Hikayat Negeri Tembakau

By , Selasa, 27 November 2012 | 13:38 WIB

Dulu, profesinya dokter. Ia bahkan sempat mengambil spesialis bedah anatomi di Belanda. Akan tetapi, sudah sejak lama justru yang melekat kuat di dirinya adalah tembakau dan lukisan. Di usianya yang menjelang 74 tahun, ia masih bersemangat jika diajak bicara tentang kedua hal tersebut.

Dokter Oei Hong Djien bukanlah nama yang asing di dunia seni rupa Indonesia. Banyak pe­laku seni rupa mulai dari seniman, kurator, ko­lektor, dan para pencinta seni rupa Indonesia yang sepakat bahwa Hong Djien adalah kolektor terpenting nomor dua di Indonesia. Mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa nomor dua saja dianggap penting? Sebab yang nomor satu adalah Soekarno, Presiden RI pertama yang memang gemar mengoleksi lukisan.

Tidak terlalu sulit mencari rumah Hong Djien di Magelang. Seorang perupa yang saya tanyai lewat pesan pendek cukup menjelaskan dengan kalimat ringkas: Pagarnya panjang dan penuh tanaman merambat. Dari luar pagar, rumah itu memang tidak menunjukkan apa-apa selain memang berpagar panjang, amat panjang untuk ukuran sebuah rumah.

Tetapi begitu memasuki halaman rumahnya, siapa pun yang ke sana langsung mengerti bahwa si empu rumah adalah pencinta seni. Berbagai karya instalasi dan patung dipajang di beranda rumah. “Ayo masuk!” suara Hong Djien yang khas, keras, dan spontan terdengar. Laki-laki berkaca­mata itu mendadak muncul di pintu lalu mengajak saya ke ruang tamunya yang juga penuh dengan karya seni. Salah satu lukisan yang terpajang di tembok ruangan itu saya kenali sebagai karya Nasirun.

“Saya sering mengatakan ke banyak orang, bagi saya, tembakau itu lebih dulu ada baru kemudian lukisan. Kenapa bisa begitu? Karena tanpa uang dari tembakau mustahil saya bisa membeli lukisan,” ujarnya sambil tertawa terkekeh. Hong Djien suka sekali tertawa.

Baginya, tembakau dan lukisan itu memiliki banyak persamaan. Profesinya sebagai grader tem­bakau sekaligus kolektor lukisan men­syarat­kan panca inderanya untuk bekerja dengan opti­mal. “Bau tembakau itu ada hubungannya dengan rasa tembakau. Kalau baunya enak, rasa­­nya pasti enak. Kalau baunya nyegrak (menusuk), pasti tembakau itu jika diisap terasa kasar. Kalau tem­bakau itu dipegang halus seperti sutera, pasti rasa­nya juga enak dan pulen. Begitu juga jika di­lihat kelirnya bagus, pasti ada pengaruhnya terhadap rasa,” kalimat-kalimat Hong Djien me­luncur deras, cenderung cepat.

Grader adalah profesi yang tugasnya mem­bedakan kualitas tembakau, yang berpengaruh pada proses penentuan harga tembakau. Diperlu­kan keahlian dan pengalaman panjang untuk menjadi grader yang mumpuni. Mirip dengan profesi para pencicip anggur.

Hong Djien menggeluti profesi sebagai grader karena kebetulan. Kakek buyutnya yang berasal dari Cina mendarat di Semarang pada 1800-an. Tak lama kemudian, sang kakek buyut ke Te­manggung dan memulai bisnis tembakau. Bis­nis tersebut di­lanjutkan kakeknya dan kemudian diwaris­kan ke orangtuanya.!break!

Se­betulnya orangtua Hong Djien yang lebih ter­didik meng­inginkan anak-anaknya bekerja di bidang yang lain. Kakak tertua Hong Djien ber­profesi sebagai dokter gigi, bahkan menjadi dokter gigi Soekarno. Hong Djien sendiri kemudian masuk kedokteran dengan spesialis bedah anatomi, sementara adiknya kuliah di Fakultas Hukum.

Pada 1968, saat ia berada di Belanda untuk melanjutkan kuliah, bapaknya meninggal dunia. Terpaksa Hong Djien pulang. Waktu itu bulan Juni, saat mendekati panen tembakau. Kakak dan adiknya tidak mungkin mengambil alih bisnis tersebut. Terpaksa Hong Djien yang memikul amanah untuk mengurus bisnis keluarga itu.

“Waktu itu petani-petani sudah mulai banyak yang berdatangan untuk menyetor tembakau. Padahal saya sama sekali tidak menguasai bisnis itu. Akhirnya mau tidak mau saya belajar tentang bisnis tembakau, termasuk meng-grade tembakau. Akhirnya keterusan sampai sekarang.”

Sejak muda, Hong Djien tidak bisa lepas dari lukisan. Awalnya karena di tembok rumah orangtuanya banyak lukisan, kebanyakan lukisan orang Belanda. “Ketika saya kuliah di Jakarta, saya pun mulai terbiasa mengunjungi pameran-pameran lukisan. Dan, ketika saya berada di Belanda, saya mulai membeli, walaupun sebatas membeli sketsa-sketsa.”

Begitu mulai punya uang yang cukup karena meneruskan bisnis tembakau ayahnya, ia mulai membeli lukisan-lukisan seperti Affandi, Sudjojono, Widayat, Nasar, Nyoman Gunarsa, Ivan Sagita, dan banyak yang lain. Di kalangan perupa Yogyakarta, Hong Djien punya tempat tersendiri yang susah digantikan.