Mara dan Gelora di Gunung Garang

By , Kamis, 29 Maret 2012 | 14:39 WIB

Esok Pasti Berhasil Akhirnya tibalah fajar yang membawa asa: Senin, 22 Agustus, Camp IV, 7.950 meter. Badai telah berlalu, salju sudah berhenti, langit membiru tanpa mega hingga ke tepi kekelaman antariksa.                                                                    Hampir sepanjang Juli dan setengah bulan Agustus, enam anggota International 2011 K2 North Pillar Expedition hilir mudik naik turun Jalur Utara yang jarang didaki, di puncak tertinggi kedua di dunia. Saat itu merekalah satu-satunya yang melaksanakan ekspedisi di K2 pada sisi China yang terpencil ini, sang raksasa di Pegunungan Karakoram yang menjulang setinggi 8.611 meter di perbatasan China-Pakistan. Mereka mendaki punggungan itu tanpa bantuan oksigen atau para pengangkut  barang yang teraklimatisasi di tempat tinggi.

Dua pendaki Kazakhstan—Maxut Zhumayev, 34, dan Vassiliy Pivtsov, 36—masing-masing melakukan upaya keenam dan ketujuhnya untuk mencapai puncak K2. Dariusz Załuski, videografer Polandia berusia 52 tahun, sudah tiga kali mencoba. Tommy Heinrich, fotografer 49 tahun dari Argentina, dua kali mengikuti ekspedisi K2, tetapi gagal pula mencapai puncak.

Yang paling menyedot perhatian adalah Gerlinde Kaltenbrunner, 40, mantan perawat berambut hitam dari Austria yang melakukan upaya keempatnya mencapai K2. Jika berhasil kali ini, ia akan jadi wanita pertama dalam sejarah yang berhasil mendaki keempat belas puncak dunia yang melebihi 8.000 meter tanpa bantuan oksigen tambahan. Ia memimpin ekspedisi ini bersama suaminya, Ralf Dujmovits, 49, yang sudah mendaki semua puncak 8.000 meter (kecuali satu puncak, semuanya tanpa bantuan oksigen) pendaki gunung tinggi paling terpandang di Jerman. Ia berhasil mencapai puncak K2 dari sisi Pakistan dalam upaya pertamanya pada Juli 1994.

Keenam pendaki butuh 42 hari untuk mendirikan beberapa kemah yang terhubung oleh ribuan meter tali di sepanjang rute. Jalur ini meliput semua medan, mulai dari es dan batu yang menjulang tegak lurus hingga lereng salju setinggi dada yang selalu berisiko longsor. Me­reka memaksakan diri membuka jalur di tengah terpaan salju lebat, mengangkut peralatan, membuang salju dari kemah, memasang tenda, melelehkan es. Berkali-kali mereka meninggalkan kemah di gunung, turun untuk tidur di ketinggian yang lebih rendah di Advanced Base Camp, 4.650 meter, di Gletser Utara K2.

Pada 16 Agustus, mereka berangkat pada ke­sempatan satu-satunya untuk menggapai puncak. Salju yang jatuh hampir sepanjang musim panas mulai turun lagi. Hari itu mereka mencapai Camp I di kaki punggungan; avalans menggemuruh dan salju turun setebal lebih dari 30 sentimeter sepanjang malam. Mereka menunggu sehari, berharap salju di lereng atas berhenti turun sebelum melanjutkan pendakian.!break!

Pada 18 Agustus, pukul 5.10, mereka memutuskan untuk melanjutkan pendakian ke Camp II. Setiap kilogram menjadi beban; jadi untuk meringankan bawaannya, Gerlinde meninggalkan jurnalnya di tenda. Dua avalans menyapu rute pendakian mereka di celah yang panjang. Sekitar pukul 6.30 Ralf berhenti. Kondisi salju amat tak menentu sehingga ia tidak lagi bisa mengabaikan nalurinya.

"Gerlinde, saya akan turun," katanya. Sejak pasangan itu mendaki bersama, mereka berjanji untuk tak saling menghalangi jika salah satu ingin melanjutkan sementara yang lain tidak. Saat mendaki Lhotse di Nepal tahun 2006—hanya satu dari banyak contoh—Gerlinde mendaki sendirian selama 20 menit setelah Ralf terhalang salju baru di atas blue ice yang menutup celah  menuju puncak, sebelum akhirnya Gerlinde pun kembali. Karena belum pernah sampai ke puncak K2, Gerlinde bersedia mengambil risiko yang dihindari Ralf. Wanita ini juga menghadapi rasa takut dengan cara berbeda. Sementara suaminya dengan gembira menggunakan sensasi rasa takutnya untuk mengukur batas kemampuan dan memaksanya untuk mengindahkan peringatan itu, Gerlinde ber­usaha memblokade rasa takut dengan ketenangannya saat tenggelam dalam pekerjaan.

Namun, sekarang di celah di atas Camp I, sekalipun sudah ada perjanjian, meskipun tahu penundaan itu mungkin menghilangkan kesempatan sang istri untuk mencapai puncak, Ralf memohon istrinya untuk turun bersamanya. "Ralf berteriak bahwa rute itu sangat rawan longsor. Ia berteriak putus asa," ujar Maxut kemudian dalam video di situsnya, "sementara Gerlinde balas berteriak bahwa saat itu adalah penentuan pendakian. Jika kita turun hari itu, tanggal 18, kita tak akan bisa memanfaatkan periode cuaca bagus tersebut."

"Saya sangat khawatir saya tidak lagi bisa bertemu dengannya," jelas Ralf kemudian.

Gerlinde menyaksikan Ralf membagikan peralatan kelompoknya ke sisa tim dan turun menghilang ditelan kabut. Itulah saat yang paling memilukan bagi Gerlinde dalam pendakian ini. Lalu dengan keuletan dan kegigihannya yang khas, Gerlinde kembali melanjutkan tugasnya. "Saya sadar akan risikonya," katanya kemudian. "Tetapi firasat saya baik-baik saja."

Seperti yang ditakutkan Ralf, salju di lereng mulai bergeser turun. Tiga longsoran kecil dipicu masing-masing oleh Maxut, Vassiliy, dan Gerlinde yang berada paling depan untuk membuka jalan. Longsoran terbesar menghantam Tommy yang mendaki 60 meter di bawah; ia terguling, hidung dan mulutnya penuh salju. Hanya tali yang kencang laksana dawai cello yang menyelamatkannya sehingga tidak terdepak dari gunung itu. Ia berhasil keluar sendiri dari timbunan salju, tetapi longsoran itu menutupi jalur yang telah dibuka, dan akhirnya ia pun kembali ke bawah.!break!

Jadi, sekarang mereka tinggal berempat: Gerlinde, Vassiliy, Maxut, dan Dariusz. Nasib pembuka jalan ini serupa dengan Sisyphus dalam mitologi Yunani. Sapu salju ke samping, remukkan es bagian atas dengan lutut, padatkan yang ada di bawah, naiki, mundur sedikit ke belakang. Ulangi, ulangi, dan ulangi. Setelah 11 jam mendaki, mereka mendirikan bivak di Shoulder Depot Camp di bawah Camp II, dan melewatkan malam yang sengsara, berjejalan di dalam tenda untuk dua orang. Hari berikutnya mereka menghadapi bagian tersulit di punggungan itu dan mencapai Camp II, 6.600 meter. Mereka pun bersalin dengan down suit, pakaian berisi bulu untuk menahan dingin. Pada Sabtu, 20 Agustus, perlahan mereka mendaki ke Camp III, tiba di sana sore hari, kelelahan dengan dingin merasuk tulang. Mereka minum kopi dengan madu dan menghangatkan tangan dan kaki di atas kompor gas. Sepanjang malam, dinding tenda yang mengeras karena embun beku tersentak dan bergetar ditiup angin.

Berdasarkan prakiraan cuaca telepon satelit yang diteruskan Ralf melalui radio dari Advanced Base Camp, mereka akan mengalami cuaca yang lebih baik. Cuaca akhirnya berubah pada hari Minggu, 21 Agustus, membesarkan hati semua orang dan mempermudah tim mencapai Camp IV. Mereka sekarang hampir mencapai ketinggian 8.000 meter, biasa disebut death zone atau  zona kematian. Pada ketinggian ini, tubuh tidak mampu menyesuaikan diri dengan udara yang tipis oksigen, kognisi terganggu, dan tugas sederhana bisa memakan waktu sangat lama. Mereka melewatkan sore itu untuk menajamkan crampon dan mencairkan salju. Menjelang malam, mereka berdiri di luar tenda yang terpasang di lekukan batu, di atas kehampaan setinggi tiga kilometer hingga ke gletser di bawah. Enam ratus meter di atas, terbentang selimut puncak nan putih berkilau, tidak terjamah sejak 2008 ketika 11 pendaki tewas dalam salah satu episode pendakian gunung paling mematikan dalam sejarah K2.

"Ada saat ketika kami semua mulai gelisah, dalam arti yang baik," kata Gerlinde kemudian. "Kami semua saling bersentuhan tangan, bertatapan, dan berkata, ‘Esok pasti berhasil.’"

Hasrat MendakiK2 memiliki tempat unik dalam pendakian gunung tinggi. Meskipun 239 meter lebih rendah daripada Everest, ia telah lama dikenal sebagai gunungnya para pendaki. Sosok berbentuk segitiga lancip yang tinggi menjulang dari medan sekitarnya membuat pendakian K2 jauh lebih sulit dan berbahaya. Sampai akhir 2010, Everest telah didaki 5.104 kali; sementara K2 hanya 302 kali. Rata-rata satu pendaki K2 tewas untuk setiap empat pendaki yang berhasil. Setelah upaya awal oleh tim pendaki Inggris dan Italia pada awal 1900-an, pihak Amerika berusaha mendaki K2 pada 1938, 1939, dan 1953. Charles Houston dan Robert Bates memberi judul laporan ekspedisi mereka tahun 1953 K2: The Savage Mountain. Pada 1954, K2 akhirnya "ditaklukkan" oleh ekspedisi besar Italia yang mengirimkan dua orang ke puncak melalui rute pendakian yang sekarang menjadi standar di sisi Pakistan.

Bagi Gerlinde Kaltenbrunner, gunung para pendaki itu menggoreskan kesan tak terlupakan sejak pertama kali ia melihatnya dari Broad Peak  tahun 1994 pada usia 23. "Saya terpesona oleh bentuknya," katanya, "tetapi saya tak berani membayangkan mendaki puncaknya."

Gerlinde, anak kelima dari enam bersaudara, dibesarkan dalam keluarga Katolik Roma di Spital am Pyhrn, desa pegunungan berpenduduk sekitar 2.200 orang di bagian tengah Austria. Ayahnya, Manfred, bekerja di tambang lokal; ibunya, Rosamaria, juru masak di sebuah hostel. Gerlinde mengidolakan kakaknya, Brigitte, yang sepuluh tahun lebih tua. Ia gila olahraga: berenang, bersepeda, bermain ski. !break!

Ia mengikuti sekolah olahraga, termasuk pelatihan ski. Di sini ia tahu bahwa ia adalah pemain ski yang baik, tetapi tak istimewa. Hal yang lebih menjengkelkan adalah saat teman-teman yang dianggapnya dekat menyatakan ketidaksukaannya ketika Gerlinde kebetulan mengalahkan mereka dalam lomba. Pengalaman awal persaingan di sekolah ini membuatnya tidak menyukai kompetisi, dan di kemudian hari ia tidak mau menganggap dirinya sebagai kontestan yang bersaing mencetak rekor melawan perempuan pendaki lainnya.

Di Gerejalah hasrat pendakiannya tergugah. Di negara yang kebanyakan puncak gunung tingginya diberi hiasan salib ini, tidaklah mengherankan jika Erich Tischler, pastor Katolik setempat, mengenakan celana mendaki di bawah jubahnya. Jika cuaca baik, ia pun mempersingkat khotbah Minggu agar jemaatnya dapat mendaki gunung. Gerlinde sebagai gadis altar ikut Misa dengan sepatu bot di ranselnya. Romo Tischler memimpin pendakian pertamanya di usia tujuh tahun, juga pada pendakian pertamanya dengan tali panjat di Gunung Sturzhahn saat usianya 13.

Setelah pernikahan orang tuanya berakhir dengan perceraian pada tahun 1985, Gerlinde, saat itu 14 tahun, pindah. Ia tinggal bersama kakaknya Brigitte dan akhirnya mengikuti profesinya sebagai perawat. Pada usia 20, Gerlinde bekerja di rumah sakit di Rottenmann, sebuah kota kecil sekitar 24 kilometer dari Spital am Pyhrn. Pada akhir pekan, ia bergegas pergi ke gunung-gunung di wilayah itu untuk mendaki. Nafsu petualangan membawanya ke Pegunung­an Karakoram tahun 1994. Di Broad Peak, Pa­kis­tan, ia menghentikan upaya mencapai puncak karena cuaca memburuk, lalu berubah pikiran, dan akhirnya mencapai dasar dari puncak utama, (sekitar 20 meter lebih rendah dari puncak 8.051 meter) yang ada di ujung punggungan yang memanjang. (Ia kembali mendaki sampai ke puncak pada 2007.) Ia gembira. Namun, setelah melihat jasad seorang pendaki yang meninggal di gunung, ia sekaligus bingung. "Betapa mungkin kebahagiaan, kegembiraan, dan kematian bertaut begitu erat," tulisnya dalam jurnal.

Kembali ke rumah, Gerlinde menabung dan mengumpulkan masa cuti untuk perjalanan dan pendakian ke Pakistan, China, Nepal, dan Peru. Setelah ekspedisi pertama ayahnya berkata, "Baiklah, cukup sekali. Kamu tidak perlu melakukannya lagi." Setelah yang kedua ia berkata, "Sekarang sudah dua kali. Cukuplah."

"Ia ingin melihat saya menikah dan ber­keluarga," kenang Gerlinde. Tetapi, sejak awal umur 20-an ia tahu bahwa ia tidak ditakdirkan memiliki anak. Ia menunjukkan foto-foto kepada ayahnya dan mencoba menjelaskan energi dan kebahagiaan yang ia rasakan di pegunungan. Tentu saja ada risiko, tetapi kariernya sebagai perawat telah mengajarinya bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan. Lagi pula, ia cukup melihat kehilangan yang dihadapi oleh Brigitte, yang sudah menguburkan tiga suami. Nasib buruk bisa menimpa kapan saja, di mana saja.

Pada 1998, Gerlinde mendaki Cho Oyu, di dekat perbatasan Nepal-China, puncak 8.000 meter pertama yang berhasil didakinya. Empat tahun kemudian, tahun 2002, ia mencapai puncak 8.000 meter ketiganya, puncak Manaslu setinggi 8.163 meter di Nepal. Di kemah induk ia bertemu Ralf Dujmovits, saat itu berusia 40 dan di puncak ketenaran setelah membintangi pendakian sisi utara Eiger di Pegunungan Alpen di Swiss yang disiarkan langsung oleh televisi dan ditonton jutaan orang. Mereka pun akur seperti sepasang angsa, dan membuka jalur bersama.!break!

Selama lebih dari 20 tahun, kiprah perempuan semakin menonjol dalam pendakian gunung tinggi yang didominasi pria, tetapi masih sering dianggap rendah. Pada tahun 2003, masih ter­aklimatisasi setelah gagal mendaki Kanchenjunga, Gerlinde terbang ke Pakistan untuk mencoba Sisi Diamir di Nanga Parbat, 8.126 meter. Di atas Camp II ia bergabung ber­sama enam pendaki pria dari Kazakhstan dan seorang dari Spanyol, bergantian mem­buka jalan. Ia tidak disebutkan saat pemimpin kelompok melaporkan melalui radio, ada tujuh pendaki yang sedang menuju ke Camp III. Ketika gilirannya tiba untuk membuka jalan, ia dipinggirkan oleh salah satu pen­daki. Kejantanan yang salah tempat? Atau meremehkan kemampuannya? Ia tidak tahu pasti, tetapi dengan sopan ia kembali ke belakang iringan. Saat ia mendapat giliran di depan lagi dan salah satu pendaki pria mencoba me­nyingkirkannya untuk kedua kalinya, ia tidak tahan lagi. Ia melanjutkan tugasnya dengan semangat, membuka jalan di lereng penuh salju tanpa berhenti. Ia membuka jalan sampai ke Camp III. Para pendaki yang terperangah menjulukinya "Cinderella Caterpillar".

Ia wanita Austria pertama yang mencapai puncak Nanga Parbat, gunung yang pertama kali didaki oleh pendaki Austria legendaris Hermann Buhl pada 1953. Kesuksesannya pada peringatan 50 tahun pencapaian Buhl yang berani ini menarik perhatian sejumlah majalah pendakian gunung dan memberinya momentum untuk mengubah hobi jadi profesi. Selama dua tahun berikutnya, ia menambahkan Annapurna I, Gasherbrum I, Gasherbrum II, dan Xixabangma  Feng ke dalam resumenya. Saat itu ia telah mendaki delapan dari 14 puncak tertinggi. Pada bulan Januari 2006, majalah Jerman Der Spiegel menjulukinya "ratu zona kematian". Gambaran ningrat angkuh yang berkuasa atas hidup dan mati sangat jauh dari karakter wanita yang sensitif dan tidak egois ini. Hal itu pun menggenjot penjualan tiket ceramahnya, membuat sponsor terkesan, dan mengamankan kariernya sebagai pendaki gunung profesional.

Pada musim semi 2006, setelah ia juga mundur dari pendakian Lhotse, ia mendapati Ralf menunggu di kemah mereka di 7.250 meter. Malam itu hangat tidak seperti biasanya; saat mereka berbaring di dalam kantong tidur di luar tenda beratap bintang sementara di bawah, awan menyelimuti bumi dan kilat di kejauhan me­nerangi Everest, Ralf melamar Gerlinde.

Pada Mei 2007, sementara Ralf memandu ekspedisi ke Manaslu, Gerlinde dijadwalkan mendaki Dhaulagiri I setinggi 8.167 meter. Ia mendirikan tenda jauh di bagian kiri daerah tempat avalans mematahkan leher perempuan pendaki gunung terkenal Prancis, Chantal Mauduit tahun 1998. Tidak jauh dari situ ada dua tenda yang ditempati tiga pendaki Spanyol, yang mengundang Gerlinde untuk minum kopi. Pukul 9 pagi pada 13 Mei, sambil menunggu angin mereda untuk memulai pendakian ke Camp III, Gerlinde berbaring di tendanya, berpakaian lengkap kecuali sepatu bot. Terdengar suara gemuruh, lalu avalans menerjang perkemahan, menggelindingkan tendanya 30 meter ke bawah hingga sampai ke tubir jurang.

"Saya tidak tahu kepala saya di atas atau di bawah," katanya. "Kedua kaki saya benar-benar terjepit, tetapi saya bisa menggerakkan lengan sedikit. Saya mencoba meraih pisau kecil yang selalu saya cantolkan di tali pengaman tubuh. Saya khawatir mati lemas karena terkubur dalam salju. Saya bisa merobek dinding tenda dengan pisau. Ada sekitar 30 sentimeter salju gembur di atasnya, dan saya tinju hingga tangan keluar dari salju. Setelah sekitar satu jam, saya bisa keluar dari tenda. Saya tak bersepatu, tidak menggunakan kacamata hitam."

Ia mencari tenda teman-teman Spanyolnya. Tenda yang dihuni satu pendaki masih utuh, sementara tenda lain yang dihuni dua pendaki tidak terlihat. Ia mulai menggali dengan panik. Satu jam kemudian, enam meter di bawah permukaan, ia menemukan tenda itu: Santiago Sagaste dan Ricardo Valencia berada di dalamnya, tewas. Semua keinginan untuk melakukan apa pun di Dhaulagiri selain turun, menguap sudah. !break!

Meskipun nyaris tewas, ia kembali ke Dhaulagiri tahun berikutnya dan mencapai puncaknya.

Menuju Gunung GanasPerjalanan menuju K2 saja sudah merupakan perjuangan berat. Saya berencana mendampingi tim 2011 hingga Advanced Base Camp. Kami bertemu di kota tua Jalur Sutra di Kashi, atau Kashgar, di ujung barat China, kemudian berangkat ke selatan pada 19 Juni dengan tiga Toyota Land Cruiser diikuti truk sarat beban yang mengangkut lebih dari dua ton peralatan dalam tong plastik biru: tenda, kantong tidur, kompor, parka, ice screw, panel surya, baterai, komputer, tali hampir sepanjang 2.750 meter, 525 telur, kemasan pasta prima­vera kering-beku, sebotol Chivas Regal, dan DVD film Hall Pass.

Jalan yang kami lalui menyusuri tepi barat Gurun Taklimakan, dan melewati kota-kota pertanian dengan jajaran pohon poplar perak, serta kebun yang diairi sungai-sungai deras yang mengalir dari Pegunungan Kunlun di selatan dan Pamir di barat. Kami melaju melewati Celah Chiragsaldi dan merayap melintasi gelombang debu dengan kecepatan 15 kilometer per jam hingga kami mencapai perhentian truk nan sepi bernama Mazar. Pagi harinya, kami berbelok ke barat menuju jalan berlubang di samping Sungai Yarkant hingga ke Ilik, desa nomad Kirgis berpenduduk 250 jiwa. Kami menggelar kantong tidur di ruang tamu berlapis karpet, dalam sebuah rumah bata-lumpur milik mullah setempat. Sebagian besar penduduk keluar keesokan paginya untuk membantu memuat peralatan ekspedisi ke sekawanan unta. Pada tengah hari, kafilah kami memasuki lembah Sungai Surukwat: 40 unta, delapan keledai, enam sapi, sekawanan kecil domba yang akan masuk belanga Kirgis, petugas penghubung Uygur, dan enam pendaki gunung yang mengenakan pakaian berteknologi tinggi serta kacamata hitam yang "mengubah siang jadi malam".

Malam pertama di kemah, Ralf mengeluarkan peta gabungan gunung yang dibuat meng­gunakan data pemetaan dan citra satelit. Maxut mempelajari rincian Punggungan Utara yang menggetarkan hati, yang pertama kali didaki oleh tim Jepang tahun 1982; ia dan Vassiliy pernah melewatkan beberapa minggu di punggungan gunung itu tahun 2007, sebelum cuaca buruk serta kekurangan makanan dan air memaksa mereka mundur.

"Kamu menunjukkannya terlalu cepat," kata Maxut, setengah bercanda. "Sekarang jadi sulit untuk tidur. Mana vodka?"

Pada hari ketiga, kami menyeberangi Celah Aghil di ketinggian 4.780 meter, lalu turun ke lembah Sungai Shaksgam yang mengalir dari gletser di bawah puncak Gasherbrum. Teras raksasa dari batu terbungkus lumpur mengelilingi dataran batu abu-abu luas yang dilalui setengah lusin atau lebih sungai berlumpur. Sungai-su­ngai itu kami kira tidak terlalu sulit diseberangi, sampai kami melihat salah satu keledai-gunung terbawa arus dan hanyut laksana botol plastik. Kami menyeberang menunggangi unta.!break!

Pada pagi hari kelima, setelah satu jam berjalan, semua orang tiba-tiba berhenti dan menatap ke selatan, ke langit tak berawan seakan terpesona oleh UFO. Itu dia: K2, raksasa yang menjulang. Dindingnya yang terbungkus es berkilauan di bawah sinar mentari pagi laksana fatamorgana. Mudah dimengerti mengapa puncak ini menarik para pendaki gunung, sekalipun keindahannya beraroma maut dan lereng bekunya dipenuhi tulang dan kuburan.

Gerlinde yang telah sering kali melihat K2 dari selatan, duduk di atas batu dan memandang puncak itu dengan gejolak emosi di matanya.

"Saya berpikir, Apa yang bisa saya harapkan kali ini? Apa yang akan terjadi kali ini?"

Ia telah melakukan tiga ekspedisi ke sisi selatan—yang terakhir tahun 2010. Pada pendakian itu, setelah runtuhnya batu di atas Camp III membuat Ralf mundur, Gerlinde bergabung dengan teman dekat mereka, Fredrik Ericsson, pemain ski ekstrem yang berusaha meluncur dengan ski dari puncak tertinggi di dunia. Di dasar celah curam yang dinamai Bottleneck, Fredrik berhenti untuk memasang pasak penahan, dan saat memalu, ia tergelincir. Ia jatuh melewati Gerlinde dalam sekejap dan menghilang.

Gerlinde yang amat terkejut turun sejauh yang ia bisa, tetapi hanya menemukan satu papan ski di bibir jurang berkabut. Jasad Fredrik kemudian ditemukan di dalam salju 900 meter di bawah Bottleneck. Ia baru berusia 35.

Sebagaimana setelah tragedi di Dhaulagiri, Gerlinde juga ingin segera meninggalkan K2 setelah kematian Fredrik. Dalam keadaan lali, sedih, dan kecewa atas pengorbanan yang dituntut oleh kehidupan yang dipilihnya, ia pulang. Pada akhir tahun itu, ia berlibur di Thailand bersama Ralf. Selama empat minggu mereka tinggal di tepi laut. Mereka makan ikan segar. Mereka memanjat tebing laut, yang jika terjatuh disambut oleh air hijau nan hangat.!break!

Orang selalu bertanya mengapa ia terus kembali ke K2. Lama ia tidak bisa menjawabnya. Namun, perlahan ia mulai berpikir bahwa gunung itu tidak bersalah atas tewasnya Fredrik. Kehilangan itulah yang terasa ganas dan brutal, bukan gunung tersebut. "Gunung ini cuma gunung, kamilah yang mendatanginya," katanya.

Menyatu dengan SemestaSekitar pukul 7.00, Senin 22 Agustus, Gerlinde, Vassiliy, Maxut, dan Dariusz berangkat dari Camp IV. Hari itu langit tidak berawan, cuacanya terasa seperti sebuah anugerah. Mereka mendaki parit es terjal yang disebut Celah Jepang, bentang alam yang menonjol di sisi utara gunung bagian atas. Namun, dengan oksigen hanya sepertiga dibandingkan di permukaan laut, salju setinggi dada di beberapa tempat, dan embusan salju menyengat yang memaksa mereka berhenti dan memalingkan wajah, perjalanan mereka sangat lamban. Pada pukul 13.00 mereka baru mendaki kurang dari 180 meter.

Meskipun pernah melewati Camp IV tahun 2007, Vassiliy dan Maxut tidak mengenal Celah Jepang itu, dan sulit melihat jalan ke atas. Gerlinde menghubungi Ralf melalui radio di Advanced Base Camp. Sejak memutuskan untuk turun di atas Camp I, Ralf sibuk menyemangati kelompok pendaki ke puncak, menyampaikan ramalan cuaca, saran, dan dorongan. Dari jauh, ia bisa melihat bahwa tempat terbaik untuk menyeberangi celah itu adalah di bagian bawah rekahan panjang dan sempit yang membentang sepanjang lebar lereng. Di situ salju cenderung tidak terlalu dalam, dan retakan alami di lereng akan mengurangi kemungkinan para pendaki memicu avalans. Ia membantu memandu mereka ke rekahan itu dan menyaksikan sosok tubuh mereka, seukuran tanda koma di halaman ini, mulai merayap melintasi celah itu di bawah jajaran serac—tonjolan es, yang mencuat dari lereng yang memiliki kemiringan 45 derajat. Kumpulan serac itu dapat melindungi mereka jika terjadi avalans dari atas.

Mendekati tepi kiri berbatu, mereka mendaki langsung ke atas lereng sampai tiba ke serac terakhir pada ketinggian sekitar 8.300 meter. Pendakian sudah dilakukan selama 12 jam; saat itu mereka berada 300 meter di bawah puncak.

Di radio Ralf mendesak Gerlinde untuk kembali ke Camp IV malam itu, karena mereka telah membuka jalan dan mengenali jalurnya.

"Kamu tidak bisa tidur di sana, tidak akan bisa istirahat," katanya.

"Ralf," kata Gerlinde, "kami tetap di sini. Kami tidak ingin turun."!break!

Mereka tahu saat berangkat pagi itu bahwa satu-satunya kesempatan mereka untuk mencapai puncak mungkin memerlukan bivak. Kemungkinan itu memaksa Gerlinde menambahkan beban ekstra berupa tenda untuk dua orang seberat 1,3 kilogram ke dalam ranselnya, serta panci dan kompor. Kesepakatan tanpa kata yang sama pun mendorong Dariusz, Maxut, dan Vassiliy menyelipkan tabung gas untuk kompor dan makanan tambahan ke dalam ransel mereka. Beberapa hari kemudian Maxut mencoba menjelaskan pemikiran mereka kepada Tommy. "Ini batasnya," ujarnya, sambil membuat garis di tanah dengan sepatunya. "Dan ini yang kami lakukan." Ia meletakkan sepatu botnya setengah meter melampaui garis. "Kami benar-benar melampaui batas. Saya mempertaruhkan segalanya, bahkan keluarga, istri, putra, putri saya, semuanya."

Saat matahari hampir tenggelam, mereka berhenti di balik serac terakhir untuk menyiap­kan tempat bagi tenda kecil itu. Selama 1 jam 20 menit, mereka mengapak es sampai mendapatkan tempat rata berukuran satu meter kali satu setengah meter. Mereka memancang tenda itu dengan dua sekrup es dan sepasang kapak es. Pukul 20.15 mereka semua berada di dalam, duduk di atas ransel, sementara kompor digantung ke atas tenda bersama sepanci lelehan salju. Gerlinde membuat sup tomat. Suhu minus 25° Celsius. Rencananya mereka akan beristirahat sampai tengah malam, lalu melanjutkan perjuangan menuju puncak yang sekarang sudah begitu dekat.

Pada pukul satu dini hari, Vassiliy, Maxut, dan Gerlinde memasang crampon dan dengan diterangi lampu di kepala, mereka mulai mendaki lereng curam di atas tenda. Dariusz masih bersiap-siap di dalam tenda. Gerlinde memutar-mutar tangannya, namun ia tidak bisa merasakan jari-jarinya, dan ia kesulitan melepaskan cantolan dari tali. Kaki Maxut terasa seperti balok es. Mereka kembali ke dalam tenda untuk mencoba menghangatkan diri dan menunggu matahari terbit. Gerlinde menggigil tidak terkendali.

Mereka berangkat lagi sekitar pukul tujuh saat pagi yang sempurna tiba. Inilah satu-satunya peluang mereka. Di dalam ransel, Gerlinde membawa baterai cadangan, sarung tangan ekstra, tisu, kacamata hitam cadangan, perban, obat tetes untuk snow blind, kortison, jarum suntik; untuk sponsor utama, ia juga membawa bendera sebuah perusahaan minyak Austria. Untuk dirinya sendiri, ia membawa kotak tembaga kecil yang berisi patung Buddha, yang hendak dikuburnya di puncak tersebut. Di dalam bajunya, ia menyelipkan setengah liter air yang berhasil dicairkannya; jika diletakkan dalam ransel, air itu akan membeku.

Mereka mendaki menuju lereng salju curam sepanjang 130 meter, yang mengarah ke punggungan puncak. Mereka masih menderita karena kedinginan, tetapi pada pukul 11 mereka tahu akan segera bermandikan sinar matahari. Pukul 15.00 mereka sampai di dasar lereng curam. Selama 20 meter pertama, mereka gembira menemukan kedalaman salju masih di bawah lutut. Namun, setelah itu setinggi dada dalamnya. Sebelumnya mereka bergantian membuka jalan setiap 50 langkah, kini mereka harus bergantian setiap 10 langkah dengan Maxut dan Vassiliy mendapat giliran ekstra. Ya Tuhan, batin Gerlinde, jangan sampai kami harus kembali setelah mendaki sejauh ini.

Nyaris putus asa dalam mencari cara yang lebih mudah, suatu saat mereka berhenti mendaki beriringan. Dari bawah, Ralf terkejut menyaksikan jalur mereka terpecah menjadi tiga saat Gerlinde, Vassiliy, dan Maxut masing-masing mencari pijakan yang lebih baik. Di hadapan mereka, menghadang tebing batu tertutup salju yang memiliki kemiringan 60 derajat. Walaupun curam, medan ini ternyata lebih mudah didaki. Mereka pun mendaki beriringan lagi, Gerlinde menggantikan Vassiliy membuka jalan, dan hanya tenggelam sampai ke lutut. Dengan energi dan harapan menggelora ia memanjat keluar dari lereng curam dan naik ke punggungan, tempat salju yang dipadatkan angin menjadi sekeras trotoar. Saat itu pukul 16.35. Ia bisa melihat kubah puncak.!break!

"Kalian bisa!" teriak Ralf melalui radio. "Kalian bisa! Namun saat ini sudah terlalu sore! Hati-hati!"

Gerlinde menyesap air dari botolnya. Tenggorokannya yang pecah-pecah terasa sakit saat meneguk. Walaupun cuaca terlalu dingin untuk berkeringat, mereka semua mengalami dehidrasi hanya karena terengah-engah.

Ketika Vassiliy menyusul, ia berkata Gerlinde harus melanjutkan pendakian ke puncak sementara ia akan menunggu Maxut. Seperti Gerlinde, ini satu-satunya gunung 8.000 meter yang belum berhasil mereka daki sampai ke puncak. Vassiliy ingin mencapai puncak bersama rekannya, tetapi tidak ingin orang mengira ia tidak bisa sampai ke sana secepat Gerlinde. "Kamu harus mengatakan bahwa saya menunggu Maxut," katanya.

"Ya, tentu saja," jawab Gerlinde.

Dan kemudian Gerlinde menempuh langkah terakhir ke puncak K2.

Saat itu pukul 18.18. Di semua arah ada pe­gunungan. Puncak-puncak yang pernah didakinya. Puncak yang merenggut nyawa teman-temannya dan nyaris menewaskannya juga. Namun, tidak ada gunung yang menuntut pengorbanan begitu banyak seperti gunung yang akhirnya berada di bawah kakinya ini. Sendirian, dengan dunia di bawah telapaknya, ia berputar memandang ke sekeliling.!break!

"Salah satu pengalaman paling luar biasa dalam hidup saya," katanya kemudian. "Saya merasa seakan-akan menyatu dengan alam semesta. Aneh sekali, saya merasa sangat kelelahan tetapi juga merasa penuh energi melihat pemandangan itu."

Lima belas menit kemudian Maxut dan Vassiliy tiba, bersama-sama. Semua orang berpelukan. Setengah jam kemudian Dariusz terseok-seok sampai ke atas, tangannya cedera akibat melepaskan sarung tangan untuk mengganti baterai kamera video. Saat itu pukul 19.00. Bayangan mereka memanjang jauh di puncak K2, sementara bayangan piramida gunung itu sendiri merentang berkilo-kilometer ke timur, dan cahaya keemasan nan indah mulai mengilapkan dunia. Dariusz merekam saat Gerlinde mencoba menyatakan makna kehadirannya di sana saat itu: "Saya merasa sangat puas bisa berdiri di sini sekarang setelah mencoba berkali-kali, bertahun-tahun." Ia mulai menangis, kemudian menenangkan diri. "Selama ini semuanya sangat, sangat berat, hari-hari itu, dan sekarang... menakjubkan. Saya tak bisa mengucapkannya." Ia menunjuk lautan puncak di segala arah. "Lihatlah—saya kira semua orang bisa memahami mengapa kita melakukan hal ini."

Sertai KamiRalf berjaga hampir sepanjang malam untuk memantau perjalanan turun. Lebih dari sepertiga kecelakaan fatal di K2 terjadi saat turun. Sekitar pukul 20.30, ia bisa melihat empat titik kecil cahaya bergerak menuruni tebing ke Celah Jepang. Saat turun dalam gelap dan kelelahan, Gerlinde berulang-ulang mengucapkan kalimat yang terngiang di benaknya: Steh uns bei und beschütze uns. Sertai dan lindungi kami.

Dua hari kemudian, ketika Gerlinde turun dari Camp I, Ralf menyambutnya di gletser. Me­reka berpelukan lama. Di Camp I ia menemukan surat yang ditinggal Ralf untuknya dengan harapan bahwa dia akan kembali—surat dengan panjang semeter lebih yang ditulis di atas kertas toilet itu berisi pernyataan cintanya dan menjelaskan keputusannya untuk mundur. "Saya tak ingin selalu jadi orang yang menghalangimu..."

Di kemah induk, Gerlinde berbicara melalui telepon satelit dengan ayah Fredrik, Jan Olaf Ericsson, yang ingin tahu semua hal yang dilihatnya dari puncak gunung tempat anaknya dimakamkan. Presiden Austria menelepon untuk mengucapkan selamat. Perdana menteri Kazakhstan menyelamati Maxut dan Vassiliy melalui Twitter. Di dalam tenda makan, Gerlinde tertidur di samping sepiring semangka.

Di bandara di München seluruh keluarganya datang menjemput. Ayahnya menangis saat memeluknya, dan untuk pertama kalinya sang ayah tidak mengatakan bahwa telah cukup gunung yang didakinya dan harus berhenti.!break!

Badan Gerlinde yang hampir tak berlemak saat berangkat menyusut tujuh kilogram. Saat  mengikuti upacara di Bühl, Jerman, Gerlinde mendapat banyak karangan bunga dan hadiah, termasuk sebotol besar anggur merah Rhine dengan label fotonya di puncak K2 dengan tangan terentang ke atas. "Jarang sekali saya merentangkan tangan ke atas seperti ini," katanya. "Bukannya saya merasa seperti ratu, tetapi saya ingin memeluk seluruh dunia."

Temannya dan sesama pendaki David Göttler tiba di Bühl dari München guna membantu mengedit video pendakian untuk ceramah yang akan disampaikannya. David mencoba beberapa musik untuk adegan sampai di puncak, tetapi tidak ada yang sebagus "Ára bátur" oleh grup musik Islandia Sigur Rós. Ia menyusun gambar dan cuplikan video sehingga paduan suara surgawi diiringi simfoni petikan dan tiupan itu tepat bagian kresendo saat Gerlinde merentangkan tangan ke atas di puncak tersebut. Ia menunjukkannya kepada Ralf, yang senang melihat betapa video itu dapat memperlihatkan kejayaan prestasi Gerlinde.

Namun, saat mereka memperlihatkannya kepada Gerlinde, ia mengerutkan kening kemudian menggeleng.

"Tidak, Ralf, ini berlebihan. Maaf, David. Saya kira ini berlebihan."

Mereka protes, tanpa hasil. Lalu David, yang gagal mendaki K2 bersama Gerlinde tahun 2009 dan mengenalnya dengan baik, menyusun ulang video tersebut. Gambar-gambarnya tetap sama. Musiknya tetap sama. Tetapi efeknya sama sekali berbeda. Rangkaian foto yang berakhir dengan gambar klimaks Gerlinde merentangkan tangan ke atas diubah sehingga kresendo musik tidak lagi mengagungkan satu pendaki gunung saat matahari terbenam di puncak K2, tetapi dunia bermandi cahaya keemasan yang bisa dilihatnya di sekelilingnya.

Gerlinde tersenyum saat melihatnya.