Berbagi Ruang Berbagi Peluang

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 11:34 WIB

Kemudian lelaki itu duduk di kursi kayu di hadapan saya. Kedua tangannya melepas kunci engsel yang terdapat di sendi lutut kaki. Dia kemudian melipat kaki dan bercerita banyak hal sembari merokok.

Keinginan besar Indra untuk bisa memiliki kaki lagi mendorongnya untuk bereksperimen berkali-kali membuat kaki palsu. Keahlian Indra pun lalu ditularkan kepada teman-teman lainnya. Belum genap setahun berdiri, tiga puluh orang dari berbagai kota di Indonesia sudah merasakan kaki dan tangan palsu buatan KKD.

Bahkan, beberapa orang diantaranya memperoleh kaki dan/atau tangan palsu dari program subsidi silang karena ketiadaan anggaran. Harga kaki palsu yang ditawarkan di rumah sakit terbilang tinggi, yakni pada kisaran 10-20 juta rupiah. Sekarang, KKD bisa membuat kaki dan tangan palsu dengan harga 400 ribu sampai 3,5 juta rupiah saja.

Harga kaki palsu buatan Indra bisa lebih murah karena memanfaatkan material lokal seperti nilon, pvc, spons, dan suku cadang mobil atau sepeda motor bekas. Meski begitu, kualitas tetap dinomorsatukan.!break!

Di sebuah kawasan pusat bisnis Sudirman, Jakarta Selatan, saya mujur bisa bertemu dengan Cucu Saidah dan Faisal Rusdi dari forum BFT. Keduanya adalah sepasang suami istri penyandang tunadaksa, teman Blindman Jack. Mereka merupakan tiga dari empat orang penggagas forum itu. Kegiatan pertama kalinya diadakan pada awal Maret 2012.

“Kami ingin mengedukasi semua kalangan tentang disabilitas, sebagai agen perubahan,” ungkap Cucu dengan semangat. “Kondisi di Jakarta dan di banyak tempat adalah sering kali fasilitas umum dan perilaku publik menjadi penghambat penyandang disabilitas untuk bekerja dan beraktivitas.”

Rute ini “menantang karena menggunakan fasilitas umum yang masih belum bisa diakses untuk penyandang disabilitas,” kata Cucu.

Saya berkesempatan mengikuti kegiatan mereka dari Jakarta ke Bandung dengan kereta api. Sayangnya, banyak peserta yang berkursi roda urung hadir karena khawatir mengalami kesulitan saat ingin ke toilet. Kamar mandi di kereta tidak didesain untuk penumpang berkursi roda, gemuk, dan lansia. Pintu dan ukuran ruangannya kurang lebar.

Perjalanan BFT kali ini memberi banyak pengalaman dan pelajaran. Peserta harus menjelaskan terlebih dulu ke petugas di Stasiun Gambir untuk memperoleh bantuan. Saya melihat dan menyadari bahwa kepekaan masyarakat kita belum patut diacungi jempol.

Para penumpang lain menyerobot antrean dan sedikit yang memberikan bantuan.Mereka juga pernah menggunakan transportasi kereta rel listrik (KRL) dengan rute jarak dekat Cikini-Depok. Perjalanan itu mencatat beberapa hasil positif, yaitu dilaksanakannya pelatihan kepada 80 orang petugas lapangan stasiun mengenai cara melayani dan mendampingi penumpang berkebutuhan khusus.

“Fasilitas publik itu harusnya inklusif, bermanfaat untuk orang lain.” Penjelasan ini saya peroleh saat berdiskusi dengan arsitek perencanaan tata kota, Bambang Eryudhawan. “Inti masalah di Jakarta bukan soal anggaran, tetapi buruknya perencanaan,” ungkapnya. “Banyak proyek pembangunan tumpang tindih, dinas tidak saling koordinasi.”

Dia lalu mencontohkan guiding block atau jalur khusus tunanetra di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, yang saat ini bertarung dengan deretan pedagang dan pot-pot besar proyek tamanisasi pemerintah kota.

Menurutnya, porsi anggaran untuk bangunan yang bisa diakses warga penyandang kebutuhan khusus itu lebih tinggi sedikit ketimbang anggaran untuk bangunan pada umumnya. Ketiadaan perundangan di Indonesia yang mengatur hal-hal penting yang menentukan kualitas lingkungan bebas hambatan juga masih menjadi pekerjaan rumah Ibu Kota.!break!

Cita-cita menuju Jakarta ramah yang masuk deretan kota internasional sebenarnya bisa dimulai dengan desain yang dirancang agar bisa dipakai semua orang. Telah banyak warga berkebutuhan khusus di Jakarta yang telah menunjukkan prestasinya. Tampaknya sudah sepantasnya warga meng­apresiasi mereka bukan lewat ungkapan perasaan kasihan, melainkan memberikan hak peluang hidup bersama sebagai warga kota.

Melihat potongan-potongan cerita tentang para penyandang disabilitas, tampaknya spirit individual itu yang paling penting, seperti semangat Ida untuk Lucky, Cucu Saidah dengan BFT-nya atau Hermawan yang tidak gentar mengarungi rute-rute baru.

Spirit inilah yang harus tertular dengan baik kepada warga kota lain agar muncul kesadaran bahwa kesempatan berkreasi terbuka untuk semua orang tanpa terkecuali, dan ruang-ruang publik tidak lagi dimonopoli. Saya pun teringat kalimat yang kerap diucapkan banyak teman berkebutuhan khusus, “Seperti saya, kamu berbeda. Seperti kamu, saya pun normal."

Dukungan dari warga lainnya mutlak diperlu­kan. Meskipun tidak mensyaratkan kemampuan yang mumpuni, kesadaran bersama saat ini masih terkesan angin-anginan.

Pada awal tahun ini saya kembali berjumpa dengan Hermawan tatkala kami melakukan perjalanan bersama dengan bus Transjakarta. Saya menyimak ketika dia berbicara panjang lebar tentang masa kecilnya, proyek baru peranti lunak kasir aksesibel, hingga pengalamannya menggunakan transportasi ibu kota.

“Terkadang aneh juga, jalan rusak justru menolong karena sebagai penanda. Kalau jalan lurus mulus susah dijadikan patokan. Tetapi, kalau rusak semua itu juga berbahaya,” katanya sambil terkekeh ketika saya bertanya soal tantangan berkendaraan umum.

Mendengar begitu lepasnya Hermawan ber­tutur, saya tersenyum. Rasa optimistis saya menggelora. Tampaknya tekadnya kuat untuk bisa mandiri dan siap pergi bertualang mewujudkan mimpi-mimpinya. Kemudian, dia mendekati saya sambil berbisik, “Kalau sudah melangkah, kita harus siap dengan rintangan.”