Hikayat Negeri Tembakau

By , Selasa, 27 November 2012 | 13:38 WIB

Surasikin sudah berusia 79 tahun. Namun, wajah perempuan itu masih tampak segar. tangan serta jari-jemarinya masih luwes jika memperagakan tarian Lahbako. Ia memang berasal dari keluarga seniman. Bapaknya me­miliki separangkat gamelan dan sekotak wayang. Saudara-saudaranya yang lain juga dikenal sebagai orang-orang yang terampil menggambar. Sejak kecil, Surasikin sudah suka menari.

Pemerintah Daerah Jember pun mengutusnya pergi ke Yogyakarta dan berlatih menari ke almarhum Bagong Kusudihardjo, seorang seniman serba bisa, dan merupakan salah satu maestro tari di Indonesia. Surasikin tidak ingat persis kapan dikirim ke Yogyakarta, tapi ia masih bisa mengingat saat itu ia belajar menari selama 10 hari di rumah Bagong.

Setelah itu, ia kembali dikirim sebanyak dua kali untuk belajar ke Yogyakarta lagi. Surasikin adalah satu dari sedikit seniman di Jember, yang menjadi saksi atas proses pembuatan tari Lahbako, walaupun ia tidak bisa mengingat secara tepat jika bicara soal tahun. Tetapi, saya beruntung karena saat wawancara, Surasikin ditemani oleh Ninin (38), anak perempuannya yang membantu mengingatkan soal tahun-tahun yang penting.

Kira-kira pada 1986, para seniman Jember berinisiatif untuk menciptakan tarian daerah yang bisa dianggap khas dari kota itu. Tahun yang dirujuk cukup masuk akal, mengingat di sekitar tahun tersebut memang baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah mendorong terciptanya tarian-tarian khas setiap daerah.

Maka, para seniman itu mengundang Bagong untuk datang ke Jember, terutama untuk membantu memotivasi dan memberi masukan atas tarian yang hendak mereka ciptakan. Setelah melalui sekian kali diskusi, tercetuslah ide untuk membuat tari Lahbako.

Nama Lahbako sendiri merupakan akronim dari “mengolah tembakau”. Gerakan-gerakan tarian itu diambil mulai dari proses me­nanam, memetik, menjemur, sampai mengolah tembakau di gudang. Untuk men­ciptakan gerak tarian Lahbako, Bagong meminta agar para inisiator tarian tersebut melihat lang­sung ke perkebunan tembakau dan ke gudang tembakau.

Surasikin dengan suaranya yang parau dan lirih menirukan kalimat Bagong, “Kalian ini kalau mau menciptakan tarian jangan asal gerak, tapi harus tahu apa maksudnya. Supaya tahu, ya kalian harus datang ke perkebunan dan gudang.”

Akhirnya, jadilah tarian Lahbako yang sampai sekarang sangat terkenal di Jember. Tarian ini diiringi alat musik dari bambu, kendang, dan seruling. Sampai sekarang, Lahbako masih sering ditarikan di berbagai acara di wilayah Jember, dan bahkan dibawa ke luar daerah jika ada undangan menari.

Ninin, yang saat tarian itu dibuat masih duduk di bangku SMP, termasuk generasi pertama yang mempraktikkan tari Lahbako. Ia sering bepergian ke luar kota untuk memperagakan tarian Lahbako. “Dulu bupati Jember sangat mendukung kesenian. Saya sudah pergi ke mana-mana karena Lahbako,” ungkap Ninin yang mewarisi darah seni ibunya.

Sekarang, selain mengajar tari di beberapa sekolah, perempuan berambut sepinggang tersebut juga memiliki sebuah sanggar tari. Tarian Lahbako bukan satu-satunya produk budaya lokal yang mengadopsi “budaya tem­bakau” yang telah lebih dulu ada.

“Kira-kira awal 1990-an sudah ada batik motif tembakau,” ujar Mawardi, pengusaha batik di Desa Sumber Pakem, Kecamatan Sumber Jambe, Jember. Seingatnya, saat ia mulai membuka usaha batik, beberapa tetangganya sudah membuat batik bermotif tembakau. Harganya pun tidak begitu mahal, yang paling murah selembar dipatok harga Rp85.000 dan yang paling mahal Rp400.000.!break!

Tidak ada yang bisa memastikan sejak kapan tembakau ada di Indonesia. Berbagai literatur sejarah menunjuk pada titimangsa yang berbeda. Ada yang menyatakan bahwa tem­bakau masuk di wilayah Indonesia pada abad ke-16 dan ada pula yang berpendapat pada abad ke-17. Bahkan, banyak pula sumber sejarah yang menyangkal kedua pendapat tersebut dan menyatakan bahwa tradisi merokok sudah ada di Indonesia bahkan sebelum abad ke-16.