Mara dan Gelora di Gunung Garang

By , Kamis, 29 Maret 2012 | 14:39 WIB

"Saya berpikir, Apa yang bisa saya harapkan kali ini? Apa yang akan terjadi kali ini?"

Ia telah melakukan tiga ekspedisi ke sisi selatan—yang terakhir tahun 2010. Pada pendakian itu, setelah runtuhnya batu di atas Camp III membuat Ralf mundur, Gerlinde bergabung dengan teman dekat mereka, Fredrik Ericsson, pemain ski ekstrem yang berusaha meluncur dengan ski dari puncak tertinggi di dunia. Di dasar celah curam yang dinamai Bottleneck, Fredrik berhenti untuk memasang pasak penahan, dan saat memalu, ia tergelincir. Ia jatuh melewati Gerlinde dalam sekejap dan menghilang.

Gerlinde yang amat terkejut turun sejauh yang ia bisa, tetapi hanya menemukan satu papan ski di bibir jurang berkabut. Jasad Fredrik kemudian ditemukan di dalam salju 900 meter di bawah Bottleneck. Ia baru berusia 35.

Sebagaimana setelah tragedi di Dhaulagiri, Gerlinde juga ingin segera meninggalkan K2 setelah kematian Fredrik. Dalam keadaan lali, sedih, dan kecewa atas pengorbanan yang dituntut oleh kehidupan yang dipilihnya, ia pulang. Pada akhir tahun itu, ia berlibur di Thailand bersama Ralf. Selama empat minggu mereka tinggal di tepi laut. Mereka makan ikan segar. Mereka memanjat tebing laut, yang jika terjatuh disambut oleh air hijau nan hangat.!break!

Orang selalu bertanya mengapa ia terus kembali ke K2. Lama ia tidak bisa menjawabnya. Namun, perlahan ia mulai berpikir bahwa gunung itu tidak bersalah atas tewasnya Fredrik. Kehilangan itulah yang terasa ganas dan brutal, bukan gunung tersebut. "Gunung ini cuma gunung, kamilah yang mendatanginya," katanya.

Menyatu dengan SemestaSekitar pukul 7.00, Senin 22 Agustus, Gerlinde, Vassiliy, Maxut, dan Dariusz berangkat dari Camp IV. Hari itu langit tidak berawan, cuacanya terasa seperti sebuah anugerah. Mereka mendaki parit es terjal yang disebut Celah Jepang, bentang alam yang menonjol di sisi utara gunung bagian atas. Namun, dengan oksigen hanya sepertiga dibandingkan di permukaan laut, salju setinggi dada di beberapa tempat, dan embusan salju menyengat yang memaksa mereka berhenti dan memalingkan wajah, perjalanan mereka sangat lamban. Pada pukul 13.00 mereka baru mendaki kurang dari 180 meter.

Meskipun pernah melewati Camp IV tahun 2007, Vassiliy dan Maxut tidak mengenal Celah Jepang itu, dan sulit melihat jalan ke atas. Gerlinde menghubungi Ralf melalui radio di Advanced Base Camp. Sejak memutuskan untuk turun di atas Camp I, Ralf sibuk menyemangati kelompok pendaki ke puncak, menyampaikan ramalan cuaca, saran, dan dorongan. Dari jauh, ia bisa melihat bahwa tempat terbaik untuk menyeberangi celah itu adalah di bagian bawah rekahan panjang dan sempit yang membentang sepanjang lebar lereng. Di situ salju cenderung tidak terlalu dalam, dan retakan alami di lereng akan mengurangi kemungkinan para pendaki memicu avalans. Ia membantu memandu mereka ke rekahan itu dan menyaksikan sosok tubuh mereka, seukuran tanda koma di halaman ini, mulai merayap melintasi celah itu di bawah jajaran serac—tonjolan es, yang mencuat dari lereng yang memiliki kemiringan 45 derajat. Kumpulan serac itu dapat melindungi mereka jika terjadi avalans dari atas.

Mendekati tepi kiri berbatu, mereka mendaki langsung ke atas lereng sampai tiba ke serac terakhir pada ketinggian sekitar 8.300 meter. Pendakian sudah dilakukan selama 12 jam; saat itu mereka berada 300 meter di bawah puncak.

Di radio Ralf mendesak Gerlinde untuk kembali ke Camp IV malam itu, karena mereka telah membuka jalan dan mengenali jalurnya.

"Kamu tidak bisa tidur di sana, tidak akan bisa istirahat," katanya.

"Ralf," kata Gerlinde, "kami tetap di sini. Kami tidak ingin turun."!break!

Mereka tahu saat berangkat pagi itu bahwa satu-satunya kesempatan mereka untuk mencapai puncak mungkin memerlukan bivak. Kemungkinan itu memaksa Gerlinde menambahkan beban ekstra berupa tenda untuk dua orang seberat 1,3 kilogram ke dalam ranselnya, serta panci dan kompor. Kesepakatan tanpa kata yang sama pun mendorong Dariusz, Maxut, dan Vassiliy menyelipkan tabung gas untuk kompor dan makanan tambahan ke dalam ransel mereka. Beberapa hari kemudian Maxut mencoba menjelaskan pemikiran mereka kepada Tommy. "Ini batasnya," ujarnya, sambil membuat garis di tanah dengan sepatunya. "Dan ini yang kami lakukan." Ia meletakkan sepatu botnya setengah meter melampaui garis. "Kami benar-benar melampaui batas. Saya mempertaruhkan segalanya, bahkan keluarga, istri, putra, putri saya, semuanya."