Berbagi Ruang Berbagi Peluang

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 11:34 WIB

Dia berpikir, bagaimana alat musik gamelan dapat digunakan khusus bagi teman-temannya.“Saya membayangkan ada banyak komunitas,” katanya penuh harap. “Ajak mereka berkumpul dan pasti akan ada jutaan ide tentang hal-hal yang bisa dikerjakan."

Banyak potensi untuk membangun jaringan seni bagi orang berkebutuhan khusus terutama dengan beberapa negara seperti Australia dan Jepang yang memiliki program bantuan dan kemitraan untuk pekerja seni inklusif. Di Indonesia memang belum ada sebuah organisasi spesifik untuk seniman berkebutuhan khusus.

Malahan, kebanyakan kegiatan seniman tersebut hanya diperlakukan sebagai acara amal. Okka mengharapkan supaya pekerja seni tersebut memperoleh ruang, peluang, dan kesempatan yang sama sebagai seniman profesional dan manusia kreatif yang normal.

Kesempatan dan perlakuan yang sama juga ditekankan berulang–ulang oleh Puti Irra Puspitasari, arsitek dan pengusaha muda dengan antusiasme tinggi. Saya bersamanya ketika berada dalam perjalanan kereta api Argo Parahyangan Jakarta-Bandung. Dia adalah Ketua Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) wilayah Jakarta Selatan, sekaligus pemilik usaha PT. Surf Data Net yang menyediakan layanan instalasi jaringan nirkabel.

Irra bertanya kepada saya—dan saya jawab dengan kemampuan bahasa isyarat yang terbatas—tentang banyak hal selama perjalanan, nama-nama stasiun kecil, dan panjang terowongan yang kami lalui. Informasi dalam bentuk visual dan tulisan masih sangat minim baik di stasiun maupun di dalam kereta api.

Dia mengeluhkan hal serupa ketika berkendara dengan transportasi umum Transjakarta. Tulisan berjalan dan tanda nama lokasi tidak lagi bisa terbaca jelas. Dalam situasi yang sama, kemampuan berbahasa isyarat bagi penyedia dan petugas fasilitas umum masih sangat terbatas.

Keterbatasan dibuktikan lewat tujuh lembar kertas yang saya gunakan saat berdiskusi dengan Merlinda Ayu Dewi pada suatu siang di Kalibata Tengah. Empat mangkuk kecil berisi manik-manik berwarna gradasi merah jambu, benang jahit dan gunting tertata apik di atas meja. Tangan gadis berusia 17 tahun ini lincah menghias payet di kain brokat. Dia tetap tekun diantara riuhnya suara canda pekerja lain yang beradu dengan suara mesin jahit dan alunan lagu pop melayu dari perangkat telepon genggam.

Alat bantu dengar yang dipakai di telinga kanan Merlinda sebenarnya lebih sering berdiam di saku celana. Tampaknya alat itu masih baru yang diperolehnya atas simpati seorang pelanggan kebayanya. Keterbatasan kemampuan berbahasa isyarat membuat Leni, pemilik konveksi tempat Merlinda bekerja, mulai mempelajari bahasa itu.

“Saya sedang belajar bahasa isyarat juga,” ujar Leni. “Saya berharap teman-teman kerja lainnya kelak akan melakukan hal yang sama.” Inilah semangat yang selalu diharapkan: kemauan untuk belajar dan berbagi. !break!

Semangat yang sama saya temukan di luar hiruk-pikuk Metropolitan Jakarta. “Dokter” Indra Sumedi, demikian julukan untuk pemuda 38 tahun itun lantaran kemampuannya mencipta “kaki dan tangan”. Dia menyambut saya di rumahnya yang berdinding tripleks di Kiara Condong, Bandung.

Indra adalah salah satu perajin kaki palsu yang tergabung di Kelompok Kreativitas Difabel (KKD). Kecelakaan kereta pada 1997 membuat kedua kakinya hilang sampai pangkal paha. “Saya sudah diberi waktu 24 tahun menikmati kaki,” ungkapnya, “hikmahnya sekarang saya bisa buat kaki untuk orang lain.”

Indra menuju kamar bertirai kain dengan bantuan kedua tangannya yang penuh tato. Tak sampai lima menit, dia kembali dengan tubuh menjulang. Sambil bergurau lelaki itu bertanya pada saya, “Masih kenal saya kan Mbak?” Kaki jenjangnya dibalut celana jeans yang digulung tak beraturan lengkap dengan ikat pinggang warna cokelat, serupa dengan warna sepatu sandal buatannya.