Mara dan Gelora di Gunung Garang

By , Kamis, 29 Maret 2012 | 14:39 WIB

Saat matahari hampir tenggelam, mereka berhenti di balik serac terakhir untuk menyiap­kan tempat bagi tenda kecil itu. Selama 1 jam 20 menit, mereka mengapak es sampai mendapatkan tempat rata berukuran satu meter kali satu setengah meter. Mereka memancang tenda itu dengan dua sekrup es dan sepasang kapak es. Pukul 20.15 mereka semua berada di dalam, duduk di atas ransel, sementara kompor digantung ke atas tenda bersama sepanci lelehan salju. Gerlinde membuat sup tomat. Suhu minus 25° Celsius. Rencananya mereka akan beristirahat sampai tengah malam, lalu melanjutkan perjuangan menuju puncak yang sekarang sudah begitu dekat.

Pada pukul satu dini hari, Vassiliy, Maxut, dan Gerlinde memasang crampon dan dengan diterangi lampu di kepala, mereka mulai mendaki lereng curam di atas tenda. Dariusz masih bersiap-siap di dalam tenda. Gerlinde memutar-mutar tangannya, namun ia tidak bisa merasakan jari-jarinya, dan ia kesulitan melepaskan cantolan dari tali. Kaki Maxut terasa seperti balok es. Mereka kembali ke dalam tenda untuk mencoba menghangatkan diri dan menunggu matahari terbit. Gerlinde menggigil tidak terkendali.

Mereka berangkat lagi sekitar pukul tujuh saat pagi yang sempurna tiba. Inilah satu-satunya peluang mereka. Di dalam ransel, Gerlinde membawa baterai cadangan, sarung tangan ekstra, tisu, kacamata hitam cadangan, perban, obat tetes untuk snow blind, kortison, jarum suntik; untuk sponsor utama, ia juga membawa bendera sebuah perusahaan minyak Austria. Untuk dirinya sendiri, ia membawa kotak tembaga kecil yang berisi patung Buddha, yang hendak dikuburnya di puncak tersebut. Di dalam bajunya, ia menyelipkan setengah liter air yang berhasil dicairkannya; jika diletakkan dalam ransel, air itu akan membeku.

Mereka mendaki menuju lereng salju curam sepanjang 130 meter, yang mengarah ke punggungan puncak. Mereka masih menderita karena kedinginan, tetapi pada pukul 11 mereka tahu akan segera bermandikan sinar matahari. Pukul 15.00 mereka sampai di dasar lereng curam. Selama 20 meter pertama, mereka gembira menemukan kedalaman salju masih di bawah lutut. Namun, setelah itu setinggi dada dalamnya. Sebelumnya mereka bergantian membuka jalan setiap 50 langkah, kini mereka harus bergantian setiap 10 langkah dengan Maxut dan Vassiliy mendapat giliran ekstra. Ya Tuhan, batin Gerlinde, jangan sampai kami harus kembali setelah mendaki sejauh ini.

Nyaris putus asa dalam mencari cara yang lebih mudah, suatu saat mereka berhenti mendaki beriringan. Dari bawah, Ralf terkejut menyaksikan jalur mereka terpecah menjadi tiga saat Gerlinde, Vassiliy, dan Maxut masing-masing mencari pijakan yang lebih baik. Di hadapan mereka, menghadang tebing batu tertutup salju yang memiliki kemiringan 60 derajat. Walaupun curam, medan ini ternyata lebih mudah didaki. Mereka pun mendaki beriringan lagi, Gerlinde menggantikan Vassiliy membuka jalan, dan hanya tenggelam sampai ke lutut. Dengan energi dan harapan menggelora ia memanjat keluar dari lereng curam dan naik ke punggungan, tempat salju yang dipadatkan angin menjadi sekeras trotoar. Saat itu pukul 16.35. Ia bisa melihat kubah puncak.!break!

"Kalian bisa!" teriak Ralf melalui radio. "Kalian bisa! Namun saat ini sudah terlalu sore! Hati-hati!"

Gerlinde menyesap air dari botolnya. Tenggorokannya yang pecah-pecah terasa sakit saat meneguk. Walaupun cuaca terlalu dingin untuk berkeringat, mereka semua mengalami dehidrasi hanya karena terengah-engah.

Ketika Vassiliy menyusul, ia berkata Gerlinde harus melanjutkan pendakian ke puncak sementara ia akan menunggu Maxut. Seperti Gerlinde, ini satu-satunya gunung 8.000 meter yang belum berhasil mereka daki sampai ke puncak. Vassiliy ingin mencapai puncak bersama rekannya, tetapi tidak ingin orang mengira ia tidak bisa sampai ke sana secepat Gerlinde. "Kamu harus mengatakan bahwa saya menunggu Maxut," katanya.

"Ya, tentu saja," jawab Gerlinde.

Dan kemudian Gerlinde menempuh langkah terakhir ke puncak K2.

Saat itu pukul 18.18. Di semua arah ada pe­gunungan. Puncak-puncak yang pernah didakinya. Puncak yang merenggut nyawa teman-temannya dan nyaris menewaskannya juga. Namun, tidak ada gunung yang menuntut pengorbanan begitu banyak seperti gunung yang akhirnya berada di bawah kakinya ini. Sendirian, dengan dunia di bawah telapaknya, ia berputar memandang ke sekeliling.!break!

"Salah satu pengalaman paling luar biasa dalam hidup saya," katanya kemudian. "Saya merasa seakan-akan menyatu dengan alam semesta. Aneh sekali, saya merasa sangat kelelahan tetapi juga merasa penuh energi melihat pemandangan itu."

Lima belas menit kemudian Maxut dan Vassiliy tiba, bersama-sama. Semua orang berpelukan. Setengah jam kemudian Dariusz terseok-seok sampai ke atas, tangannya cedera akibat melepaskan sarung tangan untuk mengganti baterai kamera video. Saat itu pukul 19.00. Bayangan mereka memanjang jauh di puncak K2, sementara bayangan piramida gunung itu sendiri merentang berkilo-kilometer ke timur, dan cahaya keemasan nan indah mulai mengilapkan dunia. Dariusz merekam saat Gerlinde mencoba menyatakan makna kehadirannya di sana saat itu: "Saya merasa sangat puas bisa berdiri di sini sekarang setelah mencoba berkali-kali, bertahun-tahun." Ia mulai menangis, kemudian menenangkan diri. "Selama ini semuanya sangat, sangat berat, hari-hari itu, dan sekarang... menakjubkan. Saya tak bisa mengucapkannya." Ia menunjuk lautan puncak di segala arah. "Lihatlah—saya kira semua orang bisa memahami mengapa kita melakukan hal ini."

Sertai KamiRalf berjaga hampir sepanjang malam untuk memantau perjalanan turun. Lebih dari sepertiga kecelakaan fatal di K2 terjadi saat turun. Sekitar pukul 20.30, ia bisa melihat empat titik kecil cahaya bergerak menuruni tebing ke Celah Jepang. Saat turun dalam gelap dan kelelahan, Gerlinde berulang-ulang mengucapkan kalimat yang terngiang di benaknya: Steh uns bei und beschütze uns. Sertai dan lindungi kami.

Dua hari kemudian, ketika Gerlinde turun dari Camp I, Ralf menyambutnya di gletser. Me­reka berpelukan lama. Di Camp I ia menemukan surat yang ditinggal Ralf untuknya dengan harapan bahwa dia akan kembali—surat dengan panjang semeter lebih yang ditulis di atas kertas toilet itu berisi pernyataan cintanya dan menjelaskan keputusannya untuk mundur. "Saya tak ingin selalu jadi orang yang menghalangimu..."

Di kemah induk, Gerlinde berbicara melalui telepon satelit dengan ayah Fredrik, Jan Olaf Ericsson, yang ingin tahu semua hal yang dilihatnya dari puncak gunung tempat anaknya dimakamkan. Presiden Austria menelepon untuk mengucapkan selamat. Perdana menteri Kazakhstan menyelamati Maxut dan Vassiliy melalui Twitter. Di dalam tenda makan, Gerlinde tertidur di samping sepiring semangka.

Di bandara di München seluruh keluarganya datang menjemput. Ayahnya menangis saat memeluknya, dan untuk pertama kalinya sang ayah tidak mengatakan bahwa telah cukup gunung yang didakinya dan harus berhenti.!break!

Badan Gerlinde yang hampir tak berlemak saat berangkat menyusut tujuh kilogram. Saat  mengikuti upacara di Bühl, Jerman, Gerlinde mendapat banyak karangan bunga dan hadiah, termasuk sebotol besar anggur merah Rhine dengan label fotonya di puncak K2 dengan tangan terentang ke atas. "Jarang sekali saya merentangkan tangan ke atas seperti ini," katanya. "Bukannya saya merasa seperti ratu, tetapi saya ingin memeluk seluruh dunia."

Temannya dan sesama pendaki David Göttler tiba di Bühl dari München guna membantu mengedit video pendakian untuk ceramah yang akan disampaikannya. David mencoba beberapa musik untuk adegan sampai di puncak, tetapi tidak ada yang sebagus "Ára bátur" oleh grup musik Islandia Sigur Rós. Ia menyusun gambar dan cuplikan video sehingga paduan suara surgawi diiringi simfoni petikan dan tiupan itu tepat bagian kresendo saat Gerlinde merentangkan tangan ke atas di puncak tersebut. Ia menunjukkannya kepada Ralf, yang senang melihat betapa video itu dapat memperlihatkan kejayaan prestasi Gerlinde.

Namun, saat mereka memperlihatkannya kepada Gerlinde, ia mengerutkan kening kemudian menggeleng.

"Tidak, Ralf, ini berlebihan. Maaf, David. Saya kira ini berlebihan."

Mereka protes, tanpa hasil. Lalu David, yang gagal mendaki K2 bersama Gerlinde tahun 2009 dan mengenalnya dengan baik, menyusun ulang video tersebut. Gambar-gambarnya tetap sama. Musiknya tetap sama. Tetapi efeknya sama sekali berbeda. Rangkaian foto yang berakhir dengan gambar klimaks Gerlinde merentangkan tangan ke atas diubah sehingga kresendo musik tidak lagi mengagungkan satu pendaki gunung saat matahari terbenam di puncak K2, tetapi dunia bermandi cahaya keemasan yang bisa dilihatnya di sekelilingnya.

Gerlinde tersenyum saat melihatnya.