Hikayat Negeri Tembakau

By , Selasa, 27 November 2012 | 13:38 WIB

Dulu, profesinya dokter. Ia bahkan sempat mengambil spesialis bedah anatomi di Belanda. Akan tetapi, sudah sejak lama justru yang melekat kuat di dirinya adalah tembakau dan lukisan. Di usianya yang menjelang 74 tahun, ia masih bersemangat jika diajak bicara tentang kedua hal tersebut.

Dokter Oei Hong Djien bukanlah nama yang asing di dunia seni rupa Indonesia. Banyak pe­laku seni rupa mulai dari seniman, kurator, ko­lektor, dan para pencinta seni rupa Indonesia yang sepakat bahwa Hong Djien adalah kolektor terpenting nomor dua di Indonesia. Mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa nomor dua saja dianggap penting? Sebab yang nomor satu adalah Soekarno, Presiden RI pertama yang memang gemar mengoleksi lukisan.

Tidak terlalu sulit mencari rumah Hong Djien di Magelang. Seorang perupa yang saya tanyai lewat pesan pendek cukup menjelaskan dengan kalimat ringkas: Pagarnya panjang dan penuh tanaman merambat. Dari luar pagar, rumah itu memang tidak menunjukkan apa-apa selain memang berpagar panjang, amat panjang untuk ukuran sebuah rumah.

Tetapi begitu memasuki halaman rumahnya, siapa pun yang ke sana langsung mengerti bahwa si empu rumah adalah pencinta seni. Berbagai karya instalasi dan patung dipajang di beranda rumah. “Ayo masuk!” suara Hong Djien yang khas, keras, dan spontan terdengar. Laki-laki berkaca­mata itu mendadak muncul di pintu lalu mengajak saya ke ruang tamunya yang juga penuh dengan karya seni. Salah satu lukisan yang terpajang di tembok ruangan itu saya kenali sebagai karya Nasirun.

“Saya sering mengatakan ke banyak orang, bagi saya, tembakau itu lebih dulu ada baru kemudian lukisan. Kenapa bisa begitu? Karena tanpa uang dari tembakau mustahil saya bisa membeli lukisan,” ujarnya sambil tertawa terkekeh. Hong Djien suka sekali tertawa.

Baginya, tembakau dan lukisan itu memiliki banyak persamaan. Profesinya sebagai grader tem­bakau sekaligus kolektor lukisan men­syarat­kan panca inderanya untuk bekerja dengan opti­mal. “Bau tembakau itu ada hubungannya dengan rasa tembakau. Kalau baunya enak, rasa­­nya pasti enak. Kalau baunya nyegrak (menusuk), pasti tembakau itu jika diisap terasa kasar. Kalau tem­bakau itu dipegang halus seperti sutera, pasti rasa­nya juga enak dan pulen. Begitu juga jika di­lihat kelirnya bagus, pasti ada pengaruhnya terhadap rasa,” kalimat-kalimat Hong Djien me­luncur deras, cenderung cepat.

Grader adalah profesi yang tugasnya mem­bedakan kualitas tembakau, yang berpengaruh pada proses penentuan harga tembakau. Diperlu­kan keahlian dan pengalaman panjang untuk menjadi grader yang mumpuni. Mirip dengan profesi para pencicip anggur.

Hong Djien menggeluti profesi sebagai grader karena kebetulan. Kakek buyutnya yang berasal dari Cina mendarat di Semarang pada 1800-an. Tak lama kemudian, sang kakek buyut ke Te­manggung dan memulai bisnis tembakau. Bis­nis tersebut di­lanjutkan kakeknya dan kemudian diwaris­kan ke orangtuanya.!break!

Se­betulnya orangtua Hong Djien yang lebih ter­didik meng­inginkan anak-anaknya bekerja di bidang yang lain. Kakak tertua Hong Djien ber­profesi sebagai dokter gigi, bahkan menjadi dokter gigi Soekarno. Hong Djien sendiri kemudian masuk kedokteran dengan spesialis bedah anatomi, sementara adiknya kuliah di Fakultas Hukum.

Pada 1968, saat ia berada di Belanda untuk melanjutkan kuliah, bapaknya meninggal dunia. Terpaksa Hong Djien pulang. Waktu itu bulan Juni, saat mendekati panen tembakau. Kakak dan adiknya tidak mungkin mengambil alih bisnis tersebut. Terpaksa Hong Djien yang memikul amanah untuk mengurus bisnis keluarga itu.

“Waktu itu petani-petani sudah mulai banyak yang berdatangan untuk menyetor tembakau. Padahal saya sama sekali tidak menguasai bisnis itu. Akhirnya mau tidak mau saya belajar tentang bisnis tembakau, termasuk meng-grade tembakau. Akhirnya keterusan sampai sekarang.”

Sejak muda, Hong Djien tidak bisa lepas dari lukisan. Awalnya karena di tembok rumah orangtuanya banyak lukisan, kebanyakan lukisan orang Belanda. “Ketika saya kuliah di Jakarta, saya pun mulai terbiasa mengunjungi pameran-pameran lukisan. Dan, ketika saya berada di Belanda, saya mulai membeli, walaupun sebatas membeli sketsa-sketsa.”

Begitu mulai punya uang yang cukup karena meneruskan bisnis tembakau ayahnya, ia mulai membeli lukisan-lukisan seperti Affandi, Sudjojono, Widayat, Nasar, Nyoman Gunarsa, Ivan Sagita, dan banyak yang lain. Di kalangan perupa Yogyakarta, Hong Djien punya tempat tersendiri yang susah digantikan.

Saat iklim seni rupa belum sebagus sekarang, Hong Djien sudah sering membeli karya para perupa muda, terutama dari Yogyakarta. Bagi mereka, karya mereka yang di­koleksi Hong Djien merupakan kebanggaan tersendiri. Kini, di umurnya yang sudah sepuh, Hong Djien masih sering didaulat bicara di berbagai forum seni rupa penting, baik di dalam maupun di luar negeri. Ia juga menjadi semacam pe­nasihat bagi berbagai peristiwa seni rupa di tanah air.

Untuk menunjukkan kecintaannya pada dunia seni rupa, sosok yang mengoleksi lebih dari 2.000 karya seni rupa ini pun membuat sebuah museum seni rupa. Museum itu diresmikan pada tanggal 5 April 2012, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-73.!break!

Lamuk adalah nama sebuah dusun di wilayah Desa Legoksari, Temanggung. Saya tiba di dusun itu pukul 09.00. Pada bulan April, beberapa wilayah di Temanggung memang mulai melakukan proses penanaman tembakau. Suasana di rumah Subakir, 45 tahun, seorang kepala desa, sudah ramai. Para penduduk ber­kumpul untuk mempersiapkan upacara tanam tembakau. Saya melihat belasan wartawan di rumah besar tersebut, me­nandakan bahwa ritual di kampung itu menarik untuk dijadikan berita.

Tidak lama kemudian, orang-orang ber­iring­an, berjalan kaki dengan membawa be­ragam sesajen menuju ke tempat upacara, di tengah area kebun tembakau yang siap ditanam. Perjalanan menanjak cukup melelahkan bagi orang-orang yang tidak terbiasa, seperti saya.

Sampai di area ritus, altimeter di tangan saya menunjukkan angka 1.500 meter di atas permukaan laut, dengan tingkat kemiringan yang curam. Bukit-bukit tampak kosong, siap ditanami. Selain membawa sesajen, para penduduk juga membawa bibit-bibit tembakau yang kira-kira setinggi sepuluh sentimeter.

Tikar-tikar digelar. Orang-orang duduk me­ngelilingi sesajen. Ada sesajen yang satu nampan khusus berisi buah-buahan, ada yang khusus tumpeng dengan ditancapi lidi-lidi yang sudah ditempeli berbagai jenis uang kertas, ada pula yang hanya berisi berbagai jenis rokok. Saya juga melihat tumpeng lengkap dengan ingkung ayam (ayam utuh). Namun, tampaknya, yang menjadi sajen inti adalah tumpeng lengkap dengan ingkung ayam cemani yang dagingnya berwarna hitam.

Sebagai kepala desa, Subakir membuka acara dalam bahasa Jawa halus. Laki-laki berkumis tebal itu mengucapkan rentetan ucapan terima kasih, mulai kepada Tuhan sampai dengan kepada Ki Ageng Makukuhan. Bagi orang di wilayah Gunung Sindoro, Sumbing, dan Prau, nama Ki Ageng Makukuhan memang selalu menjadi sebutan wajib dalam semua ritual yang berhubungan dengan tembakau. Ia dipercaya sebagai orang pertama yang membawa bibit tembakau di wilayah ini.

Menurut cerita lisan yang beredar di masya­rakat, Ki Ageng Makukuhan adalah murid Sunan Kudus yang berniat membuka lahan pertanian di wilayah Temanggung dan sekitarnya. Di tengah perjalanan, salah satu sahabatnya sakit. Pada saat itulah, Ki Ageng Makukuhan mencabut tanaman dan dikibaskan ke tubuh sahabatnya sambil berkata, “Iki tambaku!” (Ini obat dariku). Kata “tambaku” inilah yang dipercaya masyarakat sebagai akar dari kata tembakau atau mbako.

Usai Subakir membuka acara, ritual selanjut­nya dipandu oleh seorang pemuka agama. Upacara berlangsung dengan khidmat. Hening. Ketika upacara usai, semua orang menyantap hidangan. Kemudian dilanjutkan dengan membawa bibit-bibit tembakau ke lahan-lahan yang sudah siap ditanami.!break!

Saya sempat berbincang dengan beberapa orang sepuh, yang saya taksir usia mereka di atas 70 tahun. Memang benar, seorang di antara mereka bahkan sudah berusia hampir 80 tahun. Tidak ada yang tahu persis sejak kapan Lamuk ditanami tembakau. Jawabannya selalu: “Sejak dulu.”

Hanya, seingat mereka, dulu tembakau hanya ditanam untuk dikonsumsi sendiri. Namun, mereka sepakat bahwa penanaman besar-besaran tembakau di Lamuk terjadi pada 1969. Hal tersebut cukup masuk akal karena mendekati tahun tersebut industri rokok terutama rokok kretek mulai mengalami kemajuan yang pesat.

Lamuk dulu dikenal sebagai daerah minus, dengan tanah yang cengkar dan lanskap yang curam. Kini, Lamuk mendadak masyhur karena menghasilkan tembakau kualitas nomor satu, yang sering disebut sebagai tembakau srintil.

Tembakau srintil menjadi masyhur karena saat panen tidak semua petani “dianugerahi” tembakau ini, meski dari kebun yang sama. Dengan harga srintil yang berkisar antara Rp400.000 sampai 800.000, bahkan beberapa kali tembus di atas Rp1.000.000 per kilogram, pasti banyak orang yang mengincar lahan di daerah tersebut. Kepala desa yang saya tanya hal tersebut tergelak, “Mas, kalau ada orang mau membeli tanah di Lamuk, orang Lamuk akan bertanya balik: Anda punya tanah berapa, biar saya beli.”

Memang benar. Dari hasil tembakau tersebut, banyak orang dari Lamuk yang membeli tanah ke desa lain bahkan kecamatan lain. Dengan suara bariton dan sorot matanya yang tajam, Subakir bahkan mengatakan, “Beberapa tahun lalu tersiar berita menggegerkan karena ada petani-petani yang sempat mencari informasi bagaimana cara membeli helikopter. Petani-petani itu berasal dari Lamuk.”

Rumah Agus Parmuji masih ramai, padahal sudah jam 21.00. Lebih dari sepuluh orang sibuk mem­­bongkar keranjang-keranjang berisi tem­­bakau, me­ngambil contoh tembakau, men­cium, lalu mencatat, memberi tanda pada keranjang-keranjang tersebut, dan kemudian me­nyimpannya di gudang.

Laki-laki 34 tahun itu adalah kepala desa di Wonosari, Kecamatan Bulu, Temanggung. Rumah Agus sendiri terletak di dusun Dukuh. Suatu malam pada Agustus lalu saya datang ke rumahnya, saat sebagian besar warga Te­mang­gung memanen tembakau. “Ini masih petikan kedua, Mas. Srintil akan keluar setelah tanggal 24 Agustus,” ucap Agus sambil memperlihatkan be­berapa contoh tembakau kepada saya.!break!

Dukuh adalah saingan Lamuk. Kedua tem­pat tersebut merupakan penghasil srintil. Se­jak kecil, Agus sudah jatuh cinta kepada tem­bakau. Bahkan, ketika masih duduk di kelas lima sekolah dasar, ia sudah rela berjalan jauh ke kota Temanggung yang kira-kira berjarak 15 kilometer dari desanya.

Tujuannya hanya untuk tahu setelah tembakau dipetik, diperam, dirajang, dijemur, dan dibungkus keranjang lalu dibawa ke gudang di kota, apa proses selanjutnya? Alhasil, keluarganya bingung, warga desanya pun bingung hingga hampir semua orang mencarinya.

Selepas SMA, Agus terjun sebagai petani tembakau. Di kampungnya, ia adalah sosok kepala desa berusia muda, namun disegani. Ia pernah memeriksakan beberapa tanah di wilayahnya ke Institut Pertanian Bogor. Bahkan, contoh tanah itu pernah dibawa ke Amerika hanya untuk tahu bagaimana caranya supaya bisa menghasilkan kualitas tembakau yang bagus.

“Petani itu punya tiga pegangan menanam tembakau yang merupakan warisan pengetahuan nenek-moyang: siti (tanah), wiji (benih), wanci (cuaca atau waktu). Untuk yang pertama dan kedua, kita sebagai petani harus bisa meng­usahakan yang maksimal,” papar Agus. “Tapi soal wanci, kita bergantung kepada Tuhan.”

Agus lalu mencontohkan panen kali ini. Saat tembakau masih butuh guyuran hujan, ter­nyata hujan sudah tidak turun. Dan saat tembakau sudah tumbuh besar, angin bertiup lebat. “Akibat­nya, akar tembakau menjadi stres dan daun tembakau menjadi kempes, tidak padat berisi sehingga kualitasnya kurang. Tapi siapa yang bisa mengusir angin?”

Keesokan harinya, saya diajak Agus keliling desa untuk melihat bagaimana tembakau di­peram, dirajang, dan dijemur. Setelah itu, ia me­minta beberapa warganya untuk mengantar saya di daerah tembakau yang cukup tinggi. Ia tidak bisa ikut karena di siang hari banyak petani yang menyetor hasil panen mereka ke rumahnya.

Kami naik mobil bak terbuka, menyusuri jalan menanjak tak beraspal. Di mana mata saya memandang, yang ada hanyalah daun-daun tembakau yang berkilau diterpa panas matahari yang menyengat. “Di saat musim seperti ini, rumput pun mati. Hanya tembakau yang bisa hidup.” teriak seorang petani yang berada di balik kemudi, melawan deru mesin dan suara ban yang menggilas tanah bebatuan.

Mobil berhenti tepat di ketinggian 1.450 mdpl. Puncak Gunung Sumbing terlihat jelas. Banyak orang menyebut Dukuh dan Lamuk sebagai Negeri di Atas Awan. Karena ketika cuaca mendukung, dari kedua dusun tersebut bisa terlihat jajaran awan di bawah.!break!

Temanggung dan tembakau adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Maklum saja, tembakau telah menyulap kehidupan warga Temanggung. Setidaknya ada 14 kecamatan dari 19 kecamatan yang ada di Temanggung yang menjadi sentra penghasil tembakau, dengan total luas lahan tembakau berkisar 15.000 hektare.

Tak heran, perputaran uang saat panen tembakau di Temanggung bisa mencapai angka lebih dari satu triliun rupiah! Angka itu baru dari satu kabupaten, dan masih di satu titik pada hulu dari industri rokok di negeri ini. “Coba Mas pikir, komoditas pertanian apa yang dalam skala masif, satu kilogram harganya bisa di atas Rp800.000 selain tembakau?” Agus sempat memberikan pertanyaan itu ke­tika me­ngantar saya memasuki mobil untuk me­ninggal­kan Negeri di Atas Awan itu.

Jujur saja agak mengherankan bagi saya, ketika hampir semua petani tembakau di Lombok Tengah dan Lombok Timur yang saya temui kenal dengan sosok bernama Iskandar. Masyarakat di kedua wilayah tersebut lebih akrab menyebut laki-laki kelahiran Krian, Sidoarjo, Jawa Timur, 57 tahun lalu itu dengan panggilan: Haji Is. Orangnya ramah dan kebapakan.

Sejak kecil, ia mengaku suka dengan tanaman. Di sekeliling rumahnya ia tanami sayuran dan ketela. Maka ketika lulus SMP, Iskandar me­mutuskan masuk ke Sekolah Pertanian Me­nengah Atas (SPMA) di Malang. Di sekolahnya, ia mempelajari tanaman semusim, salah satunya tembakau. “Tidak tahu kenapa, saya jatuh cinta dengan tembakau. Mungkin karena nenek saya dulu juga jualan tembakau di pasar.”

Lulus sekolah ia diterima di sebuah pabrik rokok, dan bekerja di bidang budi daya tanaman tembakau pada 1977. Tujuh tahun ke­mudian, oleh perusahaan tempatnya bekerja, ia ditugaskan untuk membuka lahan pertanian di Lombok.

Mulailah Iskandar menjelajah Lombok, memperkenalkan pertanian tembakau lewat masjid dan kepala desa. Biasanya seusai salat Jumat ia meminta waktu ke pengurus masjid untuk bicara soal budi daya tanaman tembakau dan potensi ekonominya.

“Saya harus mengakui kehebatan senior saya yang memberi saya tugas untuk membuka lahan di sini. Bayangkan, pada 1984, ia sudah mampu melihat tren bahwa kelak para perokok akan beralih dari rokok kretek nonfilter ke rokok kretek filter bahkan ke rokok light, yang membutuhkan banyak tembakau virginia. Dan sekarang, Lombok adalah penghasil tembakau virginia terbesar di Indonesia.”

Tahun lalu, Lombok mampu menghasilkan 45.000 ton tembakau Virginia. Itu artinya, pulau ini menyumbang hampir 90 persen kebutuhan virginia nasional. Iskandar bukan hanya mengurus soal budi daya, melainkan juga terjun membenahi sistem tata niaga yang sehat antara petani dengan pabrikan yakni dengan sistem kemitraan.

“Di sini saya buat sistem, petani punya hitungan, pabrik punya hitungan. Lalu kita duduk bersama untuk menentukan musyawarah harga, sehingga semua merasa puas dan adil.” Kreativitas petani tembakau di Lombok memang teruji. Tembakau virginia di Lombok harus dioven.

Para petani mendirikan dan me­lakukan berbagai eksperimen untuk meng­hasil­kan bangunan oven yang bagus, kuat, dan efisien. Bahan bakar utama mengoven adalah minyak tanah. Tetapi, ketika Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengonversi minyak tanah men­jadi gas, petani pun me­lakukan uji coba untuk mengantisipasi ke­langkaan minyak tanah.

Awalnya, mereka me­makai kayu bakar. Tetapi, karena kayu bakar terancam habis, mereka meng­­gantikannya dengan batu bara. Namun saat batu bara yang didatangkan ke Lombok tidak berkualitas bagus, para petani ber­alih ke kulit kemiri yang didatangkan dari Flores, dan cangkang kelapa sawit yang didatangkan dari Kalimantan.

Sekarang, baik kulit kemiri maupun cangkang sawit yang dulu adalah limbah, menjadi komoditas yang menarik untuk lahan bisnis baru di Lombok.!break!

Surasikin sudah berusia 79 tahun. Namun, wajah perempuan itu masih tampak segar. tangan serta jari-jemarinya masih luwes jika memperagakan tarian Lahbako. Ia memang berasal dari keluarga seniman. Bapaknya me­miliki separangkat gamelan dan sekotak wayang. Saudara-saudaranya yang lain juga dikenal sebagai orang-orang yang terampil menggambar. Sejak kecil, Surasikin sudah suka menari.

Pemerintah Daerah Jember pun mengutusnya pergi ke Yogyakarta dan berlatih menari ke almarhum Bagong Kusudihardjo, seorang seniman serba bisa, dan merupakan salah satu maestro tari di Indonesia. Surasikin tidak ingat persis kapan dikirim ke Yogyakarta, tapi ia masih bisa mengingat saat itu ia belajar menari selama 10 hari di rumah Bagong.

Setelah itu, ia kembali dikirim sebanyak dua kali untuk belajar ke Yogyakarta lagi. Surasikin adalah satu dari sedikit seniman di Jember, yang menjadi saksi atas proses pembuatan tari Lahbako, walaupun ia tidak bisa mengingat secara tepat jika bicara soal tahun. Tetapi, saya beruntung karena saat wawancara, Surasikin ditemani oleh Ninin (38), anak perempuannya yang membantu mengingatkan soal tahun-tahun yang penting.

Kira-kira pada 1986, para seniman Jember berinisiatif untuk menciptakan tarian daerah yang bisa dianggap khas dari kota itu. Tahun yang dirujuk cukup masuk akal, mengingat di sekitar tahun tersebut memang baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah mendorong terciptanya tarian-tarian khas setiap daerah.

Maka, para seniman itu mengundang Bagong untuk datang ke Jember, terutama untuk membantu memotivasi dan memberi masukan atas tarian yang hendak mereka ciptakan. Setelah melalui sekian kali diskusi, tercetuslah ide untuk membuat tari Lahbako.

Nama Lahbako sendiri merupakan akronim dari “mengolah tembakau”. Gerakan-gerakan tarian itu diambil mulai dari proses me­nanam, memetik, menjemur, sampai mengolah tembakau di gudang. Untuk men­ciptakan gerak tarian Lahbako, Bagong meminta agar para inisiator tarian tersebut melihat lang­sung ke perkebunan tembakau dan ke gudang tembakau.

Surasikin dengan suaranya yang parau dan lirih menirukan kalimat Bagong, “Kalian ini kalau mau menciptakan tarian jangan asal gerak, tapi harus tahu apa maksudnya. Supaya tahu, ya kalian harus datang ke perkebunan dan gudang.”

Akhirnya, jadilah tarian Lahbako yang sampai sekarang sangat terkenal di Jember. Tarian ini diiringi alat musik dari bambu, kendang, dan seruling. Sampai sekarang, Lahbako masih sering ditarikan di berbagai acara di wilayah Jember, dan bahkan dibawa ke luar daerah jika ada undangan menari.

Ninin, yang saat tarian itu dibuat masih duduk di bangku SMP, termasuk generasi pertama yang mempraktikkan tari Lahbako. Ia sering bepergian ke luar kota untuk memperagakan tarian Lahbako. “Dulu bupati Jember sangat mendukung kesenian. Saya sudah pergi ke mana-mana karena Lahbako,” ungkap Ninin yang mewarisi darah seni ibunya.

Sekarang, selain mengajar tari di beberapa sekolah, perempuan berambut sepinggang tersebut juga memiliki sebuah sanggar tari. Tarian Lahbako bukan satu-satunya produk budaya lokal yang mengadopsi “budaya tem­bakau” yang telah lebih dulu ada.

“Kira-kira awal 1990-an sudah ada batik motif tembakau,” ujar Mawardi, pengusaha batik di Desa Sumber Pakem, Kecamatan Sumber Jambe, Jember. Seingatnya, saat ia mulai membuka usaha batik, beberapa tetangganya sudah membuat batik bermotif tembakau. Harganya pun tidak begitu mahal, yang paling murah selembar dipatok harga Rp85.000 dan yang paling mahal Rp400.000.!break!

Tidak ada yang bisa memastikan sejak kapan tembakau ada di Indonesia. Berbagai literatur sejarah menunjuk pada titimangsa yang berbeda. Ada yang menyatakan bahwa tem­bakau masuk di wilayah Indonesia pada abad ke-16 dan ada pula yang berpendapat pada abad ke-17. Bahkan, banyak pula sumber sejarah yang menyangkal kedua pendapat tersebut dan menyatakan bahwa tradisi merokok sudah ada di Indonesia bahkan sebelum abad ke-16.

Walaupun berbeda, merujuk kepada tahun-tahun tersebut, tidak mustahil jika tembakau sudah menjadi bagian penting dari masyarakat Indonesia sejak dulu, sejak ratusan tahun lalu. Hal ini masih bisa kita lacak sampai sekarang, baik lewat kajian sejarah yang ditulis belakangan maupun dari berbagai serat yang diterakan para pujangga dari keraton.

Semakin jelas jika kemudian kita melihat bahwa tembakau atau rokok menjadi salah satu elemen sesajen yang ada di berbagai masyarakat tradisional. Maka wajar jika saat saya berkeliling ke be­berapa daerah penghasil tembakau dan bertanya kapan kira-kira warga setempat menanam tem­bakau, jawaban mereka relatif sama: sejak dulu kala.

Dan pasti mereka menolak kalau dikatakan tembakau itu bukan berasal dari wilayah mereka. Sebab, bagi mereka, tembakau ada, menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Baik sebagai barang dagangan, sesuatu yang di­konsumsi dan menjadi bagian dari ritual-ritual penting dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, tampaknya para sejarawan bersepakat mengenai kapan tembakau, sebagai industri, mulai berdenyut di Indonesia, yakni pada paruh abad ke-19.

Soal sejarah masuknya tembakau memang bisa diperdebatkan, namun satu hal yang tidak bisa dimungkiri, industri ini pada tahun 2011 telah memberi kontribusi cukai ke negara sebesar Rp73,252 triliun. Itu baru uang yang didapat negara dari cukai, belum uang yang beredar di masyarakat yang terkait dengan mata rantai tata niaga industri tembakau. Pendapatan negara dari hasil tambang di tahun yang sama hanya sebesar Rp13,77 triliun.

Lewat status penguasaan area perkebunan tem­bakau, terlihat bahwa tanaman ini mem­punyai ikatan emosi dan ekonomi yang kuat dengan masyarakat. Rerata dari 2005 sampai 2009, sebesar 97,43 persen dikuasai perkebunan rakyat. Sisanya, yang hanya 2,57 persen, dikuasai oleh perkebunan negara dan swasta.

Indonesia juga dikenal sebagai penghasil rokok kretek, rokok yang dihasilkan dari campu­ran antara tembakau dan cengkih serta rempah-rempah lain. Aromanya sangat khas. Kretek sudah sejak lama diisap masyarakat Indonesia, tetapi sosok yang dianggap menemukan formula kretek adalah seorang laki-laki dari Kudus bernama Haji Djamhari sekitar tahun 1870-an.

Konon ia menderita sakit bengek. Awalnya ia berusaha mengobati sakitnya dengan meng­usapkan minyak cengkih di dadanya. Tetapi kemudian ia mencoba mencampurkan cengkih ke dalam tembakau yang diisapnya. Sakit yang dideritanya sembuh. Djamhari kemudian memproduksi rokok yang kelak disebut rokok kretek itu untuk dijual.

Awalnya, rokok kretek ditemukan dan diper­jual­belikan di apotek-apotek dan kedai-kedai jamu. Kini, rokok kretek men­dominasi pasar rokok di Indonesia dengan pangsa pasar sebesar 95 persen, sementara 5 persen sisanya adalah rokok putih.!break!

Banyak jenis tembakau di Indonesia yang masuk dalam kategori unik dan mahal. Di Temanggung dan Muntilan ada tembakau srintil, di Lombok ada tembakau senang, di Garut ada tembakau mole, dan di Madura ada tembakau campalok. Dengan membawa penerjemah yang bisa berbahasa Madura, saya datang ke lokasi tempat tembakau campalok berada, di dusun Jembengan, desa Bakeong, Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep.

Laki-laki yang saya cari sedang tiduran di atas balai-balai bambu yang sekaligus berfungsi sebagai musala. Namanya Abdul Aziz. Kulitnya legam dan tubuhnya gempal. Ia adalah pewaris lahan yang menghasilkan tembakau Campalok. “Karena saya petani, muka saya lebih tua dibanding umur saya,” ia bergurau.

“Saya tidak tahu persis kenapa tembakau ini bisa terkenal. Mungkin karena faktor tanahnya yang bagus. Tapi kalau menurut bapak dan kakek saya, dulu tanah tempat tembakau ini pernah disinggahi seorang ratu dari Sumenep. Kebetulan di sana ada sumur kecil. Saat singgah, ia mandi di sebelah sumur itu. Saat mandi, bunga yang ada di kepala ratu itu jatuh. Dari bunga itu tumbuh menjadi pohon yang disebut pohon campalok. Baunya harum. Mungkin dari bau harum tumbuhan ini, tembakau yang hidup di sekitar pohon itu jadi harum.”

Saya kemudian diajak menuju ke lahan tempat tembakau campalok tumbuh. Sayang, kedatangan saya agak telat. Panen tembakau campalok sudah dilakukan sekitar 10 hari sebelumnya. Namun batang-batang pohon tembakau itu masih berdiri utuh.

Lahan itu tidak seberapa besar, hanya dua petak dengan membentuk huruf "U". Dan, memang hanya ada satu pohon campalok yang tumbuh di sana, dan berdekatan dengan puluhan kuburan. Lahan itu hanya menghasilkan tujuh kilogram tembakau kering. Harga per kilonya untuk tahun ini Rp1.250.000. Harga yang cukup fantastis. Padahal, menurut Aziz, mulai bibit sampai cara penanaman dan perawatan tembakau Campalok tidak berbeda dengan tembakau lain.

“Sesepuh saya yang menanam tembakau di sekitar pohon ini,” ujarnya sambil menunjuk pohon campalok, “karena itu tembakaunya disebut tembakau Campalok. Jadi yang memberi nama tembakau Campalok ya sesepuh saya.”Saya bertanya, siapa yang membeli tembakau campalok. Aziz menjawab, Pak Haji Guntur, seorang pedagang dan pencinta tembakau. “Saya sudah kadung dekat dengan Pak Haji Guntur, jadi tidak menjual ke orang lain. Bahkan tembakau saya ini sudah dikontrak untuk terus dibeli oleh beliau.”

Saya spontan bertanya, dikontrak sampai kapan? “Sampai beliau berhenti me­rokok.” Terang saja jawaban Aziz membuat saya tertegun. Azis mengakui, saat ini tembakau campaloknya sudah habis, semua dikirim ke Pak Haji Guntur.

Setelah cukup lama berbincang di lahan tembakau, kami berjalan beriringan menuju tempat semula kami berjumpa, sebuah musala yang sederhana. Sebelum pamit pulang saya sempat iseng berkata: dengan harga setinggi itu, kalau lahan tembakau campaloknya lebih luas lagi tentu ia bisa kaya-raya. Aziz hanya mengulum senyum, “Sebelum meninggal dunia bapak saya sempat berkata: Nak, tanah ini anugerah Tuhan, syukuri saja.”