempat, mengenakan celana mendaki di bawah jubahnya. Jika cuaca baik, ia pun mempersingkat khotbah Minggu agar jemaatnya dapat mendaki gunung. Gerlinde sebagai gadis altar ikut Misa dengan sepatu bot di ranselnya. Romo Tischler memimpin pendakian pertamanya di usia tujuh tahun, juga pada pendakian pertamanya dengan tali panjat di Gunung Sturzhahn saat usianya 13.

Setelah pernikahan orang tuanya berakhir dengan perceraian pada tahun 1985, Gerlinde, saat itu 14 tahun, pindah. Ia tinggal bersama kakaknya Brigitte dan akhirnya mengikuti profesinya sebagai perawat. Pada usia 20, Gerlinde bekerja di rumah sakit di Rottenmann, sebuah kota kecil sekitar 24 kilometer dari Spital am Pyhrn. Pada akhir pekan, ia bergegas pergi ke gunung-gunung di wilayah itu untuk mendaki. Nafsu petualangan membawanya ke Pegunung­an Karakoram tahun 1994. Di Broad Peak, Pa­kis­tan, ia menghentikan upaya mencapai puncak karena cuaca memburuk, lalu berubah pikiran, dan akhirnya mencapai dasar dari puncak utama, (sekitar 20 meter lebih rendah dari puncak 8.051 meter) yang ada di ujung punggungan yang memanjang. (Ia kembali mendaki sampai ke puncak pada 2007.) Ia gembira. Namun, setelah melihat jasad seorang pendaki yang meninggal di gunung, ia sekaligus bingung. "Betapa mungkin kebahagiaan, kegembiraan, dan kematian bertaut begitu erat," tulisnya dalam jurnal.

Kembali ke rumah, Gerlinde menabung dan mengumpulkan masa cuti untuk perjalanan dan pendakian ke Pakistan, China, Nepal, dan Peru. Setelah ekspedisi pertama ayahnya berkata, "Baiklah, cukup sekali. Kamu tidak perlu melakukannya lagi." Setelah yang kedua ia berkata, "Sekarang sudah dua kali. Cukuplah."

"Ia ingin melihat saya menikah dan ber­keluarga," kenang Gerlinde. Tetapi, sejak awal umur 20-an ia tahu bahwa ia tidak ditakdirkan memiliki anak. Ia menunjukkan foto-foto kepada ayahnya dan mencoba menjelaskan energi dan kebahagiaan yang ia rasakan di pegunungan. Tentu saja ada risiko, tetapi kariernya sebagai perawat telah mengajarinya bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan. Lagi pula, ia cukup melihat kehilangan yang dihadapi oleh Brigitte, yang sudah menguburkan tiga suami. Nasib buruk bisa menimpa kapan saja, di mana saja.

Pada 1998, Gerlinde mendaki Cho Oyu, di dekat perbatasan Nepal-China, puncak 8.000 meter pertama yang berhasil didakinya. Empat tahun kemudian, tahun 2002, ia mencapai puncak 8.000 meter ketiganya, puncak Manaslu setinggi 8.163 meter di Nepal. Di kemah induk ia bertemu Ralf Dujmovits, saat itu berusia 40 dan di puncak ketenaran setelah membintangi pendakian sisi utara Eiger di Pegunungan Alpen di Swiss yang disiarkan langsung oleh televisi dan ditonton jutaan orang. Mereka pun akur seperti sepasang angsa, dan membuka jalur bersama.!break!

Selama lebih dari 20 tahun, kiprah perempuan semakin menonjol dalam pendakian gunung tinggi yang didominasi pria, tetapi masih sering dianggap rendah. Pada tahun 2003, masih ter­aklimatisasi setelah gagal mendaki Kanchenjunga, Gerlinde terbang ke Pakistan untuk mencoba Sisi Diamir di Nanga Parbat, 8.126 meter. Di atas Camp II ia bergabung ber­sama enam pendaki pria dari Kazakhstan dan seorang dari Spanyol, bergantian mem­buka jalan. Ia tidak disebutkan saat pemimpin kelompok melaporkan melalui radio, ada tujuh pendaki yang sedang menuju ke Camp III. Ketika gilirannya tiba untuk membuka jalan, ia dipinggirkan oleh salah satu pen­daki. Kejantanan yang salah tempat? Atau meremehkan kemampuannya? Ia tidak tahu pasti, tetapi dengan sopan ia kembali ke belakang iringan. Saat ia mendapat giliran di depan lagi dan salah satu pendaki pria mencoba me­nyingkirkannya untuk kedua kalinya, ia tidak tahan lagi. Ia melanjutkan tugasnya dengan semangat, membuka jalan di lereng penuh salju tanpa berhenti. Ia membuka jalan sampai ke Camp III. Para pendaki yang terperangah menjulukinya "Cinderella Caterpillar".

Ia wanita Austria pertama yang mencapai puncak Nanga Parbat, gunung yang pertama kali didaki oleh pendaki Austria legendaris Hermann Buhl pada 1953. Kesuksesannya pada peringatan 50 tahun pencapaian Buhl yang berani ini menarik perhatian sejumlah majalah pendakian gunung dan memberinya momentum untuk mengubah hobi jadi profesi. Selama dua tahun berikutnya, ia menambahkan Annapurna I, Gasherbrum I, Gasherbrum II, dan Xixabangma  Feng ke dalam resumenya. Saat itu ia telah mendaki delapan dari 14 puncak tertinggi. Pada bulan Januari 2006, majalah Jerman Der Spiegel menjulukinya "ratu zona kematian". Gambaran ningrat angkuh yang berkuasa atas hidup dan mati sangat jauh dari karakter wanita yang sensitif dan tidak egois ini. Hal itu pun menggenjot penjualan tiket ceramahnya, membuat sponsor terkesan, dan mengamankan kariernya sebagai pendaki gunung profesional.