Berbagi Ruang Berbagi Peluang

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 11:34 WIB

Rumah Kampus menjadi jalan cita-cita Endang dalam menyediakan tempat belajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh ijazah diploma. Keinginan ini berawal ketika Endang mengalami penolakan dan kesulitan berkali-kali ketika menyekolahkan Enggar, putra bungsunya yang berkursi roda, sekaligus penyandang tunagrahita. Kisahnya, “Setiap mau ujian nasional, Enggar tidak diperbolehkan ikut dan harus mengulang.”

Tatapan pesimistis dan cibiran dari orang-orang sekitar bagaikan menu sarapan bagi Endang saat itu. Dia berkisah bahwa lebih banyak orang yang menyangsikan Enggar dan anak-anak tunagrahita lainnya ketimbang yang memberikan dukungan. Hingga saat ini, terdapat enam anak berkebutuhan khusus kuliah di Rumah Kampus miliknya. Mereka didampingi para dosen dari Institut Pertanian Bogor selama empat semester.

Sebagian besar kurikulumnya menekankan pada praktek budi daya dan pengolahan hasil pertanian,  hingga kiat memasarkannya. Selain itu, mereka juga dibekali ilmu-ilmu umum lainnya seperti bahasa Inggris, ilmu komputer, musik, dan agama. Kini, Enggar mampu melakukan banyak hal produktif, termasuk memproduksi pupuk, membantu operasional Rumah Kampus, dan menyetir mobil dari Jakarta ke Bogor saat kuliah praktik di kebun.

Energi yang meletup-letup dari anak-anak berkebutuhan khusus membuatnya tetap bersemangat. Ketelatenan dan kemauan untuk memberi peluang adalah hal dasar yang wajib ada dalam proses pendidikan terkait anak-anak berkebutuhan khusus, utamanya para orang tua.

Pengalaman Endang mengajarkan bahwa tidak sedikit orang tua yang menyerah dan saling menyalahkan atau malah justru menuntut lebih ketika dikaruniai anak berkebutuhan khusus. “Saya biasa dimusuhi orang tua.”

Sepanjang sejarah, warga berkebutuhan khusus masih dianggap sebuah anomali dan kadang disembunyikan. Lantaran memiliki hambatan, mereka—tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunagrahita, autis, sindroma down—banyak yang tidak memperoleh kesempatan belajar dan bersosialisasi. Padahal dua hal itu merupakan modal untuk kemandirian hidup bersama masyarakat.!break!

Disabilitas masih dianggap sebagai penyakit di Indonesia. Berbagai alasan tidak rasional muncul mengesampingkan alasan medis yang ada. Pemahaman yang salah kemudian merembet ke hal yang lebih menyedihkan. Hal yang lebih parah adalah tidak adanya dukungan dari masyarakat lain untuk mencegahnya.

Saudara, kerabat dan tetangga dari beberapa penyandang disabilitas yang saya temui rata–rata bersikap tidak peduli–mereka menonton dengan tatapan aneh. Ibunda Desi—tak bersedia untuk disebut namanya—yang saya temui di Jatiwaringin Bekasi masih beranggapan bahwa disabilitas ganda yang disandang anaknya adalah hukuman Tuhan. Dia menyebut kata "karma" berkali-kali.

Maulani A. Rotinsulu dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia yang duduk di dekat saya tak henti meminta orang tua Desi untuk lebih sering mengajak putrinya keluar rumah. “Ayo Ibu, Desi perlu juga keluar rumah, ini membantu proses penyembuhannya,” pinta Maulani dengan wajah geregetan. 

“Desi seperti melihat surga, di atas motor dia teriak-teriak kegirangan,” ungkap ibundanya dengan antusias. Anak itu hampir tidak pernah keluar rumah. Waktunya habis di ruang tamu berlantai semen halus yang lembap, di sudut gang kecil belakang kantor Kelurahan Jatiwa­ringin.

Di beberapa tempat banyak ditemukan kasus penyandang disabilitas yang diperlakukan tidak manusiawi misalnya dengan pemasungan dan tidak diperbolehkan keluar rumah. Berkat dorongan dari tenaga sosial dan dana bantuan pengobatan dari Kementerian Sosial, Desi bisa pelesiran ke tempat terapi.

Maulani sering menjumpai orang tua yang salah memahami sehingga memberikan penanganan yang salah. “Kita tidak tahu hal yang pernah dilakukannya selama kehamilan, misalnya konsumsi obat yang salah,” ucap aktivis yang menggunakan tangan kanan palsu itu. Tidak sedikit pula yang tidak melakukan usaha sama sekali untuk anaknya dengan berbagai alasan. Sikap malu dan alasan ekonomi hampir selalu muncul untuk kasus-kasus ini.