Libia Lawas yang Baru

By , Selasa, 22 Januari 2013 | 12:11 WIB

Spanduk dan grafiti yang menggambarkan bendera Libia merah-hitam-hijau kini kembali menghiasi setiap bangunan. Sebelumnya, bendera itu pernah dilarang Qaddafi selama 42 tahun karena keterkaitannya dengan Raja Idris yang digulingkan.

Papan iklan dan poster menampilkan gambar sekian banyak pejuang Libia yang gugur, dengan tulisan seperti: “Kami gugur untuk kemerdekaan Libia—jagalah agar tetap merdeka!”

Di balik ketidakpastian yang bergejolak ini, terdapat bangsa yang dirasuki semangat muda untuk bergabung kembali dengan dunia bebas. Salaheddin Sury, profesor di Pusat Arsip Nasional dan Studi Sejarah pada 80-an, berkata kepada saya, “Ketika kami mendapatkan kemerdekaan pada 1951, kemerdekaan itu boleh dikatakan diperoleh dengan gratis. Kali ini para pemuda membayarnya dengan darah. Saya tidak pernah mengacuhkan lagu kebangsaan saat itu. Sekarang, untuk pertama kalinya,” katanya sambil menyeringai bangga, “Saya mampu menghafalnya di luar kepala.”!break!

Namun, pengibaran bendera hanya menawarkan fatamorgana jalan pintas. Seperti yang diakui Sury, pembangunan kembali Libia “dimulai dari nol.” Serangan teroris pada September lalu menebarkan kegalauan dalam meningkatkan stabilitas dan membangun kembali pemerintahan Libia.

Masih terlalu dini untuk menyimpulkan apakah 30.000 warga Libia yang mengecam serangan milisi itu kelak merupakan pertanda yang lebih baik untuk masa depan Libia. Sekarang, seperti patung Severus di dalam kotak kayu, negara ini menunggu masa depannya.

Ketika revolusi melanda pusat komersial Misratahh pada Februari 2011, Omar Albera menemui keluarganya dan berkata, “Aku akan melepaskan baju seragamku dan melawan Qaddafi.” “Kamu polisi Qaddafi,” seru istrinya. “Orang lain pasti akan mencurigaimu. Dan bagaimana jika revolusi gagal? Apa yang akan terjadi?”

Hanya putra sulung kolonel polisi itulah yang memuji keputusannya—kemudian ber­juang di samping ayahnya dan tewas dalam per­tempuran. Kaum pemberontak berusia muda yang dipimpin kolonel polisi itu belum ber­pengalaman dalam peperangan.

Pada awalnya, mereka melemparkan batu dan bom Molotov. Begitu para pemberontak mulai memperoleh sen­jata api dari para tentara yang tewas, kolonel polisi ini mengajarkan cara menembak. Beberapa di antaranya adalah penjahat yang dahu­lu dijebloskannya ke dalam penjara. Mereka lebih tangguh daripada yang lain; dia senang mendapatkan bantuan mereka dan mereka pun akhirnya memandangnya sebagai sesama pejuang.

Warga Misratahh akhirnya mampu memukul mundur pengepungan yang ganas—hal yang sangat menentukan dalam revolusi—selama tiga bulan oleh pasukan Qaddafi. Setelah itu Albera kembali mengenakan seragam polisi yang sudah dikenakannya selama 34 tahun pada masa rezim Qaddafi.

Sekarang dia menjadi kepala polisi Misratahh. Tujuannya adalah memperkenalkan konsep tugas kepolisian yang berbeda kepada warga kotanya. Maksudnya, bahwa orang yang mengenakan seragam polisi bukanlah pencuri atau preman, melainkan pelindung. Kepala polisi baru ini bukanlah seorang idealis yang ceria. Dia tidak pernah bermimpi bahwa kredibilitas dapat dimenangkan dalam waktu semalam, padahal menurut sejarah, tiga perempat polisi Libia adalah petugas korup.!break!

Persoalan yang sesungguhnya semakin memberatkan tantangan yang dihadapi Albera adalah bahwa dia bukanlah pimpinan otoritas penegak hukum di Misratahh. “Thuwwar-lah ke­­kuatan kota yang sesungguhnya,” ujarnya me­ngakui. Peralatan departemen kepolisian hancur selama perang; para pemuda yang di­bantu­nya berlatih untuk berperang dalam revolusi sekarang menjadi kawanan bersenjata.

“Walaupun pemberani, mereka tidak dilatih untuk menjadi pemimpin,” katanya. “Banyak yang jujur. Ada juga yang mudah dipengaruhi. Hal ini menciptakan situasi yang sangat rapuh.” Rakyat kecil yang menggulingkan pemimpin kejam itu sekarang menguasai seantero negeri dan tidak berniat mengembalikannya kepada pe­mimpin baru. Selain itu, Para pendukung Qaddafi masih berkeliaran di tengah-tengah me­reka. Beberapa malah berte­tangga.