Berbagi Ruang Berbagi Peluang

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 11:34 WIB

Pada suatu Minggu pagi yang berpendar di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, taksi yang kami tumpangi menyusuri gang berkelok. Yudhi Hermawan yang duduk di kursi depan penumpang perlahan membuka kaca jendela.Dia melongokkan kepalanya keluar, dan mem­­biarkan angin tipis berembus menyeka wajah­nya.

Kemampuan pendengarannya yang  sangat tajam pun mulai berkerja. “Meski berangkat gelap pulang gelap, saya punya radar,” ucapnya riang. Hermawan adalah seorang penyandang tunanetra. Kemampuan indra penglihatannya kian menurun, hingga akhirnya sebelum lulus sekolah dasar dia tak mampu lagi menyaksikan rupa dunia. Sejak itu, hari-harinya ditemani tongkat sebagai alat bantu sekaligus identitas.

Lelaki berusia 19 tahun itu bekerja sebagai karyawan telemarketing sebuah bank swasta nasional terkemuka di Jakarta Selatan. Apabila bepergian di hari kerja, dia menggunakan jasa angkutan umum, namun ada ojek langganan yang siap mengantar bila macet menghadang.

Pengemudi taksi menoleh dengan wajah keheranan ketika Hermawan mulai mem­berikan petunjuk jalan. Aris Yohanes, seorang temannya yang juga tunanetra dan duduk di kursi belakang, berkata kepada saya bahwa Hermawan jago perihal menghafal tempat. “Sayangnya, banyak taksi yang takut di-stop tunanetra. Mungkin takut tersesat?” ucap Aris sambil bergurau.

Sampailah kami di ujung gang depan rumah Hermawan. Sebuah warung kecil milik tetangga, deretan polisi tidur, dan tiga orang ibu yang sedang asyik mengobrol di deretan sofa bekas itu menjadi semacam penanda lokasi rumahnya.Dari Pondok Cabe, kami meneruskan perjalanan menuju Raudatul Makfufin, pondok pesantren tunanetra di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, yang menerbitkan Alquran braille (berhuruf timbul).

Kami, termasuk pengemudi taksi, mengandalkan kemampuan pemetaan kognitif Hermawan yang pernah menyambangi pondok pesantren ini sebelumnya. Dia memandu, “Nanti kita belok kanan setelah melewati dua turunan di jalan besar.”

Saat tiba di Raudatul Makfufin, pelukan hangat dan riuhnya sapaan belasan santri tunanetra menyambut kami. Siang itu, Aris dan Hermawan yang mewakili Information Technology Center For the Blind (ITCFB)memiliki hajatan besar: peluncuran sebuah perangkat lunak yang mereka buat untuk pengingat waktu azan.

Aris mengambil tempat di hadapan puluhan santri yang duduk melingkar dan bersemangat. Tangannya mulai mengoperasikan laptop dengan fasilitas pembaca layar untuk menjelaskan perangkat lunak itu secara bertahap, mulai dari bagaimana cara menginstalasi sampai dengan proses pengisian suara. “Namanya Makfufin Adzan Software Accessible atau MASA,” Aris menjelaskan dengan fasih.!break!

Aksesibilitas teknologi untuk tunanetra di Indonesia mulai terjawab dengan adanya perangkat lunak pembaca layar bernama Job Access With Speech (JAWS) pada awal 1990-an. Yayasan Mitra Netra menginisiasi penggunaan peranti pembaca layar ini yang kemudian disusul dengan serangkaian pelatihan untuk pemanfaatan lebih luas.

JAWS mengonversikan tampilan visual ke dalam bentuk audio untuk mempermudah para tunanetra dalam menggunakan perangkat teknologi informasi. Saat ini, telepon genggam, laptop, dan komputer dapat digunakan untuk komunikasi sehari-hari bagi tunanetra, termasuk mendukung pekerjaan atau bisnis. Upaya distribusi informasi melalui media sosial juga kian bersahabat bagi mereka.

Pada Januari 2006, sebuah media baru di dunia maya bernama Kartunet Community hadir sebagai organisasi kepemudaan yang berfokus pada penggunaan teknologi informasi. Tujuannya, untuk pemberdayaan pemuda berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas di Indonesia. Tahun demi tahun dilalui dengan deretan kegiatan, di antaranya pelatihan multimedia dan blogging pada 2012.

Meskipun demikian, Dimas Prasetyo Muharram, seorang tunanetra muda dan salah seorang pendiri Kartunet.com, memaparkan kepada saya sejumlah persoalan klasik. Jakarta, kota metropolitan dengan jumlah penyandang disabilitas sebanyak 21 ribu jiwa—berdasarkan data Dinas Sosial DKI Jakarta pada 2011—belum sepenuhnya ramah untuk penyandang disabilitas dan masyarakat umum. “Trotoar dan transportasi umum masih perlu pembenahan,” ungkap Dimas.

Saya menjumpai Jaka Ahmad yang lebih dikenal dengan julukan Blindman Jack. Lelaki ini adalah salah satu penggagas forum Barrier Free Tourism (BFT). Dia mengatakan bahwa lingkungan bebas hambatan (barrier free) di Jakarta masih jauh dari harapan. Ketika saya bertanya bagaimana pendapatnya soal jalur khusus tunanetra di Jakarta, Jaka menjawab, “Semacam kosmetik. Jalur itu dibangun di Jalan Sudirman-Thamrin yang strategis untuk konsumsi pemberitaan.”

Bahkan, beberapa teman tunanetra mengeluh­kan pengerjaan jalur khusus yang kurang maksimal. Tongkat alat bantu seharusnya bisa “tersangkut” dan dituntun oleh cekungan ubin, sehingga  mereka dapat terbantu. Selain itu, di trotoar dibangun pula tiang-tiang perintang sepeda motor setinggi setengah meter. Padahal tiang-tiang ini menyulitkan warga yang menggunakan kursi roda.

Saya pun menyusuri jalur khusus tunanetra yang dimaksud di kawasan Sudirman-Thamrin: deretan ubin berwarna kuning terpasang memanjang di tengah trotoar. Namun, jalur khusus yang terbilang baru itu tak lagi mulus lantaran ubinnya ada yang terkelupas, tertutup pot, atau tertimbun bekas galian. Ada pula jalur yang dihadang tiang lampu di Jalan Cikini Raya.

Kemudian saya menapaki ruas jalan lain seperti Dukuh Atas, Stasiun Sudirman, dan Tosari, yang dikenal sebagai jalur penting penghubung bagi masyarakat Jakarta. Sebagian jalur pedestrian dan fasilitas bus Transjakarta di kawasan ini ternyata berupa trotoar sempit dan halte bertangga dengan elevator yang tidak bisa digunakan.!break!

Beberapa jalur pedestrian itu juga terhalang deretan motor yang parkir dan lapak para pedagang kaki lima. Tentu hal ini menyulitkan warga berkebutuhan khusus, wanita hamil, orang tua, bahkan masyarakat umum dengan barang bawaan yang berat. Belum lagi bekas galian serta pot-pot tanaman. Tentu hal ini menyulitkan warga berkebutuhan khusus, wanita hamil, dan orang tua.

Indonesia turut mengesahkan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on Rights of Persons with Disability) pada Oktober 2011. Dalam konvensi ini dijelaskan tentang definisi disabilitas. Mereka adalah individu yang memiliki hambatan fisik, mental, intelektual atau sensorik jangka panjang sehingga terhambat partisipasinya dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan.

Sebelum muncul istilah “disabilitas”, sejak 1998, para aktivis sudah memperkenalkan istilah baru untuk mengganti sebutan penyandang cacat, yakni difable, yang merupakan singkatan dari differently-abled. Istilah ini kemudian digunakan secara luas dalam bahasa Indonesia sebagai "difabel".

Menurut laporan Disability at A Glance 2012 dari UN ESCAP (Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik PBB), keberlanjutan pembangunan ekonomi dan sosial bergantung pada upaya membangun keterlibatan masyarakat. Termasuk para penyandang disabilitas yang beragam. Saat ini, tulis laporan tersebut, warga berkebutuhan khusus praktis terpinggirkan dari proses pembangunan daerah.

PBB, lewat program Enable, juga sudah membuat panduan desain yang amat lengkap dan mendetail—yang bisa diakses siapa pun, termasuk para arsitek dan pengembang, karena diunggah ke laman web—menyangkut pembangunan infrastruktur kota yang bebas hambatan bagi orang berkebutuhan khusus. Mulai dari membangun jalur pejalan kaki, elevator, tangga dan lampu jalan, hingga fasilitas parkir khusus.

Saya mencoba menengok India, negara dengan jumlah penduduk terbesar kedua di planet ini, yang punya kondisi sosial-ekonomi mirip Indonesia. India bergerak empat tahun lebih cepat dibandingkan Indonesia dalam meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas. Negara ini memiliki Jaringan Nasional Disabilitas yang didukung warga berkebutuhan khusus dan masyarakat yang memberikan perhatian kepada mereka.

Pascaratifikasi, pemerintah India melakukan tindakan nyata seperti serangkaian peraturan baru untuk warga berkebutuhan khusus, pedoman standar aksesibilitas web internasional, serta rencana pembangunan Pusat Penelitian dan Pelatihan Bahasa Isyarat.

Mahmudi Yusbi, lelaki asal Aceh, bukan nama asing di kalangan angkatan muda berkebutuhan khusus. Dia adalah koordinator tingkat nasional untuk Program Young Voices Indonesia, kelompok angkatan muda penyandang kebutuhan khusus usia 16-25 tahun yang berpotensi untuk dikembangkan.

“Kita juga perlu mengedukasi masyarakat,” tulis Mahmudi dalam surat elektroniknya kepada saya, “karena masih banyak masyarakat umum melihat penyandang disabilitas sebagai orang yang tidak mampu, selalu dikasihani sehingga menimbulkan stigma.”!break!

Dia pernah melakukan studi tentang kebijakan untuk pekerja berkebutuhan khusus di Jakarta. Temuannya, kebijakan kesempatan kerja dengan kuota 1 persen dari 100 karyawan belum berjalan maksimal, meskipun disebutkan dalam undang-undang.

Menurutnya, kesempatan kerja juga erat hubungannya dengan ketersediaan sarana yang mudah diakses oleh mereka yang berkebutuhan khusus. Saya bertemu dengan Ariani Soekanwo dan Harpalis Alwi. Keduanya dari lembaga Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia wilayah Jakarta. Sebelum 2012, nama lembaga ini adalah Persatuan Penyandang Cacat Indonesia.

Ariani, penyandang tunanetra yang turut mendirikan Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) pada 1966, berkata kepada saya, “Di konvensi sudah jelas memuat hak-hak penyandang disabilitas yaitu pendidikan, kesehatan, kebebasan berekspresi, akses terhadap informasi, pekerjaan, dan partisipasi berpolitik.”

Stigma bahwa penyandang disabilitas tidak mampu bekerja karena memiliki keterbatasan masih dirasakan sampai saat ini. Dia lalu bercerita tentang pernyataan seorang pembicara pada sebuah forum diskusi yang mengatakan bahwa tidak ada perusahaan yang mau merugi—ini terkait dengan kuota satu persen tadi. Mereka pun berdebat. Kata Ariani, “Sama seperti perusahaaan, kami juga tidak mau dirugikan dan merugikan.”

Sementara itu, Harpalis Alwi, penyandang tunarungu yang juga menjabat Ketua Umum Perhimpunan Olahraga Tuna Rungu Indonesia bercerita dengan suara yang terdengar timbul tenggelam. Lelaki berusia 64 tahun ini sangat bersemangat. Bola matanya berbinar saat bercerita bahwa banyak penyandang disabilitas yang berprestasi, baik di dunia pekerjaan, kesenian, dan olahraga.

Namun, sinar matanya meredup dan sedikit kesal ketika bercerita bahwa dia pernah ketinggalan pesawat lantaran informasi perpindahan ruang tunggu hanya diumumkan dengan pengeras suara di Bandar Udara Soekarno-Hatta.Aksesibilitas merupakan salah satu prinsip dalam konvensi tersebut.

Lingkungan bebas hambatan seperti sebuah mimpi yang digadang-gadang banyak warga. Hanya saja, impian atas lingkungan yang ramah bagi pejalan kaki itu masih membutuhkan kerja keras banyak pihak, terutama pemerintah. “Kami akui upaya itu ada tetapi masih sangat minimal,” ujar Bambang Mulyadi, Direktur Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan di Kementerian Sosial.

Beberapa pendataan, yang sebagian besar dilakukan kementerian atau lembaga, menunjukkan angka yang berbeda. “Masing-masing kementerian punya data sendiri, data yang dimiliki sesuai keperluan program,” ungkapnya. Kesimpangsiuran data menjadi satu kenyataan pahit yang seolah-olah harus dimaklumi.

“Kementerian Sosial memperkirakan populasi penyandang cacat di Indonesia sebesar tiga persen atau sekitar tujuh juta jiwa pada 2011,” kata Bambang. Dia menyampaikan juga bahwa data ini berbeda dengan data lembaga lain: Kementerian Kesehatan merilis sebesar enam persen.

Dia menuturkan bahwa keterpaduan dari semua pihak, terutama kementerian atau lembaga dan dinas, menjadi kunci suksesnya intervensi untuk pemenuhan hak-hak seperti tertulis dalam Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas. “Rencana kami adalah melibatkan teman-teman dengan disabilitas sejak proses perencanaan agar tidak ada lagi ramp yang dibangun terlalu curam,” paparnya.!break!

Tatkala siang menggelora di utan kayu, Jakarta Pusat, saya berjumpa dengan Endang Rahayu Pudjo di rumah satu lantai milik keluarganya. Rumah itu telah disulap menjadi tempat belajar bernama Rumah Kampus. Saat ini, rumah tersebut merupakan jawaban dari rasa kegalauan dan keputusasaan Endang pada minimnya keseriusan pemerintah pada orang berkebutuhan khusus, terutama dalam bidang sarana dan prasarana pendidikan.

Kurikulum Rumah Kampus akhirnya disusunnya sendiri karena, menurutnya, kurikulum yang ada di perguruan tinggi memang tidak bisa diterapkan untuk penyandang disabilitas. Hal yang paling kongkret adalah banyak fasilitas pendidikan yang tidak memiliki infrastruktur yang mudah diakses, seperti jalan bertangga menuju ruang kelas, kamar mandi yang sempit, dan sedikitnya tenaga pengajar untuk siswa berkebutuhan khusus.

Rumah Kampus menjadi jalan cita-cita Endang dalam menyediakan tempat belajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh ijazah diploma. Keinginan ini berawal ketika Endang mengalami penolakan dan kesulitan berkali-kali ketika menyekolahkan Enggar, putra bungsunya yang berkursi roda, sekaligus penyandang tunagrahita. Kisahnya, “Setiap mau ujian nasional, Enggar tidak diperbolehkan ikut dan harus mengulang.”

Tatapan pesimistis dan cibiran dari orang-orang sekitar bagaikan menu sarapan bagi Endang saat itu. Dia berkisah bahwa lebih banyak orang yang menyangsikan Enggar dan anak-anak tunagrahita lainnya ketimbang yang memberikan dukungan. Hingga saat ini, terdapat enam anak berkebutuhan khusus kuliah di Rumah Kampus miliknya. Mereka didampingi para dosen dari Institut Pertanian Bogor selama empat semester.

Sebagian besar kurikulumnya menekankan pada praktek budi daya dan pengolahan hasil pertanian,  hingga kiat memasarkannya. Selain itu, mereka juga dibekali ilmu-ilmu umum lainnya seperti bahasa Inggris, ilmu komputer, musik, dan agama. Kini, Enggar mampu melakukan banyak hal produktif, termasuk memproduksi pupuk, membantu operasional Rumah Kampus, dan menyetir mobil dari Jakarta ke Bogor saat kuliah praktik di kebun.

Energi yang meletup-letup dari anak-anak berkebutuhan khusus membuatnya tetap bersemangat. Ketelatenan dan kemauan untuk memberi peluang adalah hal dasar yang wajib ada dalam proses pendidikan terkait anak-anak berkebutuhan khusus, utamanya para orang tua.

Pengalaman Endang mengajarkan bahwa tidak sedikit orang tua yang menyerah dan saling menyalahkan atau malah justru menuntut lebih ketika dikaruniai anak berkebutuhan khusus. “Saya biasa dimusuhi orang tua.”

Sepanjang sejarah, warga berkebutuhan khusus masih dianggap sebuah anomali dan kadang disembunyikan. Lantaran memiliki hambatan, mereka—tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunagrahita, autis, sindroma down—banyak yang tidak memperoleh kesempatan belajar dan bersosialisasi. Padahal dua hal itu merupakan modal untuk kemandirian hidup bersama masyarakat.!break!

Disabilitas masih dianggap sebagai penyakit di Indonesia. Berbagai alasan tidak rasional muncul mengesampingkan alasan medis yang ada. Pemahaman yang salah kemudian merembet ke hal yang lebih menyedihkan. Hal yang lebih parah adalah tidak adanya dukungan dari masyarakat lain untuk mencegahnya.

Saudara, kerabat dan tetangga dari beberapa penyandang disabilitas yang saya temui rata–rata bersikap tidak peduli–mereka menonton dengan tatapan aneh. Ibunda Desi—tak bersedia untuk disebut namanya—yang saya temui di Jatiwaringin Bekasi masih beranggapan bahwa disabilitas ganda yang disandang anaknya adalah hukuman Tuhan. Dia menyebut kata "karma" berkali-kali.

Maulani A. Rotinsulu dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia yang duduk di dekat saya tak henti meminta orang tua Desi untuk lebih sering mengajak putrinya keluar rumah. “Ayo Ibu, Desi perlu juga keluar rumah, ini membantu proses penyembuhannya,” pinta Maulani dengan wajah geregetan. 

“Desi seperti melihat surga, di atas motor dia teriak-teriak kegirangan,” ungkap ibundanya dengan antusias. Anak itu hampir tidak pernah keluar rumah. Waktunya habis di ruang tamu berlantai semen halus yang lembap, di sudut gang kecil belakang kantor Kelurahan Jatiwa­ringin.

Di beberapa tempat banyak ditemukan kasus penyandang disabilitas yang diperlakukan tidak manusiawi misalnya dengan pemasungan dan tidak diperbolehkan keluar rumah. Berkat dorongan dari tenaga sosial dan dana bantuan pengobatan dari Kementerian Sosial, Desi bisa pelesiran ke tempat terapi.

Maulani sering menjumpai orang tua yang salah memahami sehingga memberikan penanganan yang salah. “Kita tidak tahu hal yang pernah dilakukannya selama kehamilan, misalnya konsumsi obat yang salah,” ucap aktivis yang menggunakan tangan kanan palsu itu. Tidak sedikit pula yang tidak melakukan usaha sama sekali untuk anaknya dengan berbagai alasan. Sikap malu dan alasan ekonomi hampir selalu muncul untuk kasus-kasus ini.

“Orientasi Masyarakat”, istilah ini saya dengar saat berkunjung ke Sekolah Dwituna Rawinala di Condet, Jakarta Timur. Sundari, salah satu pengajar, menceritakan kepada saya bahwa anak-anak berkebutuhan khusus ganda di sekolahnya punya agenda rutin setiap seminggu sekali untuk jalan-jalan keluar lingkungan sekolah.

Kegiatan ini penting dilakukan supaya anak didiknya percaya diri dan dapat mandiri di kemudian hari.“Kami ajak ke Pasar Condet, supermarket kecil, atau jalan-jalan keliling kompleks,” kata Sundari kepada saya.

Masih di tempat yang sama, saya berjumpa dengan Lucky, anak lelaki yang memiliki empat hambatan fisik: tunanetra, autis, hiperaktif, dan gangguan pada otak. Siang itu, saat hujan turun deras, dia merengek. Tangan bocah usia 10 tahun ini memukul-mukul meja sambil berkata lirih, “Lucky mau pulang.” Ida, ibu dari anak itu lalu menggandengnya keluar kelas, menuntunnya melewati deretan wastafel dan tempat sampah lalu berbelok ke arah taman.

“Nak, sekarang hujan. Kalau kita pulang sekarang nanti Lucky basah,” kata Ida seraya meraih tangan lucky tepat dibawah bulir air. Saya ikut tersenyum ketika Lucky mengangguk dan menghentikan tangis. Ida menoleh, lalu menyeringai kepada saya sambil berkata, “Harus mencoba hujan!”!break!

Ida lalu bercerita, mengambil posisi duduk di teras ruang kelas yang berhias pipa besi memanjang warna biru penuntun jalan. “Baru lima bulan saya dan Lucky bisa komunikasi dua arah,” kata Ida dengan mata berbinar. Jari -jari tangannya merentang sembari berkata, “Sepuluh tahun saya menunggu.”

Cerita bahagia ini berawal saat seorang guru baru mengajaknya berdiskusi. Observasi pun dilakukan. Guru itu kemudian mengacak kelas dengan menukar murid supaya terjadi keragaman kemampuan anak dalam satu kelas. Penantian panjang itu pun berbuah manis. Saat ini Lucky dan teman-temannya yang berkebutuhan khusus ganda punya kebisaan lain, seperti bermain musik dan menyanyi.

“Seni menjadi salah satu metode pendidikan,” ungkap Sundari yang hari itu bersama Lucky dan sebelas anak lainnya menyanyikan empat lagu diiringi musik pengiring lengkap.

Saya menyimak aksi Khairani Barokka, penulis dan seniman muda energik,yang membacakan puisi karyanya Sense/Ability. Perempuan muda itu berdiri di panggung acara bertajuk Hear Artist Hear Ability: Pentas Berbeda Bahagia, bertempat di sebuah pusat perbelanjaan mewah di Jakarta pada pertengahan Desember 2012.

Di sinilah teman-teman dengan beragam kebutuhan khusus menjadikan hajatan ini sebagai ajang pentas dan diskusi. Para penampil memberikan suguhan yang berbeda, seperti berbalas pantun, musikalisasi puisi, monolog, dan alunan lagu. Berbagai bentuk dukungan bertebaran di awal dan akhir pentas.

Okka, panggilan akrab perempuan muda itu, tampak luwes menyatu dengan penonton, tidak berjarak, sedekat kaki telanjangnya menjejak panggung dihadapan hampir seratus pasang mata. Dia memiliki hambatan saraf kompleks yang berdampak ke otot-ototnya.

Ini menyebabkannya acap kali mengalami kram separuh badan apabila kelelahan. “Jangan kaget, ya,” kata Okka sembari mengingatkan kepada saya, “kalau nanti saat wawancara saya tiba-tiba kram.” Ketika saya mewawancarainya dalam satu jam, dia pun mengalami kram sekitar tiga kali.

“Saya percaya bahwa seni bisa dipakai untuk menghilangkan stigma,”ujar Okka. Setelah meraih gelar master dari Tisch School of the Arts, New York University di Amerika Serikat, dia mulai melakukan penelitian dan pemetaan tentang seni untuk warga berkebutuhan khusus. Menurutnya, kemampuan teknologi dapat digunakan untuk membantu mereka.!break!

Dia berpikir, bagaimana alat musik gamelan dapat digunakan khusus bagi teman-temannya.“Saya membayangkan ada banyak komunitas,” katanya penuh harap. “Ajak mereka berkumpul dan pasti akan ada jutaan ide tentang hal-hal yang bisa dikerjakan."

Banyak potensi untuk membangun jaringan seni bagi orang berkebutuhan khusus terutama dengan beberapa negara seperti Australia dan Jepang yang memiliki program bantuan dan kemitraan untuk pekerja seni inklusif. Di Indonesia memang belum ada sebuah organisasi spesifik untuk seniman berkebutuhan khusus.

Malahan, kebanyakan kegiatan seniman tersebut hanya diperlakukan sebagai acara amal. Okka mengharapkan supaya pekerja seni tersebut memperoleh ruang, peluang, dan kesempatan yang sama sebagai seniman profesional dan manusia kreatif yang normal.

Kesempatan dan perlakuan yang sama juga ditekankan berulang–ulang oleh Puti Irra Puspitasari, arsitek dan pengusaha muda dengan antusiasme tinggi. Saya bersamanya ketika berada dalam perjalanan kereta api Argo Parahyangan Jakarta-Bandung. Dia adalah Ketua Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) wilayah Jakarta Selatan, sekaligus pemilik usaha PT. Surf Data Net yang menyediakan layanan instalasi jaringan nirkabel.

Irra bertanya kepada saya—dan saya jawab dengan kemampuan bahasa isyarat yang terbatas—tentang banyak hal selama perjalanan, nama-nama stasiun kecil, dan panjang terowongan yang kami lalui. Informasi dalam bentuk visual dan tulisan masih sangat minim baik di stasiun maupun di dalam kereta api.

Dia mengeluhkan hal serupa ketika berkendara dengan transportasi umum Transjakarta. Tulisan berjalan dan tanda nama lokasi tidak lagi bisa terbaca jelas. Dalam situasi yang sama, kemampuan berbahasa isyarat bagi penyedia dan petugas fasilitas umum masih sangat terbatas.

Keterbatasan dibuktikan lewat tujuh lembar kertas yang saya gunakan saat berdiskusi dengan Merlinda Ayu Dewi pada suatu siang di Kalibata Tengah. Empat mangkuk kecil berisi manik-manik berwarna gradasi merah jambu, benang jahit dan gunting tertata apik di atas meja. Tangan gadis berusia 17 tahun ini lincah menghias payet di kain brokat. Dia tetap tekun diantara riuhnya suara canda pekerja lain yang beradu dengan suara mesin jahit dan alunan lagu pop melayu dari perangkat telepon genggam.

Alat bantu dengar yang dipakai di telinga kanan Merlinda sebenarnya lebih sering berdiam di saku celana. Tampaknya alat itu masih baru yang diperolehnya atas simpati seorang pelanggan kebayanya. Keterbatasan kemampuan berbahasa isyarat membuat Leni, pemilik konveksi tempat Merlinda bekerja, mulai mempelajari bahasa itu.

“Saya sedang belajar bahasa isyarat juga,” ujar Leni. “Saya berharap teman-teman kerja lainnya kelak akan melakukan hal yang sama.” Inilah semangat yang selalu diharapkan: kemauan untuk belajar dan berbagi. !break!

Semangat yang sama saya temukan di luar hiruk-pikuk Metropolitan Jakarta. “Dokter” Indra Sumedi, demikian julukan untuk pemuda 38 tahun itun lantaran kemampuannya mencipta “kaki dan tangan”. Dia menyambut saya di rumahnya yang berdinding tripleks di Kiara Condong, Bandung.

Indra adalah salah satu perajin kaki palsu yang tergabung di Kelompok Kreativitas Difabel (KKD). Kecelakaan kereta pada 1997 membuat kedua kakinya hilang sampai pangkal paha. “Saya sudah diberi waktu 24 tahun menikmati kaki,” ungkapnya, “hikmahnya sekarang saya bisa buat kaki untuk orang lain.”

Indra menuju kamar bertirai kain dengan bantuan kedua tangannya yang penuh tato. Tak sampai lima menit, dia kembali dengan tubuh menjulang. Sambil bergurau lelaki itu bertanya pada saya, “Masih kenal saya kan Mbak?” Kaki jenjangnya dibalut celana jeans yang digulung tak beraturan lengkap dengan ikat pinggang warna cokelat, serupa dengan warna sepatu sandal buatannya.

Kemudian lelaki itu duduk di kursi kayu di hadapan saya. Kedua tangannya melepas kunci engsel yang terdapat di sendi lutut kaki. Dia kemudian melipat kaki dan bercerita banyak hal sembari merokok.

Keinginan besar Indra untuk bisa memiliki kaki lagi mendorongnya untuk bereksperimen berkali-kali membuat kaki palsu. Keahlian Indra pun lalu ditularkan kepada teman-teman lainnya. Belum genap setahun berdiri, tiga puluh orang dari berbagai kota di Indonesia sudah merasakan kaki dan tangan palsu buatan KKD.

Bahkan, beberapa orang diantaranya memperoleh kaki dan/atau tangan palsu dari program subsidi silang karena ketiadaan anggaran. Harga kaki palsu yang ditawarkan di rumah sakit terbilang tinggi, yakni pada kisaran 10-20 juta rupiah. Sekarang, KKD bisa membuat kaki dan tangan palsu dengan harga 400 ribu sampai 3,5 juta rupiah saja.

Harga kaki palsu buatan Indra bisa lebih murah karena memanfaatkan material lokal seperti nilon, pvc, spons, dan suku cadang mobil atau sepeda motor bekas. Meski begitu, kualitas tetap dinomorsatukan.!break!

Di sebuah kawasan pusat bisnis Sudirman, Jakarta Selatan, saya mujur bisa bertemu dengan Cucu Saidah dan Faisal Rusdi dari forum BFT. Keduanya adalah sepasang suami istri penyandang tunadaksa, teman Blindman Jack. Mereka merupakan tiga dari empat orang penggagas forum itu. Kegiatan pertama kalinya diadakan pada awal Maret 2012.

“Kami ingin mengedukasi semua kalangan tentang disabilitas, sebagai agen perubahan,” ungkap Cucu dengan semangat. “Kondisi di Jakarta dan di banyak tempat adalah sering kali fasilitas umum dan perilaku publik menjadi penghambat penyandang disabilitas untuk bekerja dan beraktivitas.”

Rute ini “menantang karena menggunakan fasilitas umum yang masih belum bisa diakses untuk penyandang disabilitas,” kata Cucu.

Saya berkesempatan mengikuti kegiatan mereka dari Jakarta ke Bandung dengan kereta api. Sayangnya, banyak peserta yang berkursi roda urung hadir karena khawatir mengalami kesulitan saat ingin ke toilet. Kamar mandi di kereta tidak didesain untuk penumpang berkursi roda, gemuk, dan lansia. Pintu dan ukuran ruangannya kurang lebar.

Perjalanan BFT kali ini memberi banyak pengalaman dan pelajaran. Peserta harus menjelaskan terlebih dulu ke petugas di Stasiun Gambir untuk memperoleh bantuan. Saya melihat dan menyadari bahwa kepekaan masyarakat kita belum patut diacungi jempol.

Para penumpang lain menyerobot antrean dan sedikit yang memberikan bantuan.Mereka juga pernah menggunakan transportasi kereta rel listrik (KRL) dengan rute jarak dekat Cikini-Depok. Perjalanan itu mencatat beberapa hasil positif, yaitu dilaksanakannya pelatihan kepada 80 orang petugas lapangan stasiun mengenai cara melayani dan mendampingi penumpang berkebutuhan khusus.

“Fasilitas publik itu harusnya inklusif, bermanfaat untuk orang lain.” Penjelasan ini saya peroleh saat berdiskusi dengan arsitek perencanaan tata kota, Bambang Eryudhawan. “Inti masalah di Jakarta bukan soal anggaran, tetapi buruknya perencanaan,” ungkapnya. “Banyak proyek pembangunan tumpang tindih, dinas tidak saling koordinasi.”

Dia lalu mencontohkan guiding block atau jalur khusus tunanetra di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, yang saat ini bertarung dengan deretan pedagang dan pot-pot besar proyek tamanisasi pemerintah kota.

Menurutnya, porsi anggaran untuk bangunan yang bisa diakses warga penyandang kebutuhan khusus itu lebih tinggi sedikit ketimbang anggaran untuk bangunan pada umumnya. Ketiadaan perundangan di Indonesia yang mengatur hal-hal penting yang menentukan kualitas lingkungan bebas hambatan juga masih menjadi pekerjaan rumah Ibu Kota.!break!

Cita-cita menuju Jakarta ramah yang masuk deretan kota internasional sebenarnya bisa dimulai dengan desain yang dirancang agar bisa dipakai semua orang. Telah banyak warga berkebutuhan khusus di Jakarta yang telah menunjukkan prestasinya. Tampaknya sudah sepantasnya warga meng­apresiasi mereka bukan lewat ungkapan perasaan kasihan, melainkan memberikan hak peluang hidup bersama sebagai warga kota.

Melihat potongan-potongan cerita tentang para penyandang disabilitas, tampaknya spirit individual itu yang paling penting, seperti semangat Ida untuk Lucky, Cucu Saidah dengan BFT-nya atau Hermawan yang tidak gentar mengarungi rute-rute baru.

Spirit inilah yang harus tertular dengan baik kepada warga kota lain agar muncul kesadaran bahwa kesempatan berkreasi terbuka untuk semua orang tanpa terkecuali, dan ruang-ruang publik tidak lagi dimonopoli. Saya pun teringat kalimat yang kerap diucapkan banyak teman berkebutuhan khusus, “Seperti saya, kamu berbeda. Seperti kamu, saya pun normal."

Dukungan dari warga lainnya mutlak diperlu­kan. Meskipun tidak mensyaratkan kemampuan yang mumpuni, kesadaran bersama saat ini masih terkesan angin-anginan.

Pada awal tahun ini saya kembali berjumpa dengan Hermawan tatkala kami melakukan perjalanan bersama dengan bus Transjakarta. Saya menyimak ketika dia berbicara panjang lebar tentang masa kecilnya, proyek baru peranti lunak kasir aksesibel, hingga pengalamannya menggunakan transportasi ibu kota.

“Terkadang aneh juga, jalan rusak justru menolong karena sebagai penanda. Kalau jalan lurus mulus susah dijadikan patokan. Tetapi, kalau rusak semua itu juga berbahaya,” katanya sambil terkekeh ketika saya bertanya soal tantangan berkendaraan umum.

Mendengar begitu lepasnya Hermawan ber­tutur, saya tersenyum. Rasa optimistis saya menggelora. Tampaknya tekadnya kuat untuk bisa mandiri dan siap pergi bertualang mewujudkan mimpi-mimpinya. Kemudian, dia mendekati saya sambil berbisik, “Kalau sudah melangkah, kita harus siap dengan rintangan.”