Hikayat Negeri Tembakau

By , Selasa, 27 November 2012 | 13:38 WIB

Walaupun berbeda, merujuk kepada tahun-tahun tersebut, tidak mustahil jika tembakau sudah menjadi bagian penting dari masyarakat Indonesia sejak dulu, sejak ratusan tahun lalu. Hal ini masih bisa kita lacak sampai sekarang, baik lewat kajian sejarah yang ditulis belakangan maupun dari berbagai serat yang diterakan para pujangga dari keraton.

Semakin jelas jika kemudian kita melihat bahwa tembakau atau rokok menjadi salah satu elemen sesajen yang ada di berbagai masyarakat tradisional. Maka wajar jika saat saya berkeliling ke be­berapa daerah penghasil tembakau dan bertanya kapan kira-kira warga setempat menanam tem­bakau, jawaban mereka relatif sama: sejak dulu kala.

Dan pasti mereka menolak kalau dikatakan tembakau itu bukan berasal dari wilayah mereka. Sebab, bagi mereka, tembakau ada, menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Baik sebagai barang dagangan, sesuatu yang di­konsumsi dan menjadi bagian dari ritual-ritual penting dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, tampaknya para sejarawan bersepakat mengenai kapan tembakau, sebagai industri, mulai berdenyut di Indonesia, yakni pada paruh abad ke-19.

Soal sejarah masuknya tembakau memang bisa diperdebatkan, namun satu hal yang tidak bisa dimungkiri, industri ini pada tahun 2011 telah memberi kontribusi cukai ke negara sebesar Rp73,252 triliun. Itu baru uang yang didapat negara dari cukai, belum uang yang beredar di masyarakat yang terkait dengan mata rantai tata niaga industri tembakau. Pendapatan negara dari hasil tambang di tahun yang sama hanya sebesar Rp13,77 triliun.

Lewat status penguasaan area perkebunan tem­bakau, terlihat bahwa tanaman ini mem­punyai ikatan emosi dan ekonomi yang kuat dengan masyarakat. Rerata dari 2005 sampai 2009, sebesar 97,43 persen dikuasai perkebunan rakyat. Sisanya, yang hanya 2,57 persen, dikuasai oleh perkebunan negara dan swasta.

Indonesia juga dikenal sebagai penghasil rokok kretek, rokok yang dihasilkan dari campu­ran antara tembakau dan cengkih serta rempah-rempah lain. Aromanya sangat khas. Kretek sudah sejak lama diisap masyarakat Indonesia, tetapi sosok yang dianggap menemukan formula kretek adalah seorang laki-laki dari Kudus bernama Haji Djamhari sekitar tahun 1870-an.

Konon ia menderita sakit bengek. Awalnya ia berusaha mengobati sakitnya dengan meng­usapkan minyak cengkih di dadanya. Tetapi kemudian ia mencoba mencampurkan cengkih ke dalam tembakau yang diisapnya. Sakit yang dideritanya sembuh. Djamhari kemudian memproduksi rokok yang kelak disebut rokok kretek itu untuk dijual.

Awalnya, rokok kretek ditemukan dan diper­jual­belikan di apotek-apotek dan kedai-kedai jamu. Kini, rokok kretek men­dominasi pasar rokok di Indonesia dengan pangsa pasar sebesar 95 persen, sementara 5 persen sisanya adalah rokok putih.!break!

Banyak jenis tembakau di Indonesia yang masuk dalam kategori unik dan mahal. Di Temanggung dan Muntilan ada tembakau srintil, di Lombok ada tembakau senang, di Garut ada tembakau mole, dan di Madura ada tembakau campalok. Dengan membawa penerjemah yang bisa berbahasa Madura, saya datang ke lokasi tempat tembakau campalok berada, di dusun Jembengan, desa Bakeong, Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep.

Laki-laki yang saya cari sedang tiduran di atas balai-balai bambu yang sekaligus berfungsi sebagai musala. Namanya Abdul Aziz. Kulitnya legam dan tubuhnya gempal. Ia adalah pewaris lahan yang menghasilkan tembakau Campalok. “Karena saya petani, muka saya lebih tua dibanding umur saya,” ia bergurau.

“Saya tidak tahu persis kenapa tembakau ini bisa terkenal. Mungkin karena faktor tanahnya yang bagus. Tapi kalau menurut bapak dan kakek saya, dulu tanah tempat tembakau ini pernah disinggahi seorang ratu dari Sumenep. Kebetulan di sana ada sumur kecil. Saat singgah, ia mandi di sebelah sumur itu. Saat mandi, bunga yang ada di kepala ratu itu jatuh. Dari bunga itu tumbuh menjadi pohon yang disebut pohon campalok. Baunya harum. Mungkin dari bau harum tumbuhan ini, tembakau yang hidup di sekitar pohon itu jadi harum.”

Saya kemudian diajak menuju ke lahan tempat tembakau campalok tumbuh. Sayang, kedatangan saya agak telat. Panen tembakau campalok sudah dilakukan sekitar 10 hari sebelumnya. Namun batang-batang pohon tembakau itu masih berdiri utuh.

Lahan itu tidak seberapa besar, hanya dua petak dengan membentuk huruf "U". Dan, memang hanya ada satu pohon campalok yang tumbuh di sana, dan berdekatan dengan puluhan kuburan. Lahan itu hanya menghasilkan tujuh kilogram tembakau kering. Harga per kilonya untuk tahun ini Rp1.250.000. Harga yang cukup fantastis. Padahal, menurut Aziz, mulai bibit sampai cara penanaman dan perawatan tembakau Campalok tidak berbeda dengan tembakau lain.

“Sesepuh saya yang menanam tembakau di sekitar pohon ini,” ujarnya sambil menunjuk pohon campalok, “karena itu tembakaunya disebut tembakau Campalok. Jadi yang memberi nama tembakau Campalok ya sesepuh saya.”Saya bertanya, siapa yang membeli tembakau campalok. Aziz menjawab, Pak Haji Guntur, seorang pedagang dan pencinta tembakau. “Saya sudah kadung dekat dengan Pak Haji Guntur, jadi tidak menjual ke orang lain. Bahkan tembakau saya ini sudah dikontrak untuk terus dibeli oleh beliau.”

Saya spontan bertanya, dikontrak sampai kapan? “Sampai beliau berhenti me­rokok.” Terang saja jawaban Aziz membuat saya tertegun. Azis mengakui, saat ini tembakau campaloknya sudah habis, semua dikirim ke Pak Haji Guntur.

Setelah cukup lama berbincang di lahan tembakau, kami berjalan beriringan menuju tempat semula kami berjumpa, sebuah musala yang sederhana. Sebelum pamit pulang saya sempat iseng berkata: dengan harga setinggi itu, kalau lahan tembakau campaloknya lebih luas lagi tentu ia bisa kaya-raya. Aziz hanya mengulum senyum, “Sebelum meninggal dunia bapak saya sempat berkata: Nak, tanah ini anugerah Tuhan, syukuri saja.”