Hikayat Negeri Tembakau

By , Selasa, 27 November 2012 | 13:38 WIB

Temanggung dan tembakau adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Maklum saja, tembakau telah menyulap kehidupan warga Temanggung. Setidaknya ada 14 kecamatan dari 19 kecamatan yang ada di Temanggung yang menjadi sentra penghasil tembakau, dengan total luas lahan tembakau berkisar 15.000 hektare.

Tak heran, perputaran uang saat panen tembakau di Temanggung bisa mencapai angka lebih dari satu triliun rupiah! Angka itu baru dari satu kabupaten, dan masih di satu titik pada hulu dari industri rokok di negeri ini. “Coba Mas pikir, komoditas pertanian apa yang dalam skala masif, satu kilogram harganya bisa di atas Rp800.000 selain tembakau?” Agus sempat memberikan pertanyaan itu ke­tika me­ngantar saya memasuki mobil untuk me­ninggal­kan Negeri di Atas Awan itu.

Jujur saja agak mengherankan bagi saya, ketika hampir semua petani tembakau di Lombok Tengah dan Lombok Timur yang saya temui kenal dengan sosok bernama Iskandar. Masyarakat di kedua wilayah tersebut lebih akrab menyebut laki-laki kelahiran Krian, Sidoarjo, Jawa Timur, 57 tahun lalu itu dengan panggilan: Haji Is. Orangnya ramah dan kebapakan.

Sejak kecil, ia mengaku suka dengan tanaman. Di sekeliling rumahnya ia tanami sayuran dan ketela. Maka ketika lulus SMP, Iskandar me­mutuskan masuk ke Sekolah Pertanian Me­nengah Atas (SPMA) di Malang. Di sekolahnya, ia mempelajari tanaman semusim, salah satunya tembakau. “Tidak tahu kenapa, saya jatuh cinta dengan tembakau. Mungkin karena nenek saya dulu juga jualan tembakau di pasar.”

Lulus sekolah ia diterima di sebuah pabrik rokok, dan bekerja di bidang budi daya tanaman tembakau pada 1977. Tujuh tahun ke­mudian, oleh perusahaan tempatnya bekerja, ia ditugaskan untuk membuka lahan pertanian di Lombok.

Mulailah Iskandar menjelajah Lombok, memperkenalkan pertanian tembakau lewat masjid dan kepala desa. Biasanya seusai salat Jumat ia meminta waktu ke pengurus masjid untuk bicara soal budi daya tanaman tembakau dan potensi ekonominya.

“Saya harus mengakui kehebatan senior saya yang memberi saya tugas untuk membuka lahan di sini. Bayangkan, pada 1984, ia sudah mampu melihat tren bahwa kelak para perokok akan beralih dari rokok kretek nonfilter ke rokok kretek filter bahkan ke rokok light, yang membutuhkan banyak tembakau virginia. Dan sekarang, Lombok adalah penghasil tembakau virginia terbesar di Indonesia.”

Tahun lalu, Lombok mampu menghasilkan 45.000 ton tembakau Virginia. Itu artinya, pulau ini menyumbang hampir 90 persen kebutuhan virginia nasional. Iskandar bukan hanya mengurus soal budi daya, melainkan juga terjun membenahi sistem tata niaga yang sehat antara petani dengan pabrikan yakni dengan sistem kemitraan.

“Di sini saya buat sistem, petani punya hitungan, pabrik punya hitungan. Lalu kita duduk bersama untuk menentukan musyawarah harga, sehingga semua merasa puas dan adil.” Kreativitas petani tembakau di Lombok memang teruji. Tembakau virginia di Lombok harus dioven.

Para petani mendirikan dan me­lakukan berbagai eksperimen untuk meng­hasil­kan bangunan oven yang bagus, kuat, dan efisien. Bahan bakar utama mengoven adalah minyak tanah. Tetapi, ketika Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengonversi minyak tanah men­jadi gas, petani pun me­lakukan uji coba untuk mengantisipasi ke­langkaan minyak tanah.

Awalnya, mereka me­makai kayu bakar. Tetapi, karena kayu bakar terancam habis, mereka meng­­gantikannya dengan batu bara. Namun saat batu bara yang didatangkan ke Lombok tidak berkualitas bagus, para petani ber­alih ke kulit kemiri yang didatangkan dari Flores, dan cangkang kelapa sawit yang didatangkan dari Kalimantan.

Sekarang, baik kulit kemiri maupun cangkang sawit yang dulu adalah limbah, menjadi komoditas yang menarik untuk lahan bisnis baru di Lombok.!break!