“Orientasi Masyarakat”, istilah ini saya dengar saat berkunjung ke Sekolah Dwituna Rawinala di Condet, Jakarta Timur. Sundari, salah satu pengajar, menceritakan kepada saya bahwa anak-anak berkebutuhan khusus ganda di sekolahnya punya agenda rutin setiap seminggu sekali untuk jalan-jalan keluar lingkungan sekolah.
Kegiatan ini penting dilakukan supaya anak didiknya percaya diri dan dapat mandiri di kemudian hari.“Kami ajak ke Pasar Condet, supermarket kecil, atau jalan-jalan keliling kompleks,” kata Sundari kepada saya.
Masih di tempat yang sama, saya berjumpa dengan Lucky, anak lelaki yang memiliki empat hambatan fisik: tunanetra, autis, hiperaktif, dan gangguan pada otak. Siang itu, saat hujan turun deras, dia merengek. Tangan bocah usia 10 tahun ini memukul-mukul meja sambil berkata lirih, “Lucky mau pulang.” Ida, ibu dari anak itu lalu menggandengnya keluar kelas, menuntunnya melewati deretan wastafel dan tempat sampah lalu berbelok ke arah taman.
“Nak, sekarang hujan. Kalau kita pulang sekarang nanti Lucky basah,” kata Ida seraya meraih tangan lucky tepat dibawah bulir air. Saya ikut tersenyum ketika Lucky mengangguk dan menghentikan tangis. Ida menoleh, lalu menyeringai kepada saya sambil berkata, “Harus mencoba hujan!”!break!
Ida lalu bercerita, mengambil posisi duduk di teras ruang kelas yang berhias pipa besi memanjang warna biru penuntun jalan. “Baru lima bulan saya dan Lucky bisa komunikasi dua arah,” kata Ida dengan mata berbinar. Jari -jari tangannya merentang sembari berkata, “Sepuluh tahun saya menunggu.”
Cerita bahagia ini berawal saat seorang guru baru mengajaknya berdiskusi. Observasi pun dilakukan. Guru itu kemudian mengacak kelas dengan menukar murid supaya terjadi keragaman kemampuan anak dalam satu kelas. Penantian panjang itu pun berbuah manis. Saat ini Lucky dan teman-temannya yang berkebutuhan khusus ganda punya kebisaan lain, seperti bermain musik dan menyanyi.
“Seni menjadi salah satu metode pendidikan,” ungkap Sundari yang hari itu bersama Lucky dan sebelas anak lainnya menyanyikan empat lagu diiringi musik pengiring lengkap.
Saya menyimak aksi Khairani Barokka, penulis dan seniman muda energik,yang membacakan puisi karyanya Sense/Ability. Perempuan muda itu berdiri di panggung acara bertajuk Hear Artist Hear Ability: Pentas Berbeda Bahagia, bertempat di sebuah pusat perbelanjaan mewah di Jakarta pada pertengahan Desember 2012.
Di sinilah teman-teman dengan beragam kebutuhan khusus menjadikan hajatan ini sebagai ajang pentas dan diskusi. Para penampil memberikan suguhan yang berbeda, seperti berbalas pantun, musikalisasi puisi, monolog, dan alunan lagu. Berbagai bentuk dukungan bertebaran di awal dan akhir pentas.
Okka, panggilan akrab perempuan muda itu, tampak luwes menyatu dengan penonton, tidak berjarak, sedekat kaki telanjangnya menjejak panggung dihadapan hampir seratus pasang mata. Dia memiliki hambatan saraf kompleks yang berdampak ke otot-ototnya.
Ini menyebabkannya acap kali mengalami kram separuh badan apabila kelelahan. “Jangan kaget, ya,” kata Okka sembari mengingatkan kepada saya, “kalau nanti saat wawancara saya tiba-tiba kram.” Ketika saya mewawancarainya dalam satu jam, dia pun mengalami kram sekitar tiga kali.
“Saya percaya bahwa seni bisa dipakai untuk menghilangkan stigma,”ujar Okka. Setelah meraih gelar master dari Tisch School of the Arts, New York University di Amerika Serikat, dia mulai melakukan penelitian dan pemetaan tentang seni untuk warga berkebutuhan khusus. Menurutnya, kemampuan teknologi dapat digunakan untuk membantu mereka.!break!