Berbagi Ruang Berbagi Peluang

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 11:34 WIB

Dia pernah melakukan studi tentang kebijakan untuk pekerja berkebutuhan khusus di Jakarta. Temuannya, kebijakan kesempatan kerja dengan kuota 1 persen dari 100 karyawan belum berjalan maksimal, meskipun disebutkan dalam undang-undang.

Menurutnya, kesempatan kerja juga erat hubungannya dengan ketersediaan sarana yang mudah diakses oleh mereka yang berkebutuhan khusus. Saya bertemu dengan Ariani Soekanwo dan Harpalis Alwi. Keduanya dari lembaga Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia wilayah Jakarta. Sebelum 2012, nama lembaga ini adalah Persatuan Penyandang Cacat Indonesia.

Ariani, penyandang tunanetra yang turut mendirikan Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) pada 1966, berkata kepada saya, “Di konvensi sudah jelas memuat hak-hak penyandang disabilitas yaitu pendidikan, kesehatan, kebebasan berekspresi, akses terhadap informasi, pekerjaan, dan partisipasi berpolitik.”

Stigma bahwa penyandang disabilitas tidak mampu bekerja karena memiliki keterbatasan masih dirasakan sampai saat ini. Dia lalu bercerita tentang pernyataan seorang pembicara pada sebuah forum diskusi yang mengatakan bahwa tidak ada perusahaan yang mau merugi—ini terkait dengan kuota satu persen tadi. Mereka pun berdebat. Kata Ariani, “Sama seperti perusahaaan, kami juga tidak mau dirugikan dan merugikan.”

Sementara itu, Harpalis Alwi, penyandang tunarungu yang juga menjabat Ketua Umum Perhimpunan Olahraga Tuna Rungu Indonesia bercerita dengan suara yang terdengar timbul tenggelam. Lelaki berusia 64 tahun ini sangat bersemangat. Bola matanya berbinar saat bercerita bahwa banyak penyandang disabilitas yang berprestasi, baik di dunia pekerjaan, kesenian, dan olahraga.

Namun, sinar matanya meredup dan sedikit kesal ketika bercerita bahwa dia pernah ketinggalan pesawat lantaran informasi perpindahan ruang tunggu hanya diumumkan dengan pengeras suara di Bandar Udara Soekarno-Hatta.Aksesibilitas merupakan salah satu prinsip dalam konvensi tersebut.

Lingkungan bebas hambatan seperti sebuah mimpi yang digadang-gadang banyak warga. Hanya saja, impian atas lingkungan yang ramah bagi pejalan kaki itu masih membutuhkan kerja keras banyak pihak, terutama pemerintah. “Kami akui upaya itu ada tetapi masih sangat minimal,” ujar Bambang Mulyadi, Direktur Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan di Kementerian Sosial.

Beberapa pendataan, yang sebagian besar dilakukan kementerian atau lembaga, menunjukkan angka yang berbeda. “Masing-masing kementerian punya data sendiri, data yang dimiliki sesuai keperluan program,” ungkapnya. Kesimpangsiuran data menjadi satu kenyataan pahit yang seolah-olah harus dimaklumi.

“Kementerian Sosial memperkirakan populasi penyandang cacat di Indonesia sebesar tiga persen atau sekitar tujuh juta jiwa pada 2011,” kata Bambang. Dia menyampaikan juga bahwa data ini berbeda dengan data lembaga lain: Kementerian Kesehatan merilis sebesar enam persen.

Dia menuturkan bahwa keterpaduan dari semua pihak, terutama kementerian atau lembaga dan dinas, menjadi kunci suksesnya intervensi untuk pemenuhan hak-hak seperti tertulis dalam Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas. “Rencana kami adalah melibatkan teman-teman dengan disabilitas sejak proses perencanaan agar tidak ada lagi ramp yang dibangun terlalu curam,” paparnya.!break!

Tatkala siang menggelora di utan kayu, Jakarta Pusat, saya berjumpa dengan Endang Rahayu Pudjo di rumah satu lantai milik keluarganya. Rumah itu telah disulap menjadi tempat belajar bernama Rumah Kampus. Saat ini, rumah tersebut merupakan jawaban dari rasa kegalauan dan keputusasaan Endang pada minimnya keseriusan pemerintah pada orang berkebutuhan khusus, terutama dalam bidang sarana dan prasarana pendidikan.

Kurikulum Rumah Kampus akhirnya disusunnya sendiri karena, menurutnya, kurikulum yang ada di perguruan tinggi memang tidak bisa diterapkan untuk penyandang disabilitas. Hal yang paling kongkret adalah banyak fasilitas pendidikan yang tidak memiliki infrastruktur yang mudah diakses, seperti jalan bertangga menuju ruang kelas, kamar mandi yang sempit, dan sedikitnya tenaga pengajar untuk siswa berkebutuhan khusus.