Libia Lawas yang Baru

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 12:11 WIB

Patung perunggu musuh Muammar Qaddafi tergeletak telentang di dalam peti kayu, diselimuti kegelapan gudang museum. Namanya Septimius Severus. Seperti Qaddafi, dia berasal dari negara yang sekarang disebut sebagai Libia.

Selama 18 tahun pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga Masehi, dia memerintah Kekaisaran Romawi. Tempat kelahirannya, Leptis Magna, adalah kota perdagangan 130 kilo­meter sebelah timur dari daerah yang pernah disebut bangsa Fenisia sebagai Oea, atau yang sekarang disebut Tripoli.

Kota itu menjadi kawasan yang sangat cocok untuk disebut sebagai Roma kedua. Lebih dari 1.700 tahun setelah kaisar tersebut mangkat, penjajah Italia di Libia menghormatinya dengan mendirikan patung berjenggot yang memukau. Patung itu memegang obor yang diacungkan tinggi-tinggi dengan tangan kanannya.

Mereka meletakkannya di alun-alun Tripoli (sekarang Martyrs’ Square) pada 1933—yang bertahan selama setengah abad sampai penguasa Libia berikutnya merasa terganggu oleh kehadirannya.

“Patung itu menjadi corong oposisi karena dialah satu-satunya sosok yang tidak dapat dihukum Qaddafi,” kata Hafed Walda, warga asli Libia dan dosen arkeologi di King’s College, London. “Setiap hari orang bertanya, ‘Apa yang mungkin dikatakan Septimius Severus se­­karang?’ Jadi, Qaddafi membuangnya ke tumpukan sampah. Warga Leptis Magna me­nyelamat­kannya dan membawanya pulang. “Dan di sanalah saya menemukannya, beristirahat dalam kotak kayu, menunggu nasib yang akan diberikan Libia baru kepadanya.

Qaddafi tidak salah ketika menganggap patung itu sebagai ancaman. Ini lantaran Septimius Severus melambangkan kenangan pilu akan Libia masa lalu. Kenangan itu berupa wilayah Laut Tengah dengan kekayaan budaya dan ekonomi yang sangat melimpah, sekaligus memiliki hubungan erat dengan dunia lain di balik lautan.

Garis pantainya membentang lebih dari 1.800 kilometer, dibentengi dataran tinggi yang memudar menjadi sejumlah wadi semi kering dan akhirnya menjadi gurun kecokelatan. Libia sudah lama menjadi jalur perdagangan dan seni serta aspirasi sosial yang tak terpadamkan. Wilayah tiga-kota Tripolitania—Leptis Magna, Sabratah, dan Oea—pernah menghasilkan gandum dan zaitun bagi warga Roma.

Namun, Qaddafi menyia-nyiakan kelebihan negaranya: lokasi yang tepat berada di selatan Italia dan Yunani, menjadikannya salah satu pintu gerbang Afrika ke Eropa. Kelebihan lain­nya, populasi yang dikelola dengan baik (kurang dari tujuh juta orang menghuni daratan seluas enam kali Italia) dan cadangan minyak yang besar.

Dia membungkam inovasi dan kebebasan berekspresi. Murid-murid sekolah menghafalkan falsafah kusut Qaddafi sebagaimana tertulis dalam Kitab Hijau-nya. Mereka menemukan bahwa kisah negara me­reka hanya terdiri atas dua bab: hari-hari gelap di bawah penjajahan imperialis Barat dan ke­jayaan Pemimpin Persaudaraan.!break!

Sekarang seluruh bangsa menjalani per­juangan penciptaan kembali yang liar berdenyut. Seperti yang diungkapkan Walda, “Perjalanan penemuan jati diri baru saja dimulai. Dari ba­nyak aspek, saat ini jauh lebih berbahaya dari­pada masa perang.” Penjara darurat dijejali ribuan pendukung setia Qaddafi.

Kaum milisi mengendalikan sebagian besar negeri ini. Senjata tidak lagi kasatmata seperti pada masa perang. Ratusan ribu orang yang memiliki senjata cukup pintar untuk me­nyembunyikannya. Jalan raya di daerah pe­desaan tetap tidak diawasi pihak kepolisian (tidak termasuk sejumlah pos pemeriksaan yang dijaga oleh bekas pemberontak atau thuwwar). Sejumlah kroni utama Qaddafi, serta istri dan beberapa anaknya, masih diburu. Beberapa menteri baru sudah mulai menerima suap.

Serangan teroris bulan September lalu ke Konsulat AS di Benghazi meninggalkan kesan yang jelas bahwa Libia adalah negara yang di ujung tanduk. Tetapi, meskipun terus bergolak, Libia tidak berada di ambang anarki. Kongres Nasional Umum yang terpilih secara demokratis sedang membentuk konstitusi baru.

Tripoli pada umumnya tetap aman. Di pusatnya, Martyrs’ Square—medan kontak senjata se­lama revolusi—tampak beberapa pengendara sepeda motor berzig-zag dengan suara menderu di sekitar permainan anak-anak yang baru dipasang. Di selatan alun-alun, penjaja kaki lima menjual buku, ma­ja­lah, dan koran baru yang bermunculan. Di timur, puluhan warga Libia berkumpul di teras kafe jazzy di bawah menara jam zaman Utsmaniyah, berceloteh sambil menikmati latte dan roti croissant.