Mara dan Gelora di Gunung Garang

By , Kamis, 29 Maret 2012 | 14:39 WIB

Pada musim semi 2006, setelah ia juga mundur dari pendakian Lhotse, ia mendapati Ralf menunggu di kemah mereka di 7.250 meter. Malam itu hangat tidak seperti biasanya; saat mereka berbaring di dalam kantong tidur di luar tenda beratap bintang sementara di bawah, awan menyelimuti bumi dan kilat di kejauhan me­nerangi Everest, Ralf melamar Gerlinde.

Pada Mei 2007, sementara Ralf memandu ekspedisi ke Manaslu, Gerlinde dijadwalkan mendaki Dhaulagiri I setinggi 8.167 meter. Ia mendirikan tenda jauh di bagian kiri daerah tempat avalans mematahkan leher perempuan pendaki gunung terkenal Prancis, Chantal Mauduit tahun 1998. Tidak jauh dari situ ada dua tenda yang ditempati tiga pendaki Spanyol, yang mengundang Gerlinde untuk minum kopi. Pukul 9 pagi pada 13 Mei, sambil menunggu angin mereda untuk memulai pendakian ke Camp III, Gerlinde berbaring di tendanya, berpakaian lengkap kecuali sepatu bot. Terdengar suara gemuruh, lalu avalans menerjang perkemahan, menggelindingkan tendanya 30 meter ke bawah hingga sampai ke tubir jurang.

"Saya tidak tahu kepala saya di atas atau di bawah," katanya. "Kedua kaki saya benar-benar terjepit, tetapi saya bisa menggerakkan lengan sedikit. Saya mencoba meraih pisau kecil yang selalu saya cantolkan di tali pengaman tubuh. Saya khawatir mati lemas karena terkubur dalam salju. Saya bisa merobek dinding tenda dengan pisau. Ada sekitar 30 sentimeter salju gembur di atasnya, dan saya tinju hingga tangan keluar dari salju. Setelah sekitar satu jam, saya bisa keluar dari tenda. Saya tak bersepatu, tidak menggunakan kacamata hitam."

Ia mencari tenda teman-teman Spanyolnya. Tenda yang dihuni satu pendaki masih utuh, sementara tenda lain yang dihuni dua pendaki tidak terlihat. Ia mulai menggali dengan panik. Satu jam kemudian, enam meter di bawah permukaan, ia menemukan tenda itu: Santiago Sagaste dan Ricardo Valencia berada di dalamnya, tewas. Semua keinginan untuk melakukan apa pun di Dhaulagiri selain turun, menguap sudah. !break!

Meskipun nyaris tewas, ia kembali ke Dhaulagiri tahun berikutnya dan mencapai puncaknya.

Menuju Gunung GanasPerjalanan menuju K2 saja sudah merupakan perjuangan berat. Saya berencana mendampingi tim 2011 hingga Advanced Base Camp. Kami bertemu di kota tua Jalur Sutra di Kashi, atau Kashgar, di ujung barat China, kemudian berangkat ke selatan pada 19 Juni dengan tiga Toyota Land Cruiser diikuti truk sarat beban yang mengangkut lebih dari dua ton peralatan dalam tong plastik biru: tenda, kantong tidur, kompor, parka, ice screw, panel surya, baterai, komputer, tali hampir sepanjang 2.750 meter, 525 telur, kemasan pasta prima­vera kering-beku, sebotol Chivas Regal, dan DVD film Hall Pass.

Jalan yang kami lalui menyusuri tepi barat Gurun Taklimakan, dan melewati kota-kota pertanian dengan jajaran pohon poplar perak, serta kebun yang diairi sungai-sungai deras yang mengalir dari Pegunungan Kunlun di selatan dan Pamir di barat. Kami melaju melewati Celah Chiragsaldi dan merayap melintasi gelombang debu dengan kecepatan 15 kilometer per jam hingga kami mencapai perhentian truk nan sepi bernama Mazar. Pagi harinya, kami berbelok ke barat menuju jalan berlubang di samping Sungai Yarkant hingga ke Ilik, desa nomad Kirgis berpenduduk 250 jiwa. Kami menggelar kantong tidur di ruang tamu berlapis karpet, dalam sebuah rumah bata-lumpur milik mullah setempat. Sebagian besar penduduk keluar keesokan paginya untuk membantu memuat peralatan ekspedisi ke sekawanan unta. Pada tengah hari, kafilah kami memasuki lembah Sungai Surukwat: 40 unta, delapan keledai, enam sapi, sekawanan kecil domba yang akan masuk belanga Kirgis, petugas penghubung Uygur, dan enam pendaki gunung yang mengenakan pakaian berteknologi tinggi serta kacamata hitam yang "mengubah siang jadi malam".

Malam pertama di kemah, Ralf mengeluarkan peta gabungan gunung yang dibuat meng­gunakan data pemetaan dan citra satelit. Maxut mempelajari rincian Punggungan Utara yang menggetarkan hati, yang pertama kali didaki oleh tim Jepang tahun 1982; ia dan Vassiliy pernah melewatkan beberapa minggu di punggungan gunung itu tahun 2007, sebelum cuaca buruk serta kekurangan makanan dan air memaksa mereka mundur.

"Kamu menunjukkannya terlalu cepat," kata Maxut, setengah bercanda. "Sekarang jadi sulit untuk tidur. Mana vodka?"

Pada hari ketiga, kami menyeberangi Celah Aghil di ketinggian 4.780 meter, lalu turun ke lembah Sungai Shaksgam yang mengalir dari gletser di bawah puncak Gasherbrum. Teras raksasa dari batu terbungkus lumpur mengelilingi dataran batu abu-abu luas yang dilalui setengah lusin atau lebih sungai berlumpur. Sungai-su­ngai itu kami kira tidak terlalu sulit diseberangi, sampai kami melihat salah satu keledai-gunung terbawa arus dan hanyut laksana botol plastik. Kami menyeberang menunggangi unta.!break!

Pada pagi hari kelima, setelah satu jam berjalan, semua orang tiba-tiba berhenti dan menatap ke selatan, ke langit tak berawan seakan terpesona oleh UFO. Itu dia: K2, raksasa yang menjulang. Dindingnya yang terbungkus es berkilauan di bawah sinar mentari pagi laksana fatamorgana. Mudah dimengerti mengapa puncak ini menarik para pendaki gunung, sekalipun keindahannya beraroma maut dan lereng bekunya dipenuhi tulang dan kuburan.

Gerlinde yang telah sering kali melihat K2 dari selatan, duduk di atas batu dan memandang puncak itu dengan gejolak emosi di matanya.